UU Halal dan UKM

UU Halal dan UKM

Sekitar lima tahun lagi UU JPH akan mewujudkan perlindungan negara terhadap warganya dari produk nonhalal. UU JPH mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia adalah halal (Pasal 4) dan akan berlaku efektif lima tahun mendatang (Pasal 67).

Namun, sifat mandatory ini menyisakan persoalan tak sederhana. Konsekuensi perintah Pasal 4 yang mewajibkan setiap produk beredar adalah halal yang ditandai dengan label halal (Pasal 25), setiap produk yang tidak bersertifikat halal yang beredar di pasar dapat diasumsikan sebagai produk nonhalal oleh masyarakat. Lalu, apakah semua pelaku usaha mampu memperoleh sertifikat halal, terutama bagi usaha mikro dan kecil (UKM)?

Hal ini mengingat tidak semua UKM mampu secara finansial dan tidak setiap produk dapat dengan mudah diidentifikasi kehalalannya. Untuk mendapatkan sertifikat halal, selain berkaitan dengan biaya, juga pada cara dan proses yang tidak sederhana.

Persoalan ini bukan hal yang mudah bagi sebagian UKM. Sebagaimana dilaporkan pada Republika, Kamis (12/2), misalnya, UKM jamu yang menggunakan ribuan spesies tumbuhan sebagai bahan dasar, lalu ribuan spesies untuk bahan resep, bahan campuran dan seterusnya adalah tidak mudah untuk diverifikasi kehalalannya. Padahal, sistem kehalalan produk bersifat integratif, dari hulu hingga hilir, dari bahan, proses hingga hasil wajib dipastikan kehalalannya (lihat Pasal 7, 21, dan 22). Hal ini tentu sangat memberatkan pelaku UKM seperti usaha jamu atau sejenisnya.

Sampai di sini, meminjam pendapat Muhammad Hasyim Kamali bahwa hukum yang seyogianya memberikan kemanfaatan bagi semua pihak, dapat menjelma menjadi kesulitan (al-mafasid) bagi sebagian pelaku usaha. Pada satu sisi, UU JPH telah memenuhi sifat protektif dari produk nonhalal kepada konsumen dengan memberikan rasa nyaman dalam mengonsumsi atau menggunakan produk.

Di sisi lain, khusus pelaku UKM yang tidak mampu memperoleh sertifikat halal UU JPH dapat menjadi malapetaka. Produk yang selama ini mereka yakini halal dan laris manis di pasar, dapat saja dijauhi masyarakat karena bisa diasumsikan sebagai produk nonhalal.

UKM adalah tempat bertumpunya ekonomi sebagian besar masyarakat. Pada 2013, misalnya, jumlah UKM dan mikro mencapai 56,5 juta unit dan 98,9 persen adalah usaha mikro. UKM juga berposisi sangat strategis karena dapat mengurangi pengangguran. Menurut data Kementerian Koperasi, UKM dapat menampung 100 juta lebih tenaga kerja, belum lagi efek ekonomi dari para pekerja. Karena itu, melindungi keberadaan UKM adalah keniscayaan.

Negara wajib hadir memberikan perlindungan bagi pelaku usaha. Adapun perlindungan UKM yang tidak mampu secara finansial maupun disebabkan kesulitan dalam memperoleh sertifikat halal karena sifat produknya yang rumit, seperti contoh kasus produk jamu di atas adalah tanggung jawab negara. Tanggung jawab negara ini telah dimaktub dalam UU JPH secara eksplisit maupun implisit. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal.

Pertama, tegas disebutkan bahwa penyelenggaraan produk halal adalah kewajiban pemerintah (Pasal 5). Karena itu, seluruh rangkaian yang berkaitan dengan penyelenggaraan produk halal adalah tugas pemerintah, tentu dengan perpanjangtanganan dengan pihak-pihak terkait, seperti auditor halal dan pelaku usaha sendiri.

Kedua, UU JPH memberikan hak bagi setiap pelaku usaha untuk memperoleh informasi, edukasi, sosialisasi, pembinaan dalam produksi halal, serta mendapatkan sertifikat halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau (Pasal 23). Pelaku usaha tidak perlu khawatir kesulitan memeroleh sertifikat halal, baik disebabkan kesulitan biaya, keterbatasan pengetahuan, lama waktu pengurusan, maupun cara memperoleh sertifikat halal. UU JPH secara terintegrasi memberikan hak untuk memperoleh sertifikat halal, baik dari biaya, cara, bahkan waktu.

Pemerintah seyogianya secara cermat sekaligus cepat dalam waktu lima tahun ke depan melakukan serangkaian sosialisasi, edukasi, membina serta menyiapkan instrumen yang dapat membuat proses pengurusan sertifikasi secara cepat, efisien, dan biaya terjangkau. Pemerintah juga mesti memetakan produk dengan cara mengklasifikasi produk yang rumit diverifikasi dengan yang mudah diverifikasi.

Ketiga, UU JPH memang masih menyisakan “celah hukum”, yakni sertifikat halal dan keterangan tidak halal. Pada satu sisi, UU JPH mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal (Pasal 4). Namun, produk yang tidak halal juga wajib mencantumkan keterangan tidak halal (Pasal 26 ayat 2). Lalu, bagaimana produk yang tidak ada sertifikat halal dan juga tidak mencantumkan keterangan tidak halal?

Penulis melihat, UU JPH masih menyisakan persoalan “produk transisi”, yaitu “transisi menuju sertifikasi halal” atau “transisi menuju keterangan tidak halal” sehingga tidak jelas “jenis kelamin" produknya. Celah hukum ini dapat menjadi celah positif bagi pelaku usaha yang kesulitan biaya, maupun cara memperoleh sertifikat halal, sebab produk yang tidak mempunyai sertifikasi tidak bisa diasumsikan sebagai produk nonhalal, tentu selama tidak mencantumkan keterangan tidak halal. Namun, ketentuan di atas bisa menjadi celah hukum bagi pelaku usaha yang mangkir dari proses jaminan produk halal.

Keempat, khusus masalah biaya bagi UKM, UU JPH telah memberikan jalan keluar khusus dengan memberikan peluang memperoleh biaya sertifikasi dari pihak lain (Pasal 44). Yang dimaksud pihak lain adalah pemerintah melalui APBN, pemerintah daerah melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas.

Pasal 44 beserta penjelasannya menunjukkan keberpihakan pembuat UU JPH terhadap pelaku UKM, sebab salah satu kendala pengurusan sertifikasi halal adalah persoalan biaya. Tapi, jika tidak satu lembaga pun memberikan bantuan dalam pengurusan biaya sertifikasi, bagaimana nasib pelaku UKM? Jika hal itu terjadi, kita dapat mengembalikan beban biaya sertifikasi UKM kepada pemerintah sebagaimana terdapat pada Pasal 5 UU JPH.

Pemerintah bisa saja membagi beban biaya pengurusan sertifikasi halal bagi UKM kepada pemerintah pusat, lokal, dan kementerian khusus selain lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas yang bersifat voluntary. Daerah seperti Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, dan lainnya telah mengalokasikan anggaran untuk sertifikasi halal bagi UKM.

Namun, untuk memastikan kehadiran pemerintah dalam sertifikasi halal diperlukan penguatan regulasi turunan UU JPH untuk berpihak kepada pelaku UKM sehingga pelaksanaan sertifikasi halal bisa berjalan baik. (rol)

Pengajar Hukum Bisnis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara.