Irman Gusman: APBN Taruhan Kredibilitas Bangsa

Irman Gusman: APBN Taruhan Kredibilitas Bangsa

JAKARTA (riaumandiri.co)- Ketua DPD RI Irman Gusman menilai pemangkasan APBN yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan koreksi terhadap pemerintah dalam menyusun APBN.

“APBN ini merupakan taruhan kredibilitas bangsa”, kata Irman Gusman dalam diskusi bertema ‘Pajak dan APBN 2016’ bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon  dan Dikretur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati, di Komplek Parlemen Senayan, Kamis (11/8).


APBN kata Irman, harus merujuk pada basic untuk kebutuhan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kerakyatan. Sedangkanpembiayaan pembangunan, terutama infrastruktur boleh saja lewat utang, tapi harus dialokasikan untuk sektor-sektor produktif.


 Menurutnya, banyak sumber-sumber keuangan yang belum digali dan swasta perlu didorong untuk ikut membiayai pembangunan. “Perlu ada inovasi dan kreatifitas dalam pembangunan nasional,” katanya.



Irman juga menilai penyusunan APBN selama ini masih tradisional. Ke depan katanya, dibutuhkan strategis khusus. “Bila perencanaan anggaran baik, otomatis meningkatkan kredibilitas APBN itu sendiri,” kata senator asal Sumbar itu.


Pembangunan infrastruktur itu kata Irman, juga harus realistis, yaitu yang bisa mendorong ekonomi dan pendidikan di pedesaan. Kebijakan pemerintah pusat juga harus sesuai dengan daerah masing-masing. Baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan khususnya di luar Jawa. “Kita harus menciptakan - gerakkan sejuta intrepeneur-pengusaha di daerah agar tidak berpihak pada kapitalis,” pungkasnya.


Sedangkan Fadli Zon menegaskan, nafsu pemerintah untuk membangun infrastruktur begitu tinggi, tapi tidak dibarengi dengan kesiapan anggaran yang memadai. Penyusunan APBN pun kerap dilakukan dengan improvisasi.


“Ini membahayakan negara. Presiden jangan ambisius. Pembangunan infrastruktur memang bagus, tapi jangan mengandalkan utang untuk pembiayaannya,” ujar tegas politisi Partai Gerindra itu.


Menurut Fadli, dengan adanya perubahan kembali APBN-P, pemerintah seperti tak berkompeten menyusun APBN, karena dengan mudahnya bisa dimentahkan begitu saja oleh Sri Mulyani yang baru diangkat menjadi Menkeu. Selama ini target pertumbuhan yang dipatok 5,3 persen begitu jauh dari realisasi.


Fadli mengkhwatirkan defisit bisa mencapai 3 persen dari PDB yang berarti negara “tekor” dan itu sudah melanggar UU. Dalam tata kelola keuangan, pemerintah terlalu banyak keinginan tapi kemampuan mengumpulkan anggaran tidak ada,” ucap Fadli lagi.


Ditambahkannya, kalau pun ada perubahan postur anggaran, harus ber pihak pada ekonomi rakyat. Saat ini, sambung Fadli, ekonomi rakyat tidak bergerak. Kehidupan ekonomi dan bisnis di Indonesia makin berat.


Seharusnya kata Fadli, pemeirntah melakukan evaluasi terhadap program kerjanya. Misalnya pembangunan infrastruktur itu un tuk siapa dan mana yang harus dibangun? Demikian juga kereta api cepat. Kalau tak ada uang, tidak usah dibangun. Sehingga uang itu bisa dialihkan untuk pembangunan sektor riil untuk men dorong pertumbuhan ekonomi rakyat, yang makin sulit saat ini.


Persoalannya menurut Fadli, memang negara ini tak punya visi, melainkan ‘tiba saat, tiba akal’. Seperti warung kopi, yang nasibnya tergantung kepada pemiliknya. “Jadi, saya tak ingin seperti kata Wapres Jusuf Kalla, dimana kalau Jokowi Presiden negara ini akan hancur. Saya juga tak tahu kemana Sri Mulyani dan Rini Soemarno akan membawa negara ini? Apa untuk Amerika dan Tiongkok? Semua akan tergantung kepada pemerintah dalam mengelola negara,” pungkasnya.


Amburadul Enny mengatakan bahwa APBN merupakan instrument fiscal. Pemotongan anggaran berdampak makin mendistorsi sector riil. Belanja pemerintah tak efektif karena tak mendorong pertumbuhan ekonomi.


“Ini kontra produktif. Untuk itu, sebaiknya APBN tidak bertambah, asal pengelolannya baik dan transparan” kata Enny yang menyebutkan bahwa APBN tiap tahun terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, yaitu dari semula Rp 500 triliun, kini sudah lebih dari Rp 2000 triliun.


Dia mengatakan, pemotongan anggaran itu harus jelas, mana yang harus dipotong dan tidak. Tentu, yang bukan stimulus fiscal yang sudah berjalan 7 bulan ini (45%). Dia mencontohkan anggaran di Kementerian PUPR, yang tererap baru 15 %,  dan inilah yang harus dipotong. “Ini yang tidak jujur. Jadi, tata kelola fiscal kita memang amburadul. Termasuk lapangan kerja dan investasi yang terus menurun. Itu yang menjadikan sector riil tidak bergerak,” tambah Enny. ***