Sri Sultan: Kenapa di Republik Ini Tak Bisa Menjalankan Demokrasi Ala Indonesia?

Sri Sultan: Kenapa di Republik Ini Tak Bisa Menjalankan Demokrasi Ala Indonesia?

RIAUMANDIRI.CO, YOGYAKARTA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubowono X mengungkapkan kerisauannya terhadap demokrasi yang kini dijalankan di Indonesia. Karena itu, dia meminta MPR untuk mengevaluasi demokrasi yang kini diterapkan di Republik ini, apakah tidak bisa menerapkan demokrasi ala Indonesia?.

"Republik ini punya pilihan untuk melaksanakan demokratisasi, kedaulatan di tangan rakyat, tapi itu kan bukan tujuan, itu kan alat.

Di mana demokrasi itu sebagai suatu alat dalam upaya untuk menghargai hak masyarakat. Dimana pemerintah punya kewajiban untuk memajukan untuk mensejahterahkan bangsa ini, sesuai dengan tujuan awal bagaimana founding fathers kita membuat negara yang merdeka," kata Sri Sultan.


Hal tersebut disampaikan Sri Sultan ketika memberikan sambutan pada pembukaan Press Gathering Pimpinan MPR dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan mengambil tema "Konsolidasi Nasional Menuju Pemilu 2019", di Yogyakarta, Jumat (19/10/2018) malam. 

Acara tersebut dibuka dan dihadiri Wakil Ketua MPR Mahyudin (Golkar), Ahmad Muzani (Gerindra), Ketua Fraksi Gerindra di MPR Fery Djemi Francis, Sekretaris Fraksi Demokrat di MPR Ayub Khan, Ketua Fraksi PPP di MPR Arwani Thomafi dan Ketua Fraksi Hanura MPR Capt, Jhoni Rolindrawan dan Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono.

Karena itu, dia meminta MPR untuk mencoba merenung dan mengevaluasi perjalanan 73 tahun Indonesia merdeka. 

"Apakah perjalanan bangsa ini sebetulnya sudah sesuai dengan tujuan para pendiri bangsa ini. Demokrasi itu tidak hanya satu jalur, tapi semua negara mengatakan demokratis. Korea Utara pun mengatakan demokrasi ala Korea Utara, Tiongkok mengatakan demokrasi ala Tiongkok, Amerika Serikat ya demokrasi ala Amerika. Kenapa kita tidak bisa mengatakan demokrasi ala Indonesia?" kata Sri Sultan mempertanyakan.

Sultan mempertanyakan pendukung capres petahana yang tidak membolehkan orang punya alternatif pilihan lain, tidak boleh duduk kabinet? "Mana yang melarang aturannya, tidak ada. Kalau memang mereka punya potensi, kenapa tidak bisa. Hanya karena bukan pendukung capres petahana, harus
keluar. Yang berhak menentukan menteri kan presiden. Kalau presiden menyatakan tidak boleh mundur, memangnya tidak boleh? Siapa yang melarang," ujar Sultan.

Ditegaskan Sultan, seorang presiden tidak hanya bisa mengibarkan benderanya sendiri, tapi pemimpin harus itu bisa mengibarkan bendera yang lain. 

"Bagaimana seorang pemimpin yang berkuasa merasa tidak berkuasa, karena kekuasaan sepenuhnya diabdikan untuk rakyatnya. Hanya dengan dasar kebersamaaan, memberikan ruang biarpun kecil. Harapan saya, mulai dari presiden sampai bupati/walikota yang didukung partai, begitu jadi pimpinan daerah atau negara tidak membawa partainya. Harus bisa melayani semua partai, semua masyarakat," tegas Sultan.

Terkait Pemilu 2019, Sultan mengarapkan berlangsung aman dan nyaman. Masyarakat tidak punya gejolak tapi juga merasa nyaman, karena kampanye juga baik, bicara program, keberhasilan, bicara kegagalan, menberikan ruang lebih transparan terbuka kepada masyarakat.

"Karena bagaimanapun kita tetap negara  maritim. Maritim itu egaliter, tidak pernah bicara mayoritas, minoritas. Tapi bagaimana dari yang berbeda tetap dijaga. Saya berharap dua hal yang saya sampaikan apakah kita sudah sesuai dengan tujuan para founding fathers membangun negara ini, kemudian kedua bagaimana semua partai ini bisa mengikat Indonesia ini tidak bubar," kata Sultan.

Wakil Ketua MPR Mahyudin setuju dengan pertanyaan Sultan bahwa demokrasi yang dterapkan di Indonesia tidak perlu mengopi faste bulat-bulat dari negara lain. 

"Idealnya demokrasi itu harus punya ciri khas sendiri sesuai kultur kita. Jadi saya setuju dengan pak Sultan bahwa kita perlu membangun demokrasi ala Indonesia," kata Mahyudin.

Dia menilai demokrasi yang diterapkan sekarang ini, yaitu dengan pemilihan presiden dan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak bisa berjalan ekfektif. Selain berbiaya mahal
dengan indikasi banyaknya kepala daerah yang tersangkut hukum, juga tidak bisa berjalan efektif ketika rakyatnya masih susah.

"Kalau bisa mengedepankan musyawarah dan mufakat itu akan lebih baik. Kompetisi secara langsung itu tidak sehat karena rentan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Kalau kita duduk berdua dengan pilihan politik berbeda itu rasanya kok bagaimana ya. Kalau pilkada itu dilakukan DPRD akan lebih mudah mengawasi politik uangnya," kata politisi Golkar itu.

Reporter: Syafril Amir