Bagir Manan: Jangan Sampai Menyasar Media

Bagir Manan: Jangan Sampai Menyasar Media

JAKARTA (HR)-Kebijakan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan Surat Edaran tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau Hate Speech, mengundang reaksi dari banyak kalangan. Termasuk Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, yang mengingatkan supaya edaran tidak sampai menyasar ke media.

Bagir mengaku tak sepakat dengan surat edaran itu. Menurutnya, surat edaran itu justru membangkitkan pasal karet yang dulu telah ada pada zaman Belanda.
"Dulu pelajaran hukum Belanda ada pasal sebarkan kebencian. Pasal-pasal itu sangat kolonial dan

Bagir
yang paling korban adalah pers," ujarnya, usai acara Silaturahim Pers Nasional dan Kick Off Hari Pers Nasional di Gedung TVRI, Senin (2/10).

Menurut Bagir, kala itu pers sering terjerat pasal tersebut. Pers kerap dianggap menghasut. Karean itu, pasal itu akhirnya dihapus.

"Saya prihatin dengan surat edaran agar berhati-hati (berbicara). Surat edaran tentu ada anak kalimat. (Nanti) kalau sebarkan kebencian ada tindakannya," ujarnya.

Menurut Bagir, jika ada pihak-pihak yang merasa dijelekkan dan tidak terima, seharusnya membawa kasus tersebut ke ranah hukum. Sebab di masa demokrasi seperti saat ini, pembatasan ucapan dianggapnya tidak adil.

"Lebih baik tidak. Jangan hidup-hidupkan yang dulu ada pada zaman Belanda. Itu akan jadi pasal karet. Gunakan mekanisme lain. Kalau media sosial, gunakan model lain. Tidak perlu ukurannya kebencian," sarannya.

Bungkam Suara Rakyat
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR, Jazuli Juwaini, mengingatkan surat edaran Kapolri tersebut jangan sampai mematikan hak rakyat terkait kebebasan berpendapat. Di negara demokrasi seperti Indonesia, kata dia, tidak boleh ada aturan yang melarang kebebasan berpendapat seseorang.

"Harus dicermati jangan sampai disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam suara rakyat dalam memberikan masukan yang positif dan konstruktif untuk melakukan perbaikan," ujarnya.

Dikatakan, pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu secara lengkap isi surat edaran tersebut. Jika memang dalam surat edaran tersebut terdapat aturan-aturan yang membatasi kebebasan berpendapat, maka Komisi III DPR tak akan tinggal diam.

"Bisa saja komisi III meminta penjelasan dari Kapolri kalau ada hal-hal yang dipandang bisa membungkam kebebasan rakyat," tambahnya.

Kendati demikian, dia sepakat jika surat edaran itu hanya bertujuan untuk meredam api kebencian dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut dia, memang harus dibatasi agar masyarakat tidak berlebihan dalam mengkritik. "Masyarakat juga harus mengedepankan etika dalam menyampaikan aspirasinya," ucap dia.


Terpisah, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan mengatakan, surat edaran Kapolri tersebut bukan untuk menghalangi dan membungkam kebebasan berpendapat.

"Karena saya yakin tidak ada satupun yang ingin mengekspresikan pendapat melalui kebencian,” ujarnya.

Menurutnya, surat edaran itu untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hari bila mengeluarkan pendapat dalam orasi pidato, maupun di dunia maya. “Kami punya tanggungjawab moral untuk mencegah hal itu terjadi,” ujarnya.

Untuk diketahui, penanganan Ujaran Kebencian itu termaktub dalam Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015, yang diteken pada 8 Oktober lalu.


Surat edaran itu bertujuan untuk menindak netizen yang mengutarakan kebencian hingga berpotensi menimbulkan konflik sosial.

“Surat edaran itu mengingatkan masyarakat bahwa bila bicara pendapat baik orasi pidato atau di dunia maya harus berhati-hati. Jangan sembarangan melakukan penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan menyangkut ras atau gender,” terang Anton.

Ia menambahkan dalam surat edaran tersebut, penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian akan mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang yang berlaku.
Ancaman yang diterapkan yakni hukuman empat tahun penjara bagi siapa saja yang menyatakan permusuhan di depan umum, sesuai Pasal 156 KUHP.

Sementara bagi pihak yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, akan dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta. Hukuman ini diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (bbs, dtc, kom, ini, rio, ral, sis)