Perjalanan 100 Tahun DPR, Fahri Hamzah Sebut Nama Jahja Datuk Kayo dan Abdul Muis

Perjalanan 100 Tahun DPR, Fahri Hamzah Sebut Nama Jahja Datuk Kayo dan Abdul Muis

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Kesejahteraan Ralyat (Korkesra), Fahri Hamzah mengungkapkan bahwa sekarang sedang dilakukan penulisan buku 'Seratus Tahun DPR' setebal ribuan halaman yang diambil jejaknya dari Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat pada masa Hindia Belanda.

Hal tersebut diungkapkan Fahri Hamzah ketika menjadi membuka dan keynote speaker dalam  seminar nasional dengan tema "Penguatan Kelembagaan DPR Menuju Lembaga Perwakilan Modern" di Ruang Abdul Muis Gedung Nusantara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/12/).

Dijelaskan Fahri, di zaman Hindia Belanda sudah ada Dewan Perwakilan Rakyat yang anggotanya dipilih sangat selektif oleh sekitar 2000 sampai 3000 orang yang punya hak pilih waktu itu, dan terpilihlah beberapa pribumi juga menjadi anggota Volksraad.


"Salah satunya adalah Abdul Muis yang sekarang ini diabadikan namanya untuk nama ruangan kita hari ini yang semula bernama Operation Room," ujarnya.

Sebenarnya, menurut Fahri, masih banyak orang pribumi yang menjadi anggota Volksraad waktu itu, dan mereka adalah para pribumi yang vokal, salah satunya adalah Jahja Datuk Kajo yang berasal dari Agam, Sumatera Barat.

Sebagai anggota Volksraad, jelas Fahri, Jahja Datuk Kajo dikenal anggota yang ngotot sejak selesainya Kongres Pemuda atau bahkan sebelum itu dia sudah ngotot memakai Bahasa Melayu. Bahkan, dia memaksa kalau ada yang mengintrupsi pembicaraannya harus berbahasa Melayu.

"Jadi orang Belanda nggak bisa intrupsi kalau tidak bisa berbahasa Melayu. Nah, itu sedang dibuat kronologi dalam sejarah dari buku yang sedang digarap. Sementara di Tim Reformasi kita sedang merancang berbagai disain, termasuk konsep tertulisnya," kata Fahri lagi.

Melanjutkan sambutannya, Fahri Hamzah mengatakan, keinginan DPR adalah betul-betul memiliki satu tradisi legislatif atau lembaga perwakilan yang baku. 

Sebab kalau membaca itu, mulai dari Volksraad zaman Belanda, lalu kemudian dizaman kemerdekaan dibentuklah Komite Nasiponal Indonesia Pusat (KNIP), lalu selama demokrasi liberal dulu (setelah Pemilu 1955), kemudian setelah Dekrit, kemudian DPR  GR, dan Orde Baru sampai Reformasi sekarang ini, kadang-kadang melihat seperti ada diskontiunitas konsepsi legalatif, karena seperti melompat.

"Apalagi tempat kita ini, sebenarnya bukan kawasan Parlemen, tetapi kawasan Conevo yang didalam imajinasi Soekarno, Indonesia itu pusat dunia atau alternatif bagi peradaban Barat dan Timur yang terbentuk di luar sana. Dan bahkan kalau kita membaca sampai sekarang, saya sendiri masih punya keyakinan bahwa Pancasila itu bisa menjadi idelogi alternatif dunia," sebutnya.

Memang diakui anggota DPR dari Dapil NTB itu, untuk menjadikan Pancasilan sebagai ideologi alternatif dunia, diperlukan penjurubicaraan yang baik, karena itu perlu satu kelambagaan yang kuat agar secara bertahap kelas politik Indonesia masuk ke kelas dunia.

"Sebab kalau kita ini semakin minder, itu juga yang menyebabkan politik kita ini tidak mampu menjangkau dunia. Padahal, kalau kita bicara generasi awal republik ini adalah politisi-politisi kelas dunia. Jadi wajar kalau kita punya mimpi besar, mimpi menjadi pusat peradaban dunia," pungkas Fahri Hamzah. 

Reporter: Syafril Amir