31 Desa di Perbatasan Sangat Tertinggal

31 Desa di Perbatasan Sangat Tertinggal

SELATPANJANG (HR)-Data dari Badan Pengelolaan Perbatasan Kabupaten Kepulauan Meranti menyebutkan 31 desa di Kepulauan Meranti berada pada garis perbatasan. Berhadapan langsung dengan Selat Malaka, dan umumnya masih dalam kondisi sangat tertinggal.

Tertinggal dalam pembangunan infrastruktur, juga sebagai desa yang menjadi sasaran ambuk ombak Selat Malaka yang ganas itu.

Seluruh desa itu masuk dalam wilayah 6 kecamatan. Yakni Kecamatan Rangsang terdiri dari 5 desa. Yaitu, Tanjung Medang, Tanjug Bakau, Dwi Tunggal, Sungai Gayung Kiri, dan Teluk Samak.  

Kecamatan Rangsang Pesisir yakni Desa Telesung, Tanjung Kedabu, Tanah Merah, Kedabu Rapat, Sonde, Tenggayun Raya, dan Desa Bungur.

Kecamatan Rangsang  Barat yakni Desa Anak Setatah, Permai, Melai, Mekar Baru,Bantar, Sungai Cina dan Segomeng.

Kecamatan Pulau Merbau yakni Desa Kuala Merbau, Centai, Tanjung Bunga dan Pangkalan Balai dan Kecamatan Merbau yakni Teluk Belitung, Bagan Melibur dan Mayang Sari. Sedangkan Kecamatan Tasik Putri Puyu yakni di Desa Bandul. Selat Akar, Tanjung Pisang, Mengkopot dan Mengkirau.  Enam kecamatan 31 desa.

Demikian diungkapkan Kepala Badan Pengelolaan Perbatasan Kabupaten Kepulauan Meranti Khairul Amri melalui Kabid Perbatasan Nasruni kepada Haluan Riau di Selatpanjang Minggu kemarin.

Disebutkan Nasruni, kondisi desa-desa tersebut masih sangat tertinggal dari berbagai kemajuan. Mulai dari minimnya infrastruktur jalan, listrik yang belum tersedia, dan juga fasilitas umum lainnya. Termasuk sarana air bersih dan tingkat ekonomi yang sangat terbelakang.

Badan Pengelolaan Perbatasan menurutnya telah berusaha kuat untuk mengusulkan 31 desa tersebut nantinya mendapat perhatian penuh dari  pemerintah.

Sebab selain kondisi infrastruktur yang sangat tertinggal itu, seluruh desa itu juga secara terus menerus diterjang ombak yang berasal dari Selat Malaka.

Disebutkannya setiap tahun pada pada musim angin Utara  desa-desa tersebut mengalami gempuran ombak yang cukup dahsyat. Siang malam terjangan ombak senantiasa menghancurkan pantai desa.

Hingga saat ini berkilometer jarak pantai dengan tepi laut. Pantai semakin luas dan daratan semakin sempit. Bahkan akibat kuatnya abrasi tersebut umumnya desa-desa yang  terletak di perbatasan itu telah kehilangan berbagai harta benda.

"Mulai dari lahan pertanian, perkebunan, pekuburan bahkan perumahan mereka. Sehingga di beberapa desa yang paling parah, warga terpaksa melakukan perpindahan secara berkala akibat desakan gelombang laut yang menerjang daratan,”ungkap Nasruni.

Disebutkannya, tanpa dukungan pemerintah pusat maupun provinsi atas persoalan yang dihadapi Meranti itu, maka ancaman akan terus  terjadi berupa pengurangan luas daratan Kepulauan Meranti, sekaligus akan mengurangi luas daratan NKRI.

Untuk itu sangat diharapkan komitmen pemerintah pusat untuk melepaskan Kepulauan Meranti dari ancaman abrasi dan juga guna mengejar berbagai ketertinggalan yang terjadi.

Sebab jika hanya mengandalkan keuangan daerah untuk membangun Meranti, hal itu akan sulit diwujudkan. Persoalan abrasi sebuah persoalan tersendiri yang harus diselesaikan secara tersendiri pula.

"Selain itu upaya mengejar berbagai keterbelakangan infrastruktur yang terjadi juga menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda. Untuk itu 31 desa di Meranti tersebut hendaknya mendapat perhatian yang serius dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat,” ujarnya.***