Momentum Jadi Jawaban Buruknya Penampilan Liverpool Sejauh 2017 Ini

Momentum Jadi Jawaban Buruknya Penampilan Liverpool Sejauh 2017 Ini
RIAUMANDIRI.co - "Next year will be our year," (tahun depan akan menjadi tahunnya kami) adalah salah satu kalimat yang sering para suporter Liverpool ucapkan. Namun jika kalimat tersebut diucapkan pada tahun 2016 alias tahun lalu, sepertinya kita akan mendapatkan refleksi yang sama sekali berbeda.
 
Di tahun 2017 ini, meskipun belum sampai dua bulan, bisa dibilang sebagai tahun-yang-bukan-Liverpool-banget. Sempat berada di peringkat kedua klasemen Premier League Inggris pada 1 Januari 2017 (setelah pekan ke-19), sekarang Liverpool berada di peringkat kelima (setelah pekan ke-24).
 
Lima kekalahan pada 10 pertandingan terakhir di segala kompetisi (Premier League, Piala FA, dan Piala Liga), hanya meraih satu kemenangan dan itupun saat melawan Plymouth Argyle (kesebelasan dari League Two atau divisi keempat) di pertandingan ulangan Piala FA; apa yang salah dengan Liverpool di 2017?
 
Sejauh paruh musim pertama, Liverpool adalah salah satu kesebelasan yang paling konsisten. Tapi melewati rangkaian buruk dalam 10 pertandingan di tahun ini bisa mengancam musim penuh pertama Juergen Klopp bersama The Reds.
 
"Aku bertanggungjawab [atas rangkaian penampilan buruk Liverpool]," kata Klopp setelah Liverpool disingkirkan oleh Wolverhampton Wanderers di Piala FA (28/01). "Kamu belajar banyak mengenai para pemain di situasi seperti ini. Aku bertanggungjawab untuk penampilan ini, 100 persen."
 
Ada beberapa hal yang bisa kita ambil dari Liverpool yang tidak atau belum memuaskan sejauh ini. Mereka yang tadinya memperebutkan gelar juara, sekarang malah turun tingkat menjadi memperebutkan posisi empat besar.
 
Beberapa hal ini mungkin akan menjadi krusial jika Klopp belum mampu mengatasinya pada pekan-pekan selanjutnya, karena Premier League hanya menyisakan 14 pertandingan lagi.
 
Banyak Kesalahan di Lini Belakang
 
Di antara delapan kesebelasan teratas di Premier League, Liverpool memuncaki daftar kesalahan dalam bertahan (defensive error) dengan 14 kali, tujuh di antaranya berujung gol (angka ini bahkan menjadi tertinggi kedua di Premier League). Statistik ini tentunya menunjukkan kepada lawan-lawan The Reds bahwa pertahanan mereka bisa dieksploitasi dengan mudah.
 
Mereka juga sudah kebobolan 30 gol, yang juga merupakan angka terbanyak di antara delapan kesebelasan teratas Premier League.
 
Jika hanya melihat beberapa pemain, para pendukung Liverpool mengkritisi penampilan pemain bertahan mereka seperti Ragnar Klavan, Lucas Leiva (beberapa kali menjadi bek tengah), sampai kedua penjaga gawang mereka, Simon Mignolet dan Loris Karius.
 
Sempat juga disebutkan jika absennya Joel Matip dinilai menjadi salah satu penyebab akan hal ini. Ini sempat ditunjukkan dari Liverpool yang tidak terkalahkan dalam 14 pertandingan ketika Matip bermain. 
 
Namun saat kalah 3-2 melawan tamunya, Swansea City, pada pekan ke-22 (21/01), rekor tersebut akhirnya berakhir. Hal ini berlanjut saat Matip bermain melawan Southampton (kalah 1-0) di Piala Liga dan Hull City (kalah 2-0) di Premier League.
 
Sepanjang musim ini Liverpool baru kalah tujuh kali, tapi lima kekalahan mereka terima pada tahun 2017 yang bahkan belum sampai dua bulan ini. Kemudian secara jumlah, Liverpool juga jarang kecolongan peluang (186 kali ditembak, merupakan angka terendah di Premier League). Tapi melihat angka kebobolannya, dari peluang yang sedikit itulah The Reds justru bisa kebobolan.
 
Selain itu, Liverpool juga berada pada peringkat keempat terburuk soal menang duel. Hal ini perlu diperhatikan oleh Klopp, mengingat sejauh ini Liverpool terlihat lemah dalam bertahan menghadapi set piece atau situasi bola mati.
 
Lambat Membangun Serangan Melalui Lini Tengah
 
Dari lini belakang, kemudian beralih ke lini tengah. Dengan gegenpressing khas Klopp, Liverpool berhasil menjelma menjadi kesebelasan yang paling ditakuti di Premier League. Tapi selama 2017, Liverpool dinilai terlalu lambat dalam melakukan pembangunan serangan.
 
[Baca juga: Begini Pola Kerja Gegenpressing di Liverpool Musim Ini]
 
Jika ingin mencari kambing hitam, Emre Can adalah salah satu pemain yang paling disalahkan atas hal ini.
 
"Kami harus bisa lebih jelas dalam operan kami," kata Klopp setelah kalah melawan Southampton (11/01) seperti yang dikutip dari Sky Sports. Maksud Klopp dengan 'lebih jelas' ini mengacu kepada Can yang sering menunda untuk berlama-lama menguasai bola.
 
Jamie Redknapp, seorang pundit, kemudian menambahkan. "Setiap kali Can mendapatkan bola, ia melakukan sampai enam sentuhan. Tetaplah sederhana. Kamu harus bisa memindahkan bola dengan cepat melalui operan. Can sangat memperlambat permainan."
 
Can sendiri bermain dalam sembilan dari 10 pertandingan Liverpool di 2017. Satu-satunya pertandingan yang ia tidak bermain adalah saat Liverpool menang melawan Plymouth. Dalam rentang waktu 36 hari, Can bermain dalam 744 menit.
 
Masalahnya pada awal bulan ini Klopp sempat berujar jika Can memiliki masalah cedera pada betisnya. Untuk pemain yang memiliki masalah cedera, meskipun cedera minor, Can terlalu sering dilibatkan pada pertandingan.
 
Hasilnya, ia sangat bersusah payah saat bermain. Ia juga bermain terlalu dalam bersama Jordan Henderson. Hal inilah yang membuat pembangunan serangan Liverpool menjadi lambat, kurang kreatif, dan mudah ditebak oleh lawan-lawan mereka.
 
Dinamisme Penyerangan yang Berkurang
 
Sempat kehilangan Philippe Coutinho yang cedera dan Sadio Mané yang pergi ke Piala Afrika CAF bersama Senegal, membuat penyerangan Liverpool sedikit tumpul dan kekurangan dinamisme mereka. Terutama untuk nama terakhir, Mané menjadi pemain pembeda bagi Liverpool sampai saat ia sebelum pergi ke Gabon.
 
Setelah Mané pergi, angka tembakan tepat sasaran Liverpool menurun drastis, yaitu dari 6,5 per pertandingan menjadi 4,5 per pertandingan.
 
Dari sini, sebenarnya yang menjadi isu utama bukanlah penampilan Mané, tetapi bagaimana Klopp tidak menyiapkan rencana tanpa Mané. Biar bagaimanapun, Klopp tahu jika Mané akan pergi dari jauh-jauh hari. Absennya Mané bukanlah sesuatu yang tidak terprediksi seperti cederanya Coutinho, masalah Matip dengan FIFA, atau masalah seperti Hakan Calhanoglu yang tiba-tiba tidak boleh bermain sampai akhir musim karena masalahnya di masa lalu.
 
Kita semua mungkin mengira Klopp akan mendatangkan pemain baru, tapi ternyata tidak. Tanpa rencana cadangan ini, Klopp terlihat gagal menjaga dinamisme penyerangan kesebelasannya.
 
Pada satu pertandingan, Roberto Firmino bisa dimainkan di kanan, pada pertandingan lainnya ia bermain di kiri, tengah, atau ujung tombak. Begitu juga dengan pemain lainnya seperti Adam Lallana, Giorginio Wijnaldum, Divock Origi, sampai Daniel Sturridge.
 
Sama seperti masalah Can dan lini tengah Liverpool, tanpa Mané dan tanpa rencana cadangan yang jelas dipersiapkan, penyerangan Liverpool terlihat lebih lambat, mudah diprediksi, dan kekurangan dinamisme.
 
Semua Terjadi karena Faktor Kelelahan
 
Tidak memiliki jadwal bermain di Eropa baik di Liga Champions maupun Liga Europa, mungkin akan sedikit menggelikan jika saya menyatakan bahwa Liverpool mengalami kelelahan. Tapi sejujurnya, Liverpool memang kelelahan.
 
Liverpool menjadi kesebelasan dengan waktu istirahat terendah kedua selama boxing day, yaitu 5 hari 18 jam 15 menit, di atas Southampton (yang mengalahkan mereka dua kali di 2017) dengan 4 hari 15 jam 45 menit.
 
Hal ini sangat berpengaruh bagi skuat Klopp, meskipun ia sempat mengistirahatkan banyak pemain utamanya saat bermain imbang 0-0 menghadapi Plymouth di Piala FA (08/01). Satu hal terbesar yang membuat Liverpool kelelahan bukan berasal dari jadwal mereka (meskipun ini juga ngefek, sih), tapi dari cara bermain mereka.
 
Gegenpressing yang menekan tanpa henti dan berintensitas tinggi sangat membuat para pemain kelelahan, bukan hanya di pertandingan, tapi juga di atas lapangan latihan mereka di Melwood.
 
Ini memang sudah musim kedua Klopp, serta musim penuh pertama Klopp (jika ia tidak dipecat, ya) menjabat sebagai manajer Liverpool. Tapi mungkin memang masih belum cukup waktu bagi Klopp untuk membuat skuatnya beradaptasi dengan sempurna dengan taktiknya.
 
Tapi jujur saja, jika ia bisa membuat skuatnya beradaptasi dengan baik dengan gegenpressing, ia berpotensi akan membuat Liverpool sebagai kesebelasan yang penuh energi di Premier League dan Eropa. Namun itu jangka panjang. Sementara jangka pendeknya, seperti yang sudah dijelaskan panjang-lebar di atas, Liverpool sedang memiliki masalah.
 
Pelajaran Berharga Bernama Momentum
 
Keputusan Klopp untuk membuat hanya satu perubahan di susunan sebelas pemain utamanya saat melawan Sunderland (02/01/2017) adalah awal dari keterpurukan Liverpool. Padahal sebelumnya Liverpool habis menang 1-0 melawan Man City (31/12/2016).
 
Jeda kedua pertandingan yang tidak sampai 48 jam ini yang membuat skuat Liverpool merasakan kelelahan.
 
Pada pertandingan melawan Sunderland tersebut, Liverpool terlihat lambat meskipun saat itu Mané masih bermain. Dampaknya, kelelahan tersebut malah terasa terus sampai lebih dari 36 hari kemudian.
 
Bagaimana sebuah kesebelasan seperti Liverpool terlihat bisa bermain buruk dalam 10 pertandingan berturut-turut? Mulai dari memenangkan tekel, menjaga penguasaan bola, sampai mencetak gol, semuanya seolah berubah menjadi lebih buruk. Apa, sih, bedanya dari sebelumnya?
 
Hal ini pernah terjadi juga, misalnya, kepada Chelsea musim lalu ketika memecat Jose Mourinho, atau sebaliknya, tiba-tiba kesebelasan bisa merasakan rentetan hasil pertandingan yang positif. Dalam sepakbola, olahraga lain, maupun kehidupan sehari-hari, hal tersebut dinamakan momentum.
 
Momentum adalah sebuah kekuatan yang mendikte aliran pertandingan dan/atau akumulasi dari beberapa pertandingan. Momentum seperti "hidden force" yang merefleksikan penampilan kesebelasan, pemain, pelatih, bahkan penonton. Momentum ini tidak terlihat, hanya bisa dirasakan, dan sebenarnya lebih bersifat psikologis atau mental alih-alih teknis.
 
Dalam sepakbola, momentum bisa hadir dalam satu pertandingan, misalnya ketika Liverpool berhasil membalikkan keadaan dari tertinggal 3-0 menjadi 3-3 dan kemudian menjadi juara saat final Liga Champions 2005 melawan AC Milan di Istanbul. Gol Steven Gerrard di menit ke-54 (membuat skor menjadi 3-1) menjadi momentum kebangkitan Liverpool.
 
Kemudian momentum juga bisa hadir dalam jangka waktu yang lebih panjang, misalnya pada rentetan hasil pertandingan, seperti yang sedang Liverpool rasakan saat ini.
 
Bisa dibilang, hasil imbang melawan Sunderland (02/01) mengawali momentum buruk Liverpool. Untuk memperbaiki momentum buruk ini, memang hanya waktu yang bisa menjawabnya, kadang mereka sudah berbuat maksimal tapi hasilnya tidak kunjung positif. Hal seperti ini sulit dijelaskan, tapi sering terjadi di sepakbola.
 
Setelah ini, Liverpool harus menghadapi Tottenham Hotspur di Anfield di akhir pekan (11/02). Beberapa berpendapat jika Liverpool bisa mengubah momentum andaikan mereka bisa menang akhir pekan nanti. Tapi memang tidak semudah itu, apalagi jika momentum Spurs berkebalikan dari Liverpool, yaitu sedang bagus-bagusnya.
 
Namun, Liverpool sebenarnya tidak perlu khawatir berlebihan, mengingat mereka sudah tersingkir dari Piala FA dan Piala Liga, serta tidak bermain di kompetisi Eropa, ternyata ada hikmahnya juga. Dengan hanya berlaga di Premier League, itu artinya Liverpool memiliki waktu istirahat yang lebih dari cukup setelah ini.
 
Setelah melawan Spurs, mereka akan "libur" dan baru akan memainkan pertandingan pada 27 Februari 2017 melawan Leicester City di Stadion King Power, atau berselang 16 hari setelah melawan Spurs. Ini terjadi karena akhir pekan ketiga Februari (18 sampai 20 Februari) adalah jadwal untuk pertandingan Piala FA di Inggris.
 
Pada jangka waktu yang panjang itulah sebenarnya waktu yang tepat bagi mereka untuk memperbaiki momentum. Pastinya Klopp akan menyiapkan banyak hal untuk itu. 
 
Penampilan buruk Liverpool sejauh ini di 2017 memang bukan salah siapa-siapa; bukan salah Klopp, Klavan, Mignolet, Karius, Can, Mané, atau siapapun. Jika ingin menyalahkan, salahkanlah momentum. Jadi kepada para suporter Liverpool, bersabar saja kalau nanti masih tidak menang melawan Spurs. Karena kuncinya justru adalah setelah itu. Semua memang ada hikmahnya.(tc/vio)