Proyek Aspirasi Berbuah Amarah

Proyek Aspirasi Berbuah Amarah

PEKANBARU (riaumandiri.co)-Belum lama ini, kinerja Pemprov Riau kembali mendapat sorotan. Hal itu setelah puluhan kontraktor yang merupakan rekanan di Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air Riau, mempertanyakan pembayaran kerja mereka, yang belum kunjung dibayarkan instansi tersebut.
 
Masalah itu terungkap ketika para rekanan tersebut bersama-sama mendatangi Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPAD) Riau, Rabu (4/1) lalu. Mereka meminta kejelasan tentang pembayaran pekejaan mereka yang telah selesai dikerjakan 100 persen. Namun dari pihak Pemprov Riau belum membayarkan hasil pekerjaan mereka, dengan alasan keterlambatan adminitrasi APBD tanggal 31 Desember 2016.

Umumnya, proyek yang mereka kerjakan adalah proyek pokok pikiran Dewan atau proyek aspirasi DPRD Riau, yang dianggarkan dalam APBD Perubahan Riau tahun 2016. Sementara saat ini, masa anggaran tersebut sudah berakhir.

Para kontraktor mengaku resah, karena dalam mengerjakan proyek itu, mereka menggunakan dana sendiri, karena kebanyakan proyek tersebut dilaksanakan dengan sistem penunjukan langsung (PL). Yang cukup mengejutkan, jumlah proyek tersebut mencapai ratusan dengan nilai anggaran sebesar Rp67 miliar.

Salah satu sosok yang paling disorot dalam masalah ini, adalah Kepala Dinas Ciptada Riau, Dwi Agus Sumarno, yang saat ini menjabat sebagai  Kepala Dinas Pemukiman, Perumahan dan Pertanahan Riau. Hal itu juga tidak terlepas dari realisasi serapan keuangan di dinas itu, yang termasuk salah satu yang paling rendah dalam APBD Riau tahun 2016.

Tuai Amarah
Terkait aksi itu, Dwi Agus pun memberikan klarifikasi. Dikatakan, untuk menyelesaikan pembayaran proyek yang telah dikerjakan, harus juga menyelesaikan persyaratannya dan dilengkapi oleh kedua belah pihak. Namun demikian, Dwi menegaskan pihaknya bertanggung jawab dan siap menyelesaikan permasalahan itu.
"Kelengkapannya itu kan berdua yang menyiapkannya. Dari pihak kontraktor menyelesaikan SP2D-nya dan dari kita menyiapkan SPM-nya. Bagi yang sudah lengkap kita kirimkan ke keuangan, bagi yang belum lengkap tentu dilengkapkan persyaratannya. Kan ini harus di cek satu persatu apakah sudah selesai atau belum," terangnya ketika itu.

Menurutnya, kontrakror yang mendatangi kantor BPKAD ini merupakan kontraktor, yang SP2D-nya belum lengkap. Sehingga terjadi keterlambatan penyerahan SP2D hingga akhir Desember 2016. Sehingga perlu dilakukan rekap antara pihak kontraktor dan Ciptada bersama BPKAD.

"Nah inilah yang sekarang sedang kita rekap. Berapa yang sudah SP2D, hasil rekap ini nanti kita bicarakan dengan BPKAD dan BPKP. Terlambat ini bagaimana, apakah kita cek betul ke lapangan, kan uang tidak bisa sembarangan kita bayarkan. Cek dulu ke lapangan apakah betul sudah selesai atau tidak. Kalau administrasinya amburadul, nanti kita yang kena," jelasnya lagi.

Meski demikian, rupanya alasan itu tak bisa diterima begitu saja oleh Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman. Gubri juga tak mampu menahan amarah, setelah mengetahui masalah itu.

Gubri pun balik mengecam kinerja Dwi Agus Sumarno. "Saya sama Pak Sekda sudah memanggil kepala dinasnya, kok bisa kayak gini. Macam-macam lah alasannya. Tapi saya tidak bisa terima begitu saja. Karena sebagai seorang kepala dinas, seorang manajernya, bukan orang baru lagi di sana," tegas Gubri, Kamis (5/1) lalu.
Ditegaskan Gubri, seharusnya jauh-jauh hari sebagai seorang manajer sudah mengetahui akan terjadinya hal seperti ini. Masalah internal dan eksternal, bagaimana kemampuan dalam mengerjakan proyek ini. Berapa anggaran yang tersedia, berapa kemampuan SDM harus sudah diketahui.

"Kalau memang tidak mampu yah katakan tidak mampu. Jangan seperti ini jadi ada gangguan lagi terhadap kita. Padahal kita mau mencoba menjalankan kegiatan di awal tahun, yah sebagian tersita. Ini bukan seorang manajer yang baik, saya tak menerima alasan apa pun," tegasnya.

Disinggung mengenai proyek tersebut merupakan hasil dari pokok pikiran atau aspirasi dari anggota DPRD Riau, yang terkesan dipaksakan dikerjakan pada APBD Perubahan 2016 yang hanya memakan waktu kurang dari dua bulan, Gubri kembali menegaskan hal tersebut seharusnya sudah dimengerti kepala dinas bersangkutan.
"Saya tak tau, pokoknya kegiatan yang ada di dinasnya hasil di APBD-P itu kegiatan yang ada, itu tanggung jawab dia. Seharusnya kan itu bisa diukur mampu tidak, bilang aja tak mampu. Karena ini integritas tak ada, ini tak mampu tak ada integritasnya. Ndak mampu ya udah kita bisa alihkan ke yang lain kok," kata Gubri.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Gubri mengatakan akan ada mekanismenya apa yang harus dijalankan. Dan salah satunya dengan melibatkan BPK, untuk mencarikan solusi pembayaran.

Harus Tanggung Jawab
Hal senada juga dilontarkan Wakil Ketua DPRD Riau, Sunaryo. Dikatakan, pokir (pokok pikiran) Dewan tersebut berdasarkan hasil reses yang dilakukan anggota Dewan di daerah pemilihannya masing-masing.
Kemudian, hal tersebut disampaikan ke Pemprov Riau. Setelah disetujui, kemudian masuk ke dalam APBD.  "Pokir Dewan itu boleh-boleh saja. Kenapa tidak. Barang itu masuk secara resmi ke sana kok," ujarnya, Senin (9/1).
Sunaryo menegaskan, pokir tersebut tidak dikerjakan oleh anggota Dewan. Melainkan melalui mekanisme yang berlaku di SKPD. Sehingga bila muncul permasalahan seperti saat ini, maka yang bertanggung jawab adalah Kepala SKPD terkait, dalam hal ini Dwi Agus Sumarno.

"Artinya, itu (proyek ,red) bukan Dewan yang mengerjakan. Pokir Dewan, usulan-usulan masyarakat, itu biasa. Jadi usulan masyarakat melalui Dewan, disampaikan ke SKPD. Itu jadi tanggung jawab SKPD. Mereka yang harus menyelesaikan," kata politisi PAN ini.

Dia pun mendukung sikap Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, yang 'menyemprot' Dwi Agus Sumarno yang beralasan kalau kejadian tersebut akibat keterlambatan dari kontraktor yang tidak melengkapi administrasi hingga batas waktu 31 Desember 2016.

"Saya kira Pak Gubernur itu sudah tegas. Kalau kepala dinas tak sanggup silakan (dievaluasi). Kita dukung pak Gubernur ngomong seperti itu. Memang tanggungjawab mereka itu. SKPD. Akhir tahun kan mereka sudah tahu (apa yang harus dilakukan). Tidak ada alasan. Sementara kontraktor sudah bekerja. Sudah mengeluarkan duit duluan. Itu harus dibayar," imbuh Sunaryo.

Fee 20 Persen
Dalam kesempatan tersebut, Sunaryo juga membantah adanya 'fee' sebesar 20 persen bagi anggota Dewan yang memiliki pokir yang dikerjakan kontraktor. Angka 20 persen tersebut diketahui dari nilai proyek yang dikerjakan.
"Silakan (rumor) itu dikonfrontir kepada yang bersangkutan. Saya tidak menyampaikan itu. Saya tidak berani jawab, karena saya tidak tahu. Kalau memang ada, silakan tanya kepada yang bersangkutan," terangnya.
"Sejauh ini yang saya tahu tidak adanya. Kalau memang ada, jangan hanya tudingan-tudingan aja. Saya sepakat itu. Siapa yang ada, tunjuk hidung aja," tegasnya. (nur, dod, dok)