Munaslub Golkar: Antara Islah dan Terbelah

Munaslub Golkar:  Antara Islah dan Terbelah

Partai Golkar akan menggelar hajatan besar yang bernama Musyawarah Nasional Luar Biasa tanggal 14-16 Mei di Nusa Dua, Bali.

Perhelatan ini diadakan pasca badai politik yang menghantam Partai Golkar, yang berakibat terbelahnya beringin menjadi dua kubu. Yakni, kubu hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie dan kubu hasil Munas Ancol yang dikomandani oleh Agung Laksono. Keduanya saling klaim sebagai pengurus yang sah.

Berbagai cara telah ditempuh untuk menyatukan dua kubu yang berseberangan. Mulai dari melibatkan mahkamah partai, menempuh jalur hukum, sampai turun gunungnya jawara-jawara Golkar tempo dulu. Hasilnya, kedua kubu tetap bersikukuh dengan pendirian politiknya masing-masing.

Kendatipun, Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang memenangkan kubu ARB, pihak yang kalah tetap melihat celah dan berhelah (dalih) dengan jubah undang-undang. Akibatnya, impian untuk bersatu dan berteduh di bawah naungan satu beringin kian jauh.

Perseteruan yang dialami Partai Golkar, tak ubahnya seperti perang yang tak jelas kapan berakhirnya.

Segala strategi politik dan amunisi tercurah hanya untuk memenangkan “perang saudara”. Perang yang keuntungannya tidak seberapa, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Persis seperti pepatah,” menang jadi arang, kalah jadi abu”, yang senang dan bertepuk tangan adalah lawan politik.

Kondisi ini sejatinya disadari oleh Partai Golkar, namun birahi politik individu dan angin eksternal membuat kenyataan itu menjadi samar-samar dan terhijab.

Tapi kini,  kesadaran itu pelan-pelan mengalir di setiap akar beringin. Melalui Rapimnas lalu, Partai Golkar melahirkan terobosan baru. Yakni, menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) guna mengurai sengketa.

Pertanyaan yang mengemuka di publik, benarkah ajang Munaslub menjadi ruang untuk menyembuhkan luka yang telah menganga dalam satu setengah tahun ini, atau jangan-jangan pentas Munaslub malah membuat luka baru? Entahlah, yang jelas, Munaslub telah membuat badai konflik terlihat mereda sementara.

Semuanya kembali kepada angin Munaslub, mengingat para calon ketua umum memiliki agenda politik masing-masing dalam membawa Partai Golkar ke depan. Setidaknya ada beberapa kubu dengan garis utama perjuangannya.

Pertama, menginginkan Golkar berada di luar pemerintahan. Kubu ini memiliki kalkulasi, bahwa berjuang dalam ranah oposisi murni menjadi keniscayaan untuk mengembalikan kejayaan Golkar. Bergabung dengan pemerintah hanyalah akan menjadikan Golkar kian terjepit dalam kepentingan politik pihak penguasa.

Golkar hanya akan menjadi bamper kekuasaan yang akan dinikmati oleh segelintir elit Golkar saja. Akibatnya, Partai Golkar akan semakin terpuruk dalam kancah politik Indonesia.

Kedua, pro pemerintah. Mereka yang berafiliasi dengan kubu ini berargumentasi, bahwa menjadi oposisi malah membuat Golkar akan semakin sekarat dan tercerabut dari ruh kekaryaannya.

Apalagi selama ini Golkar terus terdepan dalam memajukan bangsa bersama pemerintah. Dalam politik, Golkar tidak mengenal kata oposisi.

Golkar adalah partai yang akan terus memberikan kontribusi positifnya dalam membangun bangsa, selaras dengan jatidiri  Golkar sebagai Partai Kekaryaan yang bermuara pada program (program oriented) dan pemecahan masalah (problem solving)bangsa.

Ketiga, kubu”konservatif”. Kubu ini melihat bahwa Golkar pasca reformasi telah kehilangan jatidirinya yang asli. Mereka melihat romantisme masa lalu yang begitu indah dan ingin menikmati keindahan itu kembali.

Membangun puing-puing kejayaaan dengan mengadopsi konsep-konsep lama dalam mengembalikan kejayaan Golkar. Bukankah sejarah telah memaparkan bahwa Indonesia di bawah Golkar, rakyat menjadi sejahtera, aman, harga barang terjangkau dan korupsi tidak menganga seperti hari ini.

Islah atau Terbelah?
Persaingan kelompok ini kian menarik untuk di telisik, apalagi terkait dengan isu sumbangan para calon ketua umum. Tersiar kabar bahwa setiap calon menyumbang minimal Rp 1 milyar dan akhirnya menuai kritik dari internal Partai Golkar maupun eksternal.

Isu uang dalam setiap perhelatan pemilihan ketua partai politik sudah menjadi rahasia umum, tak terkecuai partai sebesar Golkar.

Semuanya dikemas dengan bungkus akomodasi dan transportasi. Bahkan dalam pelaksanaan Munas Riau, disinyalir uang yang beredar dalam arena munas mencecah angka triliunan.  

“Penyakit” kronis ini tidak bisa hilang begitu saja dalam ranah politik Idonesia, mengingat setiap jengkal politik memerlukan uang.

Sebut saja untuk dicalonkan wakil rakyat dari internal partai sendiri saja, memerlukan uang, apalagi untuk sampai terpilih menjadi wakil rakyat atau kepala daerah.

Kondisi inilah yang menjadi benalu dalam alam demokrasi. Dalam bahasa James Kerr Pollock (1932), relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi. Sehingga kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik.

Potret-potret seperti ini, bila tidak mampu dikelola dengan baik dalam arena yang adil dan transparan, bisa-bisa Munaslub tidak menjadi ajang islah, tapi  ajang bantah, dan ini akan membuat Partai Golkar kian terbelah.

Seperti pengalaman-pengalaman dulu, Prabowo dengan Gerinda, Wiranto dengan Hanura, Surya Paloh dengan Nasdem dan Agung Laksono dengan Munas Jakartanya. Publik tentu berharap Partai Golkar bisa kembali akur dalam peta politik Indonesia.

Bagaimanapun juga Golkar adalah partai besar, penuh dengan kader potensial dan terlebih lagi, kenyang dengan pengalaman politik. Semoga Munaslub Partai Golkar, berhasil merajut islah sejati dan melahirkan pemimpin baru yang akan membawa Partai Golkar kian maju. ***

Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)