mulai Timbulkan Keresahan

Implementasi UU Pengampunan Pajak Jangan Melenceng

Implementasi UU  Pengampunan Pajak  Jangan Melenceng

JAKARTA (riaumandiri.co)-Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menegaskan, tujuan UU Pengampunan Pajak adalah untuk mengambil dana para pengusaha besar, yang diparkir di luar negeri.

Implementasi “Jangan sampai implementasi UU tersebut melenceng dari tujuan semula dan malah menyasar rakyat yang rajin membayar pajak,” tegas Taufik Kurniawan, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/08).

Hal itu dilontarkannya menanggapi keresahan masyarakat, khususnya kalangan bawah, yang kerap disorot media massa sejak beberapa waktu belakangan ini.

Karena itu, ia meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi kebijakan pengampunan pajak tersebut agar tidak menimbulkan kerisauan di masyarakat.

“Sosialisasi tax amnesty seharusnya ditindaklanjuti dengan sosialisasi di tingkat Ditjen Pajak dan pengambilan keputusan di tingkat stakeholders,” kata Taufik.

Selain itu kata Taufik, pemerintah agar melengkapi aturan tax amnesty dengan peraturan turunan seperti Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak.Kemudian juga menetapkan pihak mana saja yang berkewajiban dalam tax amnesty.


“Jangan sampai aturan tersebut dipolitisasi dan malah terkesan menakut-nakuti rakyat. Dengan demikian, upaya menarik kembali uang para konglomerat ke tanah air nantinya tak menjadi bias di publik,” jelasnya.

“Karena tidak akan signifikan. Kan targetnya ribuan triliuan. Saat ini masih di bawah Rp5 triliun dan itu pun 80 persennya masih di internal, dalam negeri. Itu yang saya maksud perlu tindak lanjut sosialisasi dari tataran teknis di tingkat pranata,” ulasnya.

Penegasan serupa juga dilontarkan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Ia  meminta implementasi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak jangan sampai meresahkan masyarakat kalangan bawah.

Pemerintah seharusnya fokus pada konglomerat yang memarkirkan dananya di luar negeri agar dapat dikembalikan ke dalam negeri.
"Jangan sampai ini meresahkan masyarakat, terutama yang sebetulnya kemampuannya terbatas. Justru harusnya masyarakat yang punya dana di luar, perusahaan besar, mereka semua yang harusnya jadi sasaran," ujarnya.

Fadli mengatakan, disorientasi penerapan UU Pengampunan Pajak justru menimbulkan keresahan di masyarakat. Menurutnya, keresahan yang muncul di masyarakat nantinya justru akan merugikan Pemerintah.

Pasalnya, selama ini manfaat pajak belum sepenuhnya dirasakan masyarakat, tetapi mereka juga menjadi target program pengampunan pajak.

"Kalau meresahkan masyarakat ini justru back fire, akan merugikan pemerintah sendiri," ingatnya lagi.

Melenceng Terpisah, Direktur Centre for Budget  Analysis, Uchok Sky Khadafi, menilai, UU Pengampunan Pajak sudah keluar dari tujuan semula yang ingin menyasar aset-aset orang Indonesia yang super kaya yang berada di luar negeri.

“UU itu saat ini telah menjadi momok dan meresahkan masyarakat karena pada kenyataannya justru yang kini menjadi sasaran aparatur Dirjen Pajak adalah masyarakat di dalam negeri yang selama ini sudah relatif baik membayar pajak,” ujarnya.

Seharusnya menurut Uchok, kepatuhan dalam membayar pajak itu dimulai dari para penyelenggara negara, dengan  pemeriksaan pajak presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan pimpinan lembaga Negara lainnya dengan mengumumkannya ke publik.

Hal ini menjadi penting tambah Uchok karena para pejabat di Indonesia saat ini lebih banyak yang berasal dari kalangan pengusaha sehingga penting diketahui rakyat bahwa selagi mereka menjadi pengusaha pun mereka taat pajak dan tidak memanfaatkan jabatannya untuk menghindar dari pajak.

“Sekarang  masyarakat sinis dan antipati terhadap UU Tax Amnesty karena yang disasar cuma masyarakat biasa. Sementara orang kaya yang menyimpan uangnya di luar negeri, maupun para penyelenggara negara maupun pejabat negara tidak diperiksa termasuk partai politik, elit partai dan politisi secara umum,” tegasnya.

Bukan Kalangan Bawah
Dari Banten, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara mengenai penolakan sebagian masyarakat terkait UU Pengampunan Pajak tersebut.

"Untuk menghilangkan gosip atau rumor bahwa ada yang resah, sudah keluar peraturan Dirjen Pajak yang di situ lebih kurang menyatakan, misalnya petani, nelayan, pensiunan, sudahlah, enggak perlu ikut tax amnesty," ujarnya.

Presiden menegaskan, regulasi tersebut pada prinsipnya menyasar wajib pajak skala besar, terutama yang menaruh uangnya di luar negeri agar uang itu direpatriasi ke dalam negeri.

Sementara itu, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, orang yang memiliki penghasilannya di bawah Rp4,5 juta per bulan, tidak perlu punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak, dan tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh). Karena itu, mereka juga tidak perlu mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Menurut Dirjen Pajak, kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori penghasilan di bawah PTKP Rp54 juta setahun adalah buruh, pembantu rumah tangga, nelayan dan petani, serta pensiunan yang hanya memiliki penghasilan semata-mata dari uang pensiun.

“Supaya tidak ribet, orang yang penghasilannya Rp4,5 juta per bulan, tidak perlu punya NPWP, tidak perlu bayar pajak penghasilan, apalagi ikut tax amnesty. Jadi lupakan pembantu rumah tangga, nelayan dan petani untuk ikut program ini,” tegas Ken.

Selain itu, kelompok subjek pajak warisan belum terbagi yang tidak menghasilkan penghasilan di atas PTKP dan penerima harta warisan namun tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP, menurut Dirjen Pajak, juga tidak perlu mengikuti program amnesti pajak.

Kelompok masyarakat lain yang tidak wajib mengikuti program tax amnesty ini, adalah wajib pajak yang memilih untuk membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan wajib pajak yang hartanya sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan oleh salah satu anggota keluarga.

Kelompok subjek pajak lainnya, merupakan WNI yang telah tinggal di luar negeri selama lebih dari 183 hari dalam setahun, dan dipastikan tidak mempunyai penghasilan dari Indonesia.

Ia memastikan seluruh wajib pajak berhak mengikuti amnesti pajak apabila ingin memanfaatkannya, termasuk para aparatur sipil negara seperti pejabat negara, aparat penegak hukum, dan tidak terkecuali para pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

Sementara itu, terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan pajak penghasilan atau harta yang diperoleh dari penghasilan yang bukan objek pajak penghasilan serta belum dilaporkan dalam SPT, menurut Dirjen Pajak, bisa dilakukan pembetulan SPT maupun pelaporan harta tersebut dalam SPT.

Sedangkan, nilai wajar harta selain kas atau setara kas yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta, lanjut Ken, adalah yang sesuai dengan penilaian wajib pajak dan tidak akan dilakukan koreksi maupun pengujian oleh Direktorat Jenderal Pajak. (sam, mel, bbs, kom, sis)