Menuju Pusat Mode Hijab Dunia

Menuju Pusat Mode Hijab Dunia

Sungguh mengagumkan pertumbuhan bisnis busana Muslim Indonesia. Setiap tahun nilai bisnisnya terus bergerak dari 11 juta dolar AS pada akhir 2013 menjadi lebih dari 12 juta dolar AS pada akhir 2014. Indonesia mencanangkan pada 2020 menjadi Pusat Mode Busana Muslim Dunia.

Pertanyaannya adalah karakter apakah yang signifikan membedakan antara Paris sebagai pusat mode dunia dengan Indonesia sebagai pusat busana Muslim dunia. Apakah kedua pusat mode itu sama saja, kecuali hanya selembar kain hijab yang membedakannya?

Pertanyaan lainnya, bagaimana mendudukkan karakter kesederhanaan dan solidaritas sosial di tengah booming bisnis busana hijab yang harganya bisa menjadi sangat mahal? Apa yang diinginkan oleh Indonesia di balik semangat menjadikan Indonesia sebagai pusat mode Muslim dunia?

Dalam persiapan menjadikan Indonesia sebagai pusat mode Muslim dunia, Indonesia menyiapkan event tahunan Indonesia International Islamic Fashion and Products (IIIFP) yang akan terus melibatkan banyak partisipan mancanegara, seperti Malaysia, Australia, Timur Tengah, dan lainnya. Bisnis ini akan terus tumbuh.

Di tingkat internasional, bisnis ini memang menggiurkan. Tahukah Anda, harga sepotong busana Muslim termahal kini mencapai Rp 205 miliar. Busana itu bertakhta 2.000 batu permata yang diciptakan oleh desainer Inggris Debbie Wingham untuk menghormati budaya Abu Dhabi yang mewah.

Tentu, Indonesia bisa merebut pangsa bisnis busana Muslim negara-negara Muslim yang kaya raya tersebut. Namun, pantaskah sehelai baju seharga ratusan miliar itu kita sebut Islami bila memasukkan nilai-nilai kesederhanaan dan solidaritas sosial?

Bisnis senantiasa memusatkan perhatiannya pada pencapaian keuntungan finansial serta berorientasi pada nilai kuantitatif yang mendatangkan cukup banyak uang (Etika Hamka, Dr Abdul Haris, LKIS 2010 mengutip E Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Kanisius 2003). Lalu, bisnis ini mengusung busana Muslim dalam bisnisnya, yaitu busana yang Islami.

Nilai-nilai Islam yang dibawa oleh busana ini adalah aurat yang tertutup. Namun, nilai-nilai Islam dalam diri seorang Muslim adalah juga mendorong hidup sederhana serta memiliki solidaritas sosial.

Di dalam bisnis tentu ada demand, ada supply. Semakin tinggi demand, harga akan semakin tinggi. Harga pun bergerak seiring penawaran dan permintaan. Selera megah, selera sederhana dalam busana tidak serta merta terlihat pada harga. Sehelai busana yang terlihat sederhana, dari sudut pandang dunia fashion bisa jadi berharga sangat mahal, dan sehelai baju yang tampak megah, bisa jadi justru murah harganya.

Bisnis akan selalu melihat potensi finansial dan kuantitas. Sulit diterima oleh logika bisnis untuk tidak menggarap potensi pasar busana berharga miliaran rupiah dari berbagai belahan dunia. Potensi pasar ini bisa menggerakkan perekonomian negara dengan segala multiplier effect-nya.

Kreativitas anak bangsa pun tak dapat dipasung dalam patokan harga busana yang rigid, padahal pangsa pasar busana hijab yang mewah terbentang lebar.
Dalam Islam, kesederhanaan itu terkait dengan tidak menghambur-hamburkan harta secara boros.

Hidup mewah tiada memiliki solidaritas sosial bukanlah nilai Islami. Lalu, bagaimana visi Indonesia sebagai pusat mode busana Muslim dunia memahami nilai-nilai kesederhanaan dan solidaritas sosial tersebut. Etiskah sebuah peragaan busana Muslim di Indonesia yang memamerkan busana dengan harga terus melambung di tengah kondisi sosial yang masih prihatin?

Dunia Muslim sendiri sangat beragam tingkat perekonomiannya. negara-negara Muslim kaya, misalnya, Qatar, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Oman, Turki, dan Brunai Darussalam. Namun, negara Muslim ada yang menjadi negara paling miskin di dunia, seperti dapat kita temui di Afrika dan Asia. Indonesia akan melayani mereka semua. Bagaimana kita melayani mereka, tapi tetap memperhatikan nilai-nilai Islami?

Tarik menarik logika bisnis dengan etika kesederhanaan dan solidaritas sosial dalam perikehidupan Muslim hendaknya ditengahi dengan bijak. Hal pertama yang harus dilakukan, Indonesia harus punya visi dalam pengembangan pusat mode busana Muslim-nya.

Dengan visi, misi, dan nilai-nilai kesederhanaan dan solidaritas sosial maka kalangan fashion bisa mengembangkan CSR dan community development sebagai bagian integral bisnisnya. Menjadikan sehelai busana mahal memiliki kontribusi setimpal bagi sosial ekonomi masyarakat Indonesia adalah nilai yang Islami.

Nilai tak terlihat di balik sepotong busana itu harus terkomunikasikan dengan jelas kepada para pembeli, sehingga pembeli juga tahu persis makna uang yang telah ia keluarkan. Dan, ia akan membelanjakan ulang uangnya untuk produk lain dengan semangat solidaritas sosial, bukan dengan semangat menghamburkan uang untuk kesenangan semata.

Konsumen harus tahu persis bahwa ia tidak sekadar membeli selembar busana, tapi memberi kehidupan pada banyak orang biasa. Konsumen harus diedukasi bahwa bisnis hanyalah upaya untuk membahagiakan orang lain, sekaligus membahagiakan kita juga. Masih banyak langkah kreatif yang bisa dikembangkan yang justru mendidik konsumen lebih dekat dengan nilai-nilai Islam.

Merangkul sebanyak mungkin usaha rakyat dalam industri busana, mengedukasi mereka untuk meningkatkan kapabilitas pelaku industri, termasuk juga mengedukasi pasar harus sejak awal menjadi komitmen bersama seluruh stakeholder. Inilah yang akan menjadi keunikan bisnis busana hijab Indonesia yang hendaknya terus ditumbuhkan, dikomunikasikan dari Indonesia ke seluruh dunia.

Sesungguhnya, fungsi-fungsi CSR ini sudah dilakukan selama ini. Hanya saja, fungsi ini kurang terkomunikasikan ke hadapan pembeli, dan sebaliknya, pembeli tidak tahu arti sehelai busana yang ia beli. Fungsi-fungsi tersebut hendaknya dirangkai dalam kesatuan branding yang tepat.

Langkah kedua yang dapat dipertimbangkan, mengubah konsep pusat mode Muslim dunia menjadi pusat mode hijab dunia. Dengan mengganti kata Muslim menjadi hijab merupakan langkah membumi pada kenyataan hidup lingkungan Indonesia dan masyarakat fashion dunia, di mana kesederhanaan sangatlah relatif.

Pemaksaan menggunakan kata Muslim dikhawatirkan menjadi multitafsir. Harga sehelai busana sampai puluhan juta, apalagi ratusan juta rupiah masih muskil bagi rata-rata orang Indonesia. Dengan menanggalkan kata Muslim, maka multitafsir dapat diselesaikan.

Langkah ini juga untuk memberikan ruang lebih lebar kepada seluruh pemangku kepentingan agar terus mengevaluasi nilai hidup Islami. Tiadalah manusia yang sempurna. Di lain sisi, kita tetap memberikan ruang cukup luas untuk edukasi pasar dengan nilai-nilai Islami dalam berbusana.

Inilah kiranya yang harus dilakukan dalam menyiapkan Indonesia sebagai pusat mode hijab dunia. Branding yang tepat akan memberikan kontribusi menegaskan karakter bisnis dan busana Muslim pada pusat mode hijab dunia di negeri ini, yang jelas berbeda dari sebuah pusat mode dunia ala Paris.***
Praktisi Komunikas