Buron, Haris Anggara DPO Kasus Dugaan Korupsi Pemasangan Pipa Transmisi di Inhil

Buron, Haris Anggara DPO Kasus Dugaan Korupsi Pemasangan Pipa Transmisi di Inhil

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Polda Riau akhirnya menetapkan Haris Anggara dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Hal itu setelah upaya pencarian terhadap tersangka dugaan korupsi pemasangan pipa transmisi di Tembilahan, Indragiri Hilir (Inhil) tidak membuahkan hasil.

Dalam perkara itu, Haris diketahui merupakan pihak yang menyediakan pipa. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga pesakitan lainnya. Mereka adalah Sabar Stevanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja yang merupakan pihak rekanan, dan Edi Mufti BE selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Terakhir, Syahrizal Taher selaku konsultan pengawas.

Pada Jumat (19/10), keempat tersangka dipanggil untuk menjalani penahanan. Oleh Haris Anggara, panggilan itu tidak diindahkan.


Atas sikapnya itu, Haris Anggara yang diketahui beralamat di Medan, Sumatera Utara (Sumut) diburu petugas. Namun pencarian itu tidak membuahkan hasil. Atas hal itu, polisi kemudian menetapkan Haris Anggara buron dan memasukkannya ke dalam DPO.

"Iya, HA (Haris Anggara, red) kita tetapkan sebagai DPO," ungkap Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dir Reskrimsus) Polda Riau, Kombes Pol Gidion Arif Setywan, Selasa (23/10/2018).

Jika nantinya Haris Anggara ditemukan, Gidion menegaskan yang bersangkutan akan langsung dilakukan penahanan. "Jika ketemu, langsung ditahan," tegas mantan Wadir Resnarkoba Polda Metro Jaya itu. 

Selain empat nama yang disebutkan di atas, tersangka dalam perkara ini diyakini masih bertambah. Itu mengingat masih ada satu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)  lagi yang diterima Jaksa dari penyidik. Hanya saja, penyidik masih merahasiakan nama tersangka tersebut.

Dalam penyidikan perkara ini, sejumlah pihak telah dipanggil untuk dimintaiketeangan. Salah satunya, Wakil Bupati Bengkalis, Muhammad. Politisi PDI Perjuangan itu diketahui telah beberapa kali menjalani pemeriksaan. Terakhir, dia diperiksa pada Kamis (18/10). Seperti sebelumnya, dalam perkara itu Muhammad masih berstatus sebagai saksi.

Dugaan korupsi ini berawal dari laporan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Proyek milik Bidang Cipta Karya Dinas PU Provinsi Riau tahun 2013 ini, menghabiskan dana sebesar Rp3.415.618.000. Proyek ini ditengarai tidak sesuai spesifikasi.

Dalam laporan LSM itu, Muhammad, yang saat itu menjabat Kabid Cipta Karya Dinas PU Riau tahun 2013, diduga tidak melaksanakan kewajibannya selaku Kuasa Pengguna Anggaran proyek pipa tersebut. Selain itu, LSM itu juga menyebut nama Sabar Stavanus P Simalonga selaku Direktur PT Panatori Raja, dan Edi Mufti BE selaku PPK, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam dugaan korupsi ini.

Dalam kontrak pada rencana anggaran belanja tertera pekerjaan galian tanah untuk menanam pipa HD PE DLN 500 MM PN 10 dengan volume sepanjang 1.362,00. Ini berarti galian tanah sedalam 1,36 meter dan ditahan dengan skor pipa kayu bakar sebagai cerucuk. Galian seharusnya sepanjang dua kilometer.

Pada lokasi pekerjaan pemasangan pipa, tidak ditemukan galian sama sekali, bahkan pipa dipasang di atas tanah. Selain itu, pada item pekerjaan timbunan bekas galian, juga dipastikan tidak ada pekerjaan timbunan kembali, karena galian tidak pernah ada.

Pekerjaan tersebut dimulai 20 Juni 2013 sampai dengan 16 November 2013, sementara pada akhir Januari 2014 pekerjaan belum selesai. Seharusnya, kontraktor pelaksana PT Panotari Raja diberlakukan denda keterlambatan, pemutusan kontrak, dan pencairan jaminan pelaksanaan.

Namun anehnya, pihak Dinas PU Riau tidak melakukan denda, tidak memutus kontrak, dan tidak mencairkan jaminan pelaksanaan. Tragisnya lagi, Dinas PU Riau diduga merekayasa serah terima pertama pekerjaan atau Provisional Hand Over sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Serah Terima Pertama Pekerjaan/PHO Nomor: 0/BA.ST-I/FSK.PIPA.TBH.XII/2013 tanggal 13 Desember 2013.

Akibat dari tidak dilakukannya pekerjaan galian tanah, tidak dilakukannya penimbunan kembali galian tanah atau pekerjaan tidak dilaksanakan namun pekerjaan tetap dibayar, negara diduga telah dirugikan Rp700 juta. Denda keterlambatan 5 persen dari nilai proyek sama dengan Rp170.780.900, dan jaminan pelaksanaan 5 persen dari nilai proyek juga Rp170.780.900. Sehingga diperkirakan total potensi kerugian negara Rp1.041.561.800.

Reporter: Dodi Ferdian