Terkait Temuan BPK Soal Kelebihan Bayar Software UNBK, Ini Kata Kadisdik Riau

Terkait Temuan BPK Soal Kelebihan Bayar Software UNBK, Ini Kata Kadisdik Riau

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Dinas Pendidikan Provinsi Riau telah menyelesaikan tindak lanjut dari temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), terkait dengan kelebihan bayar dalam pengadaan peralatan komputer Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2017 yang lalu.

Kepala Dinas Pendidikan Riau, Rudiyanto, menjelaskan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan BPK, dan memberikan bukti-bukti mulai dari surat menyurat sampai mendatangkan pihak rekanan penyedia software. Pihak rekanan dalam hal ini PT PT BMd, menyatakan bahwa sofware yang dipermasalahkan lisensinya, telah berlisensi. Namun bukan sofware pendidikan karena lisensi dari Singapura tidak mengeluarkan software pandidikan.

“Ini dalam surat BPK itu masih indikasi, soal indikasi temuan BPK itu belum tentu itu salah. Kita diminta untuk dipertanggungjawabkan, karena masih praduga. Karena hasil pemeriksaan itu tidak dibunyikan harus kembali ke kas daerah. Kalau ada, berarti BPK sudah membuktikan kita salah, dan kita akan tagih kelebihan itu ke rekanan untuk disetor," jelas Rudiyanto, Selada (30/10/2018). 


Dijelaskan Rudiyanto, pihaknya telah menjalankan proses penyediaan sofware UNBK tersebut sesuai aturan. Dengan mengajukan proses lelang dengan e-katalog, dan perusahaan yang wajib diberikan sebagai penyedia barang-barang yang dibutuhkan, telah ditetapkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). 

“Semua berjalan sesuai dengan prosedur, mana mungkin kami mengada-ada. Kalau dari pihak BPK menginginkan keterangan lebih lanjut, silakan ke LKPP mereka yang menyatakan bahwa perusahan yang boleh ada di LKPP, kalau tidak boleh tidak mungkin ditayangkan,” katanya. 

Lebih lanjut diterangkan mantan Pj Bupati Indragiri Hilir ini terkait sofware yang dipermasalahkan lisensinya. Menurutnya untuk sofware pendidikan itu tidak ada, karena lisensi dari Singapura tidak mengeluarkan itu. 

"Memang di LKPP dikeluarkan di katalog. Tapi ketika kita belanja tidak bisa dan lisensi tidak menanggapi, ini karena pemilik sofware mengatakan di Indonesia banyak bajakan setelah ditinjau oleh pimpinan mereka. Sehingga kalau kita beli melalui e-katalog LKPP tidak dilayani lisensi," paparnya. 

Karena itu, pihaknya membeli software itu dengan cara reguler. Proses pembelian ini sudah dijelaskan, bahwa rekanan PT BMd dipanggil BPK mempertanyakan apakah benar sofware tidak bisa dibeli dengan software edukasi (pendidikan) dan harus dibeli secara reguler. 

"Rekanan mengatakan iya itu benar. Mereka beli software itu dari PT Higher Learning Internasional (HLI) di Singapura. Kemdian lisensi (PT HLI) dari Singapura sudah mengeluarkan surat bahwa sofware itu memang benar dibeli dengan reguler. Dalam surat itu PT HLI memutuskan seluruh penjualan Faronics di Indonesia hanya menggunakan satu harga yakni harga reguler, dan tidak ada harga pendidikan," jelasnya.

Kadisdik kembali menegaskan bahwa BPK tetap saja menulis itu masih indikasi temuan, walaupun semua kelengkapan dipenuhi. Padahal rekanan sudah bawa surat dari lisensi bahwa pembelian software hanya satu harga reguler. BPK menyatakan bahwa software itu aslinya dari Canada. 

"Kita kan tak tau lisensi software itu Singapura atau Canada, kita belinya dengan PT BMd. Kemudian kita minta rekanan minta lisensi dari Canada, dan itu sudah kita kasih ke BPK bahwa untuk penjual software melalui pendidikan tidak ada. Dan kita sudah menindaklanjuti menyerahkan lisensi dari Canada, apalagi,” kata Rudi.

“Sekarang tingga BPK yang memproses apa itu selesai atau tidak. Kita sedang menunggu tindaklanjuti BPK untuk memutuskan atas surat lisensi dari Canada. Kalau surat itu tidak benar, kita juga siap untuk menagih kelebihan bayar itu ke rekanan. Sebaliknya kalau benar tidak ada disebutkan indikasi kelebihan bayar Rp2 miliar itu," tegasnya. 

Lebih jauh dikatakan Rudi, Menurut Rudy, proses pembelian software sejenis itu sudah dilakukan di provinsi lain seperti Banten, dan di sana tidak ada masalah. Karena prosesnya sudah melalui prosedur yang dianjurkan pemerintah. 

"Di Banten tidak ada masalah. Tapi kata mereka (BPK) beda. Bedanya dimana sama-sama diperiksa BPK juga laporan keuangannya. Dan kita juga belanja ditempat yang benar LKPP, jadi di mana salahnya kita," tutupnya.

Sebelumnya Kejaksaan Tinggi Riau melalui Kajati Riau, Uung Abdul Syakur, kepada media mengatakan, pejabat terkait diminta untuk menindaklanjuti temuan BPK itu khususnya terkait rekomendasi untuk mengembalikan kelebihan bayar.

"Temuan itu kan ada mekanismenya lagi. Kalau memang kelebihan bayar, kita minta untuk segera kembalikan. Kan tinggal itu," ujar Kajati beberapa hari lalu.

Kalau tidak dikembalikan kata Uung, berarti sudah ada unsur korupsi di dalamnya. Apalagi uang tersebut sudah dinikmati oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Jika memang tidak ada iktikad baik untuk mengembalikan kata Uung, pihaknya siap untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut.

"Korupsi. Kalau nggak (dikembalikan). Lebih gampang kan. Kalau dimakannya kan korupsi. Nanti korupsinya saya tangani kan. Itu lebih enak," tegasnya. 

Diketahui bahwa pengadaan peralatan komputer UNBK 2017/2018 ini menelan anggaran sebesar Rp10,83 miliar. Dananya bersumber dari APBD Riau 2017. Proyek ini diadakan oleh Disdik Riau untuk mendukung pelaksanaan UNBK tingkat SMA di Riau.

Proyek tersebut dikerjakan oleh PT BMd. Itu tertuang dalam surat perjanjian kontrak Dinas Pendidikan dengan PT BMd tertanggal 13 November 2017 dan adendum tanggal 4 Desember 2017. Nilai pekerjaannya Rp10,83 miliar.

Dalam pengerjaannya, terdapat selisih harga antara jenis lisensi produk yang harusnya dibeli dengan lisensi produk yang terpasang. Harusnya, berdasarkan data tayang e-katalog menggunakan lisensi education, namun yang dipasang adalah lisensi reguler. Selisihnya Rp2.069.424.000.


Reporter: Nurmadi