Bahaya Fitnah dan Kampanye Hitam

Bahaya Fitnah dan Kampanye Hitam

Menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah, umumnya berbagai bentuk fitnah dan kampanye hitam selalu saja bermunculan yang ditujukan terhadap para calon kepala daerah. Oleh sebab itu, penting adanya peringatan tentang risiko kampanye pilkada, terlebih melalui media sosial (medsos), karena hal itu sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi kita. Sejumlah pihak mengingatkan tentang bahaya kampanye hitam dan fitnah yang bakal menyebar di ranah daring (online). Jejaring sosial di internet merupakan sarana publik yang sangat cepat menyebarkan konten informasi. Saat ini, ketika hampir semua orang memiliki telepon genggam, informasi apa saja dengan mudah dan cepat bisa diakses tanpa diketahui siapa dan dari mana sumbernya.

Beragam layanan medsos dengan berbagai aplikasi dan fitur makin meningkatkan daya tarik informasi dalam kemasan yang kreatif. Informasi lebih mudah digandakan atau disebarluaskan hanya dengan sekali klik. Orang dengan mudah terpukau atau percaya pada segala macam berita dan gambar tanpa harus mengecek kesahihannya. Setiap saat berseliweran berita bohong (hoax), yang dengan mudah menyesatkan pikiran atau menghasut orang lain untuk melakukan sesuatu. Namun, ibarat pisau bermata dua, internet merupakan media massa keempat yang juga memberikan banyak manfaat dan kemudahan bagi manusia.
Banyak pengetahuan yang diperlukan manusia lebih mudah didapatkan. Bahkan harus diakui, banyak metode dan teknologi kehidupan yang muncul setelah ada internet, mulai dari cara pembelajaran di bidang pendidikan sampai penjualan online di bidang perdagangan. Pendeknya, internet telah mengubah struktur dan kultur kehidupan manusia. Karena dampaknya yang luar biasa itu, internet telah umum dipakai sebagai sarana kampanye dan propaganda di bidang politik. Ajang pilpres di Amerika Serikat sudah lama mengandalkan internet untuk meraih kemenangan. Di Indonesia, kampanye lewat medsos berkontribusi penting bagi kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 dan Joko Widodo lima tahun kemudian.

Mendulang Dukungan Politik
Karena itu, SBY pernah mengatakan, dia selalu memperhatikan masukan, saran, dan kritik masyarakat di medsos. Medsos di Indonesia berkembang pesat karena kegemaran masyarakat kita untuk ngobrol dan ngerumpi. Kultur inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku politik untuk mendulang dukungan publik. Menjelang pilkada serentak pada Desember mendatang, banyak calon yang memasang tanda gambar dan janji-janji kampanye di medsos. Sebagai sosialisasi, hal ini berguna bagi masyarakat. Namun, kita layak mewaspadai potensi munculnya berbagai ungkapan kebencian (hate speech). Bukan hanya fitnah yang gampang menyebar dari ungkapan kebencian dan kampanye negatif, tetapi juga konflik sosial.
Karena itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Penanganan Ujaran Kebencian pada 8 Oktober. Edaran ini dapat dipakai untuk menindak orang-orang yang menyebarkan konten kebencian dan melakukan kampanye negatif. Tetapi, perlu kita ingatkan, polisi harus cermat dan tepat menggunakannya agar tidak mematikan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.

Jika kemudian dicermati, salah satu bentuk isu yang berpotensi mengandung kampanye hitam adalah kasus yang muncul di Surabaya yang lantas jadi perbincangan politik yang seru, sehingga menjadi isu nasional. Kontroversinya jadi menarik di tengah hiruk-pikuk ketidakpuasan kepada pemerintah terkait penanganan kabut asap. Berita ini juga seolah menjadi penggeser perhatian dari berita mengenai penetapan tersangka atas sekretaris jenderal partai Nasional Demokrat, koalisi paling intim dari partai yang jadi rezim penguasa. Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dikabarkan menetapkan Tri Rismaharini sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang dalam kasus pemindahan kios Pasar Turi, Surabaya. Penetapan dilakukan setelah pihak kejaksaan menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, akhir September.
Berita ini menyentak banyak orang dan langsung menyulut kontroversi. Risma, demikian tokoh itu biasa disapa, adalah sosok yang dianggap sebagai pembaharu dalam pola kepemimpinan daerah. Gerak-gerik dan berbagai kebijakannya saat ia menjabat sebagai wali kota, mendapat pujian di mana-mana. Ia pun maju lagi dan nyaris tanpa pesaing dalam pemilihan kepala daerah yang serentak digelar Desember 2015. Saat proses pencalonannya pun penuh lika-liku manuver yang hampir menggagalkan langkah dia sebagai kandidat. Ketika akhirnya Risma bersama pasangannya bisa melenggang ke kancah pemilihan dan proses politik tinggal sejengkal lagi, tiba-tiba muncul pengumuman dari lembaga penegak hukum yang menyatakannya jadi tersangka tindak pidana.

Berbau Politik
Sulit menepis anggapan, bahwa insiden ini murni proses hukum. Publik seantero Tanah Air menyimak dengan saksama langkah-langkah Risma dalam menata kota yang dipimpinnya. Masyarakat juga melihat dan membaca berbagai perlawanan terhadap walikota yang dirindukan banyak orang di masa-masa yang penuh kemunafikan, koruptif, nepotik, dan kolutif, ini. Apalagi setelah muncul pernyataan dari Kepala Kepolisian RI, yang langsung menyatakan bahwa tak ada cukup bukti yang bisa menyeret Risma menjadi tersangka tindak pidana. Peristiwa ini tentu saja dengan cepat membuat publik bertanya-tanya dan segera menjawab dengan logikanya sendiri yang cenderung sederhana. Bahwa peristiwa ini bukan semata pelaksanaan proses hukum, bahwa insiden ini sangat kuat berbau politik. Ini juga menunjukkan, betapa kotor dan keji perilaku orang-orang politik.

Mereka tak pernah mundur selangkah pun dalam usahanya menjatuhkan lawan. Segala cara ditempuh, berbagai siasat dijalankan agar lawan politiknya tak berkutik. Penetapan status tersangka pelaku tindak pidana atas seorang tokoh, tentu saja mencoreng nama baik, harga diri, dan integritas yang bersangkutan. Bahwa pernyataan itu kemudian "diralat", itu soal lain. Pemilihan kepala daerah secara serentak berlangsung akhir tahun ini, termasuk di Kalimantan Selatan. Tahapan prosesnya sudah berlangsung sesuai mekanisme yang ada. Ada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, empat bupati dan wakil bupati, serta dua walikota dan wakil walikota.
Masing-masing kandidat bersama tim suksesnya sudah dan sedang melakukan berbagai gerakan untuk memenangkan pemilihan. Apa yang terjadi di Surabaya layak dipelajari dan dijadikan cermin, bahwa politik jegal-menjegal, menjahati lawan, curang, licik, keji dan pengecut, sangatlah tidak layak dilakukan. Rakyat sudah sangat cerdas. Jadi, berhentilah membodohi dan menipunya. Jangan jadikan rakyat sebagai penonton terhadap berbagai bentuk fitnah dan kampanye hitam. Jika memang ingin bertarung dalam memperebutkan kursi kepala daerah, maka bertarunglah dengan jujur dan bijak tanpa merugikan, apalagi memfitnah orang lain. ***
* Penulis adalah pengamat sosial kemasyarakatan..