Sisi Lain Tragedi Prancis

Sisi Lain Tragedi Prancis

Belum genap satu tahun pasca tragedi Charlie Hebdo, Prancis dan dunia kembali berduka akibat rentetan serangan di enam lokasi berbeda di kota Paris, Jum’at (13/11) malam, yang menewaskan lebih dari 120 orang.

Aksi teror ini diklaim dilakukan oleh kelompok ISIS, sebagaimana keterangan tertulis yang disebar ke media massa Prancis pada hari Sabtu(14/11). Dalam surat berbahasa Prancis dinyatakan bahwa Prancis menjadi “target utama operasi”.

Hal ini dilakukan sebagai balasan atas kebijakan Negeri Anggur tersebut mengirim jet menghancurkan markas mereka di Suriah. Dan dalam ungkapan yang tidak jauh berbeda yang disebar Al Hayat Media Centre, sayap propaganda para militan ISIS, bahwa serangan adalah awal dan peringatan bagi kaum kafir untuk menjadi pelajaran.

Menilik tragedi yang terjadi di Prancis, sesungguhnya bukan hanya persoalan Prancis dan daratan Eropa saja, tapi ini adalah lingkup masalah yang melanda dunia pada umumnya. Dan bila tidak ditangani dengan bijak, akan melahirkan konflik di berbagai penjuru dunia.

Artinya dunia sedang menyimpan bom pertelagahan akibat kepentingan politik yang tidak lagi mengenal etika politik dan kemanusiaan.
Selama ini, kekuatan politik dunia telah menampilkan arogansi kekuasaan hipokrit dan berstandar ganda.

Dan tak tanggung-tanggung, dalam memuluskan operasi politiknya, menciptakan sendiri organisasi-organisasi yang berlawanan dengan mereka dengan tujuan-tujuan tertentu.

Seperti ungkapan Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton yang di beritakan media massa, mengakui bahwa ISISawalnya adalah ciptaan dan sekutu mereka sendiri. Hal ini selaras dengan ungkapan Snowden mantan pegawai National of Security of America (NSA) badan intelijen AS yang menyebutkan ISIS adalah binaan Intelijen Amerika, Inggris dan Israel.

Pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa konflik dan terorisme lahir akibat perlakuan dan arogansi kekuasaan. Maknanya, teror yang terjadi adalah “anak kandung” yang lahir dari rahim standar ganda politik dunia itu sendiri.

Kini, “anak” itu tidak bisa dikendalikan lagi dan telah menjadi musuh bersama yang harus ditumpas. Oleh karena itu Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan perang terhadap ISIS. Dan terbukti pasca tragedi, Prancis telah melakukan serangan udara besar-besaran di wilayah Raqqa, Suriah pada Minggu malam waktu setempat.

Sebagaimana yang dikutip Strait Times, Senin (16/11), bahwa Kementerian Pertahanan Prancis menargetkan menghancurkan  pos komando yang di gunakan ISIS, pusat perekrutan jihad dan senjata, amunisi serta  kamp pelatihan teroris.

Sekarang warga dunia mengalami ketakutan dan kesedihan akibat aksi teror yang ditebarkan  ISIS dan kelompoknya. Semua pemimpin negara mengutuk aksi kejam tersebut, termasuk kita sebagai rakyat Indonesia yang berdomisili jauh dari Prancis. Sebab, apapun alasan dibalik tragedi Prancis tidak bisa dibenarkan, baik dalam kacamata kemanusiaan maupun agama.

Kendatipun demikian, dunia juga harus melihat tragedi ini secara komprehensif dan melakukan introspeksi yang mendalam. Ada sisi lain yang harus dilihat dalam setiap lahirnya aksi terorisme. Menafikannya hanyalah akan memperpanjang usia terorisme dan semakin mempersubur tanah tempat bersemainya benih-benih terorisme itu sendiri. Sisi lain itu antara lain.

Pertama, standar ganda politik. Dunia hari ini dihidangkan oleh standar ganda negara-negara kuat dan  memiliki kuasa politik. Ketika yang dibunuh warga muslim, negara-negara dunia seakan menutup mata dan telinga serta menggunakan segala upaya untuk menutupinya.

Seperti yang terjadi di Palestina, ribuan rakyat dibunuh dan diperlakukan tidak adil, namun dunia terutama Amerika melihatnya sebagai aksi mempertahankan diri bagi Israel.

Demikian juga yang terjadi di pada etnis RohingyaMyanmar dan beberapa negara Islam lainnya. Artinya,dunia telah bermuka dua dan berlaku tidak adil terhadap persoalan yang sama.

Kedua, propaganda media. Media menjadi propaganda yang teramat dahsyat. Memblow-up habis-habisan, ketika yang terkena teror adalah negara-negara kaya dan adikuasa, namunmenutup rapat-rapat dan membungkus dengan kemasan berbeda, bila menyangkut negara-negara yang berpenduduk muslim. Sehingga muncul dalam benak publik, bahwa terorisme berkaitan langsung dengan Islam.

Alhasil, stigma negatif dan Islamophobia semakin meningkat di kalangan masyarakat dunia. Padahal tak satupun dalam redaksi kitab suci al-Qur’an yang memerintahkan pembunuhan. Malah sebaliknya mengatakan bahwa,“membunuh satu jiwa seakan-akan sama dengan membunuh seluruh manusia”, (QS,Al-Maidah:32).

Ketiga, penguasaan politik dan ekonomi. Ehrlich dan Liu (2002), menyebutnya sebagai faktor geopolitik, khususnya dalam kasus negara kaya (negara maju) yang berusaha menancapkan jangkar politik dan ekonominya di negara berkembang yang memiliki sumber daya minyak bumi.

Sisi lain inilah yang perlu dicermati oleh dunia untuk membunuh akar-akar terorisme demi terwujudnya dunia yang aman. Impian tersebut adalah impian bersama penduduk dunia.

Akan tetapi impian itu harus selaras dengan sikap dan laku dunia itu sendiri. Membangun tatanan dunia yang penuh peradaban haruslah dengan menampilkan politik yang berperadaban dan berkeadilan.

Melihat negara lain seperti negaranya sendiri, melihat warga negara lain bagaikan rakyat negaranya sendiri, yang ingin hidup sejahtera, damai dan aman. Tanpa itu semua, kita hanyalah ibarat cermin yang hanya menampilkan satu sisi dari diri kita, tapi tidak menampilkan sisi lain dari orang lain.

Alhasil,dunia hanya melihat yang terbaik untuk sekelompok negara, tapi tidak untuk negara yang lain.Sehingga akan memunculkan ketidaksenangan di pihak lain dan akhirnya menebar teror perlawanan.
Hal ini jelas tidak kita inginkan, apalagi dalam Universal Declaration of Human Right, Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.

Artinya manusia adalah sama, yang berhak diperlakukan sama. Semoga tragedi Prancis melahirkan kesadaran bersama, untuk berdiri bersama menentang setiap prilaku kekerasan atas alasan apapun,dan juga meneguhkan komitmen untuk berlaku adil bagi seluruh penduduk dunia, tanpa membedakan negara, ras dan agama. Wallahu’alam.***