Kinerja Densus 88

Kontras Temukan Indikasi Pelanggaran

Kontras Temukan Indikasi Pelanggaran

JAKARTA (riaumandiri.co)-Hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan beberapa indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri saat melakukan penindakan.

Kontras mengusulkan agar evaluasi kinerja Densus 88 dibahas dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.

"Kita mendesak agar pemerintah dan DPR yang membahas RUU Terorisme, juga membahas soal evaluasi kinerja Densus 88," ujar Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras Putri Kanesia dalam konferensi pers di Sekretariat Kontras, Jakarta, Sabtu (26/3).
Kontras
Menurut Putri, indikasi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang diduga dilakukan Densus 88 tidak hanya terjadi pada kasus yang menimpa Siyono, warga Klaten, Jawa Tengah.

     Menurut dia, kasus serupa terhadap terduga teroris juga telah beberapa kali terjadi.
    Putri mengatakan, selama ini tidak pernah ada prinsip akuntabilitas dan evaluasi kinerja Densus 88 yang ditunjukkan secara terbuka.

    Lebih spesifik lagi, tidak ada satu pasal pun yang mengatur sanksi bagi Densus 88 apabila melakukan salah tangkap dan pemberian ganti kerugian bagi korban.

    Kontras mengkritik adanya pasal dalam draf revisi UU Terorisme yang menambah waktu penahanan bagi terduga teroris. Dalam draf tersebut diatur bahwa penyidik dan jaksa berhak menahan terduga teroris maksimal selama 6 bulan.

    Putri menuturkan operasi Densus kadang tidak berdasar fakta yang jelas. Petugas saat menangkap tidak tahu apa yang mesti ditanyakan. Para terduga teroris hanya dibiarkan begitu saja dan sesekali baru ditanya. "Begitu mereka diperbolehkan pulang, disuruh tanda tangan di kertas pernyataan tersangaka," ucapnya.

    Para terduga teroris yang menolak hanya bisa pasrah menandatangani dengan terlebih dahulu mencoret kata status tersangka. Selepas pulang para terduga teroris ini diminta untuk tidak menuntut tanggung jawab.

    Pola tersebut setidaknya tercemin dalam kasus tewasnya terduga teroris Siyono di Klaten dan salah tangkap di Solo. Pada Desember 2015 Densus menanngkap dua orang inisial AP dan NS tapi, tidak ada proses penyelidikan dan bantuan hukum bagi mereka
    "Polisi tidak juga membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan melepas mereka sore harinya," Staff Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataru. Satrio menuturkan sebelum melepas AP dan NS petugas memintanya menandatangani surat keterangan status sebagai tersangka. Intimidasi berlanjut saat mereka pulang. Mereka diikuti oleh petugas bersenjata.

    Hal itu berulang pada kasus Siyono. Menurut Satrio, Siyono ditangkap di depan orang tuanya tapi, petugas tidak memberikan keterangan apapun bahkan hingga Siyono dikabarkan tewas.
    Marso, ayah Siyono, pun mendapat intimidasi dari Polres Klaten. Ia diminta menandatangani surat tidak akan menuntut dan mengikhlaskan kepergian anaknya.

    KontraS meminta Kapolri Badrodin Haiti untuk menindak anggota Densus yang terlibat dan mengevaluasi kinerja Densus selama ini. KontraS menuntut Densus menghentikan intimidasi yang dilakukan terhadap keluarga terduga teroris yang ditangkap.(tpc/kcm/mic/dar)