Musuh dalam Selimut Pemberantasan Narkoba

Musuh dalam Selimut Pemberantasan Narkoba

GENDERANG perang terhadap narkoba telah lama ditabuhkan. Semua elemen bahu-membahu berperang melawan Extra Ordinary Crime ini. Ditengah peperangan ini, kita tersentak. Apa yang terjadi justru sebuah ironi. Masih ada saja mereka yang ikut berperang, ternyata malah berkhianat dan menjadi musuh dalam selimut.

Ruang Publik negeri ini gempar, Haris Azhar (Koordinator KontraS) memutuskan untuk membuka isi pertemuannya dengan Freddy Budiman (FB) tahun 2014 lalu di Lapas Nusakambangan kepada publik. Dugaan-dugaan publik tentang “orang kuat” di negeri ini yang melindungi mafia peredaran narkoba, ternyata disambut oleh pengakuan FB kepada Haris Azhar.

Testimoni Haris Azhar yang berisi pengakuan blak-blakan FB membuat beberapa pihak terkejut dan ada pula yang kebakaran jenggot, karena membeberkan peran oknum pejabat BNN, TNI dan Polri dalam bisnis haram tersebut.


Ada beberapa poin testimoni Haris Azhar yang didapat dari pengakuan FB, diantaranya pertama BNN mendapat “jatah” atau bagian dari bisnis haram tersebut dengan jumlah yang besar, lebih kurang 450 Milyar. Aliran dana tersebut dimainkan oleh oknum dari BNN. Kuat indikasi bahwa dana tersebut menjadi pemulus peredaran atau uang tutup mulut. Kedua, Pejabat Polri juga kecipratan dana lebih kurang 90 Milyar, yang dialirkan kepada oknum pejabat Polri.

Ketiga, FB juga menyampaikan bahwa BNN merasa keberatan dengan adanya kamera pengawas (CCTV) dalam ruangan sel yang ditempati oleh FB, sehingga meminta pihak lapas untuk melepas kamera pengawas tersebut. Dan Keempat, FB mengaku pernah menggunakan fasilitas mobil anggota TNI berbintang dua dalam membantu memuluskan peredaran narkoba. Karena, dengan menggunakan kendraan tersebut, FB dapat dengan mudah lolos dari pemeriksaan dijalan (razia).

Permainan Orang Dalam Tidak ada yang akan membantah, tentang status kejahatan Narkoba sebagai Extra Ordinary Crime. Sehingga, pada dasarnya semua pihak sepakat untuk memerangi dan menolak narkoba, karena merusak generasi kini dan mengancam keberlangsungan generasi berikutnya. Berbagai elemen di negeri ini juga bersinergi membangun gerakan anti narkoba bersama.

Namun, pada sisi gelapnya, tidak bisa dipungkiri juga akan adanya “orang dalam” yang melindungi peredaran narkoba ini. Orang dalam ini menjadi “pemulus” beredarnya narkoba kepada masyarakat, dan tentu orang dalam ini bermain dengan bandar-bandar kelas kakap. Pengakuan FB menjadi cerminan bahwasanya, orang dalam yang “bermain” itu merupakan oknum BNN, Polri dan TNI.

Suntikan dana milyaran rupiah diberikan oleh bandar narkoba kepada oknum ini untuk melancarkan bisnisnya, apakah itu sebagai uang tutup mulut, atau katakanlah “uang keamanan dan kelancaran”.

Pengakuan FB kepada Haris Azhar begitu mencengangkan. Selain mengalirkan dana kepada institusi BNN dan Polri, FB juga mengatakan bahwa ia pernah menggunakan kendaraan anggota TNI berbintang dua. Bagi oknum-oknum yang bermain ini, bandar narkoba menjadi sapi perah penghasil pundi-pundi rupiah. Nama atau jabatan oknum tersebut, menjadi pelindung bandar ketika tertangkap atau mampu mempersingkat masa tahanan ketika telah tertangkap.

Alhasil, mereka yang tertangkap tidak lebih dari “ikan-ikan teri” dalam bisnis haram ini, karena yang kelas kakap telah dilindungi oleh oknum-oknum yang memiliki jabatan pada sebuah institusi Keberadaan oknum-oknum yang melindungi para bandar narkoba ini, jelas menghambat proses pemberantasan narkoba.

Terlebih, jika oknum-oknum yang bermain itu berasal dari BNN dan Polri seperti yang dibeberkan oleh FB. Perilaku semacam ini berlawanan dengan semangat memerangi narkoba dan kontradiktif dengan tupoksi masing-masing institusi, karena semangat institusi semestinya dijaga oleh setiap anggotanya.

Ketika perang terhadap narkoba terbentur dengan kepentingan oknum-oknum tadi, maka perang tersebut sejatinya tengah terbentur tembok besar. Karena, oknum-oknum yang bermain itu tentu bukan orang biasa pada institusinya, misalnya ia seorang Jenderal atau petinggi di instansinya. Sehingga, ia mampu dan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau memperlambat proses memberangus kejahatan narkoba.

Bersih-bersih Pelaporan terhadap Haris Azhar oleh tiga institusi (BNN, Polri dan TNI) memang patut disesalkan. Ketiga institusi tersebut melaporkan Haris ke Bareskrim Polri atas dugaan Pencemaran nama baik, karena testimoni yang dikeluarkan oleh Haris tidak disertai bukti yang kuat, sehingga hanya mencemarkan nama ketiga institusi yang disebutkan. Haris dikenakan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pasal 27 (3).

Testimoni Haris yang seharusnya bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar sindikat narkoba pada institusi-institusi tersebut, atau katakanlah membongkar siapa saja oknum yang bermain, ternyata dimentahkan begitu saja. Upaya-upaya demikian, selalu saja terbentur tembok besar. Padahal, jika informasi yang di sampaikan Haris ini benar, maka bisa menjadi momentum untuk bersih-bersih “pengkhianat” ditubuh ketiga institusi.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ketiga institusi ini seperti anti-kritik, mereka enggan untuk membuktikan atau bersinergi untuk mencari tau siapa yang dimaksud dalam pengakuan FB. Jabatan atau pangkat yang tinggi, sanggup membuat oknum ini berlindung dibalik kokohnya benteng ketiga institusi ini dari sorotan massa.

Keterlibatan oknum-oknum pejabat atau berpangkat di BNN, Polri dan TNI dalam memuluskan peredaran narkoba patut disesalkan. Mereka yang seharusnya berada pada garda terdepan dalam memerangi narkoba, tetapi masih belum satu suara dalam berperang, karena masih ada pengkhianat didalamnya.  Jabatan atau pangkat yang dimiliki, justru dimanfaatkan secara berbeda oleh oknum-oknum tersebut.

Reformasi ditubuh BNN, TNI dan Polri harus secepatnya dilakukan. Reformasi bukan hanya dalam konteks birokrasi, tapi kita berbicara pada ranah yang lebih luas, yaitu struktural dan kultural. Memberangus pejabat-pejabat atau jenderal yang menjadi oknum pada kasus ini, menjadi salah satu upaya untuk reformasi tersebut. Adanya orang-orang seperti itu, hanya meruntuhkan integritas institusi.

Pada ranah kulturalnya, generasi atau bawahan-bawahan pejabat tersebut dapat berpikir dua kali untuk melakukan hal yang sama, atau tidak mencontohnya. Hal-hal sederhana seperti ini seharusnya menjadi langkah awal dalam mereformasi institusi yang bermasalah seperti itu. Karena, selama sinergitas sipil dan ketiga institusi belum terjalin, pembangunan politik dan Political will enggan terlaksana, karena oknum masih berlindung didalam kokohnya dinding BNN, TNI dan Polri.

Tuntutan-tuntutan dari masyarakat sipil dan tokoh-tokoh politik harus lebih massif untuk membongkar oknum-oknum ditubuh ketiga institusi ini, agar reformasi struktural dan kultural dapat dilaksanakan. Jika sistem politik dan tokoh-tokoh politik tanggap atas semua tuntutan yang berkembang ditengah masyarakat dan berupaya untuk memprosesnya secara responsif dan efektif, maka dukungan akan mudah diperoleh dari beragam lapisan masyarakat, golongan maupun orang-perorang yang berperan dalam sistem politik.

sehingga, halangan-halangan yang biasanya muncul dalam sistem politik tadi, dapat dihancurkan dengan dukungan massif dari masyarakat. Jangan harap perubahan itu ada muncul jika kontrol sipil masih lemah, dan tuntutan masih terpecah. ***
Anggota Penuh UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas, Padang