Dekontruksi Politik Pragmatis

Dekontruksi Politik Pragmatis

Istilah dekontruksi pertama kali diperkenalkan oleh Jacques Derrida (1930-2004), seorang pemikir dunia barat yang dikenal sebagai salah satu teoritisi sosial ternama pada masanya. Dalam tulisannya yang berjudul, "Structure, Sign, and Play In The Discourse of Human Sciences (1970)",

Derrida menuliskan dekontruksi dapat dimengerti sebagai deskripsi yang ditujukan pada dua pergerakan ganda, yaitu melakukan dekstruksi atau pembongkaran sekaligus remanage atau menata kembali.

Dekontruksi sebagai gerakan dekstruksi merujuk pada usaha pengurangan, penurunan, atau pelepasan atas suatu bentuk, susunan, atau struktur sosial yang keberadaanya sudah terbangun. Sedangkan penataan kembali (remanage ) memuat makna bahwa dekontruksi tidak semata melakukan pengurangan atau penurunan saja, namun juga diikuti dengan usaha mengatur kembali, menata dan meyususn ulang. Dengan begitu, dekontruksi politik pragmatis adalah upaya pembongkaran sekaligus perbaikan terhadap segala dimensi politik. Pembongkoran dan perbaikan tersebut dijalankan melalui pelepasan, pembongkaran serta penataan kembali pada segala apa yang berorientasi hedonis, menuju sebuah system sosial politik yang menjunjung tinggi nilai idealis. Baik pembongkaran dan perbaikan tersebut menyangkut system, struktur, bentuk, ataupun kontruksi konsep politik itu sendiri.

Geliat politik yang cenderung menampakkan dinamika persaingan “tidak sehat” menjadi satu bukti betapa budaya politik pragmatis dalam negeri kita betul-betul berada pada kondisi akut. Politisasi sebagai media mempertahankan dominasi sudah mulai menyusupi setiap sendi struktural kenegaraan. Akibatnya, demokrasi tidak berjalan sehat. Aksi tipu-tipu dan kongkalikong membudaya, menular dalam mental para pelaku politik dan struktural pemerintahan. Demikian terjadi lantaran lantaran sistem kenegaraan selalu dibenturkan pada wilayah-wilayah kepentingan dan kekuasaan.

Terbenturnya para pelaku politik beserta partai politik pada kepentingan dan kekuasaan (pragmatisme) mengakibatkan mereka terjangkit krisis identitas. Konsekuensinya, partai politik yang sejatinya sebagai pilar demokrasi terjerumus pada problem amoral. Semisal, korupsi, kegaduhan dalam rumah tangga kepartaian, dan keterlibatan anggota partai politik dalam praktek perilaku menyimpang, seperti korupsi dan semacamnya. Persoalan pun semakin kronis ketika masing-masing partai terjebak pada sifat egois.

 Mengutamakan kepentingan golongan sendiri daripada harus mendahulukan kepentingan rakyat. Akibatnya, senggol menyenggol, hujat menghujat, fitnah menfitnah menjadi satu tontonan rutin.
 
Benturan kepentingan pun tak terhindarkan, hingga muncullah kelompok partai koalisi dan kelompok partai oposisi. Lucunya, masing-masing kelompok sama-sama mengklaim bahwa, mereka terbentuk atas nama rakyat yang memperjuangkan rakyat.

Sampai disini, maka kehadiran parpol sebagai mesin politik telah gagal dalam menjalankan fungsi-fungsi yang semestinya mereka jalankan dengan baik, yaitu menjadi wahana bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa (Budiardjo, 2008: 405).

Hentikan Kepentingan Personal
Mengarahnya komunikasi politik pada merebaknya isu-isu personal menunjukkan bahwa konsep pembangunan politik yang kita terapkan selama ini belum betul-betul berangkat atas kesadaran berbangsa dan bernegara. Sehingga, apa yang muncul adalah semakin menggeliatnya parpol yang kehadirannya tidak lagi mengusung kepentingan rakyat. Melainkan lebih menyoroti kisi-kisi kepartaian atau isu-isu personal para tokohnya, ketimbang mengedepankan isu-isu yang lebih 'penting', seperti ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.

Isu personal kepartaian dewasa ini menjadi pemandangan lazim kita temui. Mengitari lingkup aktivitas keseharian publik yang sengaja ditransformasikan melalui media-media besar. Tak jarang rakyat dibuat gempar, lantaran info yang disampaikan dimodifikasi secara unik dan bombastis.

Disimulasikan secara luar biasa sehingga mengalahkan isu-isu vital kebangsaan. Meredamnya isu-isu kebangsaan dalam komunikasi politik kita menjadi satu indicator kuat betapa politik pragmatis di negeri ini masih sukar terbendungi. Idealisme memperjuangkan kepentingan rakyat beserta segala hak-haknya masih terkendala oleh sikap personal. Inilah mengapa pentingnya para elit politisi dan pejabat public mengubah tradisi dan mental diri mereka. Dari yang yang dulunya bermental hedonis berubah menjadi idealis.
 
Bersedia sepenuh hati mengabdi pada bangsa-negara. Jangan sampai karena kepentingan kelompok ataupun pihak tertentu, lantas melupakan berbagai persoalan dan problem yang menimpa rakyat.

Hentikan Sistem Transaksional
Hal lain yang mengidentitas dalam politik pragmatis adalah kentalnya manipulasi politik yang kian marak dipraktekkan aktor politik dan pejabat publik. Bukan saja didataran internal partai, tapi meluas hingga menyentuh pada status mereka sebagai birokrat atau wakil rakyat. Modus manipulasinya pun beragam, ada yang berprofesi sebagai mafia anggaran, penggelapan dana, dan ada pula yang menjadi pengatur proyek.

Kecenderungan para pejabat yang kebanyakan berangkat dari partai tertentu untuk melakukan kongkalingkong tidak lepas dari model rekrutmen politik. Proses perekrutan kader yang masih menggunakan model transaksi, atau dalam istilah populernya disebut mahar harus diakui menjadi satu factor  kuat.
 
Mencalonkan diri sebagai anggota senayan tidak serta merta direkrut hanya berdasarkan kapabilitas dan kapasitas. Namun harus pula dibarengi pemberian mahar politik yang bukan main mahalnya.

Beberapa persoalan yang penulis singgung di atas boleh dikatakan merupakan faktor besar kenapa para pemangku kekuasaan negeri ini kerap terjebak dalam perilaku anomaly. Praktik semacam ini bukan saja mengebiri hak rakyat beserta kekayaan negara, namun juga telah menyebabkan nilai-nilai demokrasi kita ternodai. Karenanya, di samping kita melakukan dekstruksi menuju komunikasi politik yang baik, perbaikan lain dalam bentuk penataan ulang (remanage) system rekrutmen politik perlu dipertegas. Bahkan jika perlu dirubah sekalipun.

Apa yang dikampanyekan Presiden Jokowi tentang Revolusi Mental barangkali merupakan momentum tepat melakukan perbaikan terhadap segala macam persoalan dan problem kebangsaan. Sulit rasanya bangsa ini mampu menorehkan kemajuan, manakala kita belum bisa mengubah mental. Karena krisis dan penyakit tubuh bangsa kita bukan saja terletak pada sistem dan budaya politik yang perlu perbaikan.  Lebih urgen dari itu, yaitu menyangkut karakter para pemangku kekuasaan yang hingga kini masih kental dengan karakter pragmatis, hedonis, dan pandangan personal. ***

Akademisi sosial di Pascasarjana Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya.