Capres Tunggal Tak Cerminkan Demokrasi

Capres Tunggal Tak Cerminkan Demokrasi
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Lely Aryani mengatakan, jika Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 hanya diikuti satu pasang calon atau tunggal maka tidak mencerminkan demokrasi.
 
"Itu tidak mencerminkan demokrasi. Namanya pemilihan itu ya harus ada yang dipilih. Kalau hanya ada satu pasang calon apa yang dipilih," ujar Lely dalam dalam diskusi bertajuk 'Pilpres 2019 Terganjal Calon Tunggal? di Jakarta, Minggu (11/3).
 
Dia pun mengakui bahwa ada pihak-pihak yang menginginkan dalam Pilpres 2019 hanya muncul satu pasang calon atau calon tunggal dengan melakukan lobi-lobi politik. Bahkan ada yang melobi Prabowo Soebianto untuk dijadikan cawapresnya Joko Widodo (Jokowi) untuk mewujudkan pasangan calon tunggal tersebut.
 
Namun Lely merasa optimis, dalam Pilpres 2019 mendatang keinginan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tunggal itu tidak akan terwujud. 
 
"Saya yakin tidak akan terjadi satu pasangan calon alias calon tunggal. Menimal pasti akan ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata Lely.
 
Untuk calon presiden pertama katanya sudah hampir dipastikan adalah Jokowi yang sudah diusung sejumlah partai politik. Sedangkan calon kedua menurut dia adalah Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerindra dan kemungkinan besar ditambah PKS.
 
Jokowi dengan dukungan partai politik yang besar menurut dia akan sangat sulit bagi Jokowi dalam mengambil keputusan untuk menentukan pasangannya nanti. Sehingga, tentu akan menjadi polemik di internal koalisi yang tentunya harus diselesaikan terlebih dahulu.
 
"Apakah mungkin ceruk-ceruk suara dari partai lain itu tidak menjadi perbincangan peminat. Tidak semudah itu untuk memutuskan siapa wakil presiden Jokowi, karena ada begitu banyak partai yang mengusungnya," papar dia.
 
Namun, berbeda Prabowo, dengan hanya didukung minim partai politik akan membuat keleluasaan dalam menentukan pendamping sangat luas dan terhindarnya dari polemik internal.
 
"Pak Prabowo yang memutuskan jauh lebih besar dominan untuk memutuskan dialah wakil calon presiden saya. Berbeda kondisinya, dalam posisinya Pak Jokowi, posisi segmentasinya pun juga berbeda, dan target suaranya akan berbeda. Itu yang memungkinkan bahwa saya menyatakan rasa-rasanya kita tidak minimal aka ada dua calon presiden," ujarnya.
 
Sedangkan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr. Yenti Garnasih lebih mengkhawatirkan penggunaan 'uang haram' dari hasil pencucian uang narkotika dan hasil korupsi oleh pasangan calon presiden.
 
“Jika hal ini benar terjadi, maka malapetaka bagi bangsa Indonesia. Karena itu saya sangat berharap Bawaslu dapat bekerja dengan cermat dan tepat,” kata mantan Pansel KPK itu.
 
Kekhawatirannya itu cukup beralasan jika melihat pengalaman pada pilpres sebelumnya. Memang diakuinya jumlah uang sumbangan sudah ditetapkan, tapi banyak terdapat celah yang disalahgunakan.
 
Misal, sebut Yenti, jumlah batas biaya kampanye dan sumbangan korporasi. “Yang korporasi begitu dicek rumahnya penyumban itu, ternyata rumahnya ngontrak dan sangat tidak layak untuk menyumbang dalam jumlah yang tertera,” katanya.
 
“Saya bukan orang politik. Jadi saya tak bisa bicara banyak soal politik. Penekanan saya ya hanya masalah pelanggaran hukum terhadap dana-dana untuk pemilu dan pilpres. Kan sudah ada contoh di daerah, uang korupsi disimpan di hutan dan akan digunakan pada kampanye nanti,” katanya lagi.
 
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang