Diskusi Kabut Asap di ILC

Pusat tak Peduli Riau

Pusat tak Peduli Riau

PEKANBARU (HR)-Masih terjadinya bencana kabut asap di Riau hingga memakan waktu 18 tahun, dinilai sebagai akibat ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap masyarakat Riau. Sebab, sejauh ini belum tampak ada upaya serius dari pemerintah pusat untuk mengatasinya.

Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan pemerintahan di daerah, yang terkesan juga tidak tanggap. Akibatnya, malapetaka ini terus berlangsung hingga belasan tahun. Sedangkan yang paling menderita akibat dampaknya, adalah masyarakat Riau. Bahkan asap sudah merenggut nyawa seorang bocah di Pekanbaru.

Hal itu terungkap dalam diskusi di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditaja TV One, Selasa (22/9). Sejumlah tokoh masyarakat Riau ikut hadir dan dimintai tanggapannya dalam diskusi yang bertajuk Siapa yang Membakar Hutan Kita.

Mereka adalah Ketua Ikatan Keluarga Minang Riau H Basrizal Koto, Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar, tokoh wanita Riau H Azlaini Agus, Ketua Lembaga Melayu Riau Darmawi Arif, serta Mukhlis, orangtua Muhanum Angriasari, siswa SD di Pekanbaru yang meninggal dunia karena tak kuat lagi menghirup asap.

Presiden ILC, Karni Ilyas, awalnya memberikan kesempatan kepada Mukhlis untuk menuturkan apa yang menimpa anaknya. Dalam pernyataannya, Mukhlis mengatakan anaknya meninggal dunia 10 September 2015 lalu. Hal itu disebabkan anaknya mengalami batuk yang parah, saat kabut asap sedang garang-garangnya menyelimuti Bumi Lancang Kuning. Sebelum wafat, Hanum sempat dirawat selama seminggu di ICU RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Namun meski berbagai upaya telah dilakukan, Sang Maha Kuasa berkehendak lain dengan memanggil kembali buah hatinya itu.

Sedangkan Azlaini Agus menambhakan, kabut asap tahun ini bermula pada minggu kedua bulan Agustus dan terus berlanjut hingga minggu ketiga September ini. Buntutnya, semakin lama kondisi udara di Riau semakin parah akibat kabut asap. Puncaknya, udara di Riau masuk dalam kategori berbahaya, atau sudah di atas 300 Psi. Bahkan untuk Riau, kondisinya malah sudah melebihi 800 Psi.


"Bisa dibayangkan bagaimana penderitaan kami masyarakat Riau, karena harus menghirup udara berbahaya selama berminggu-minggu," ujarnya.

Bahkan Azliani mengaku sempat mengungsikan dua cucunya tanpa memikirkan pendidikan keduanya karena lebih mementingkan kesehatan. "Tapi hanya berapa orang saja yang bisa melakukan itu. Sementara berjuta-juta masyarakat Riau lainnya tetap harus menghirup udara berbahaya. Bahkan asap sampai masuk ke ruangan Gubernur yang ber-AC. Intinya, kabut asap tahun ini memang sangat parah.

"Kami sangat sedih dengan pernyataan Menteri Kesehatan yang menyatakan kondisi di Riau belum berbahaya, padahal waktu itu kami ingin menuntut evakuasi terhadap warga-warga yang terpapar asap, terutama yang rentan akibat dampak negatif asap. Ketika itu, Menkes malah mengatakan bahwa evakuasi itu harus difikirkan dengan seksama karena akan memakan biaya. Kami sangat sedih waktu itu, seakan-akan kami masyarakat Riau bukan bagian dari bangsa ini, kami bukan bagian dari NKRI, " ujarnya.

Menurutnya, kalaulah pemerintah pusat tidak bisa menolong, minimal berempatilah terhadap nasib masyarakat Riau, bila memang masyarakat Riau masih menjadi bagian dari bangsa ini.

Azlaini juga menyebut asap di Riau terjadi sejak tahun 1997,sejak itu hampir setiap tahun Riau selalu diselimuti kabut asap, tanpa pernah ada upaya untuk menghilangkan kabut asap yang terjadi.

"Orang terus membakar, pemerintah terus memadamkan, jadi kita ini memadamkan kerja para pengusaha dan investor besar yang membakar lahannya untuk kemudian menanamnya. Pemerintah mengeluarkan uang rakyat untuk memadamkannya. Sehingga yang tertinggal adalah rakyat yang terserang penyakit seperti ISPA, asma dan lainnya akibat asap. Menurut IDI asap yang dihirup akan menyebabkan penyakit kanker, kami tidak tahu lagi bagamana masa depan anak-anak kami," ujarnya lagi.

Sementara menurut Al Azhar, kondisi yang terjadi saat ini, sebenarnya sudah diramalkan Riau sejak jauh-jauh hari. Bermula ketika pada tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah pusat mengkonstruksi kawasan Riau sebagai daerah eksploitasi sumber daya alam berbasis hutan dan lahan, setelah eksploitasi minyak bumi.

Akibatnya, terjadi ekosains yang luar biasa. Dari 8 juta hektare daratan Riau, saat ini seluas 5 juta hektare sudah dikuasia oleh sekitar 200-300 orang. Sisanya untuk 6,2 juta penduduk Riau hari ini.

Riau langsung berubah seolah-olah menjadi daerah yang tidak ada manusia, hanya sebagai penyedia sumber daya alam. Dari perspektif adat Melayu terlihat bahwa kearifan adat lama yang sedianya ada, sekarng sudah tidak ada lagi.

Bisa dibayangkan ketika masyarakat adat melihat dalam beberapa hari ke depan, mereka sudah tidak punya halaman dan tanah lagi, karena tanahnya mereka sudah berubah menjadi milik perusahaan. Sementara mereka tidak pernah dibawa untuk runding terkait hal itu. "Yang terjadi hari ini adalah ketidakseimbangan kepemilikan hak-hak itu, sehingga terjadi konflik," ungkapnya.

Pemerintah juga tidak membedakan antara lahan mineral dengan lahan gambut. Seharusnya, lahan gambut yang luas di Riau memerlukan penangan khsusus. Namun disamaratakan saja. Bagi masyarakat adat, lahan gambut bukan pilihan untuk digarap tapi cadangan. karena bila terbuka sedikit saja, sewaktu-waktu akan menimbulkan bencana asap seperti saat ini.

Penanganan lahan gambut juga sama saja. Yang termurah, perusahaan membuat kanal. Tapi itu sama dengan membuka kotak pandora, itulah yang terjadi sekarang. Bila pada tahun 2014 tidak ada penanganan signifikan, itu terjadi karena lahan di Riau sudah tak ada lagi. Namun bukannya berhenti, aksi serupa malah merambah ke daerah tetangga seperti Jambi dan Sumatera Selatan.
 

Tidak Bisa Diterima

Sedangkan H Basrizal Koto menyebut, Riau ingin merdeka dalam artian tidak ingin berpisah dengan NKRI, akan tetapi atas perlakukan Pemerintah Pusat terhadap Provinsi Riau yang menurutnya sangat tidak bisa diterima masyarakat Riau.

Ia menegaskan sekarang ada sekitar 2,7 juta hektare lahan sawit di Riau, namun ketika asap begitu telah menelan jiwa dan 43.000 orang masyarakat terkena penyakit ISPA, perusahaan-perusahaan sawit itu sama sekali tidak peduli terhadap yang terjadi.

Basko, demikian panggilan akrabnya, mengatakan, ia sebenarnya sangat berharap akan ada perubahan yang positif oleh kebijakan pemerintahan baru, seperti janji yang pernah disampaikan kepada masyarakat Riau. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

"Kami ingin juga melihat pemerintah pusat bisa merasakan seperti apa yang dirasakan masyarakat Riau," ujarnya.

Sedangkan Ketua Lembaga Melayu Riau, Darmawi Arif, juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang terkesan tidak tanggap. Padahal, seharusnya pemerintah sudah tahu bahwa asap masih menjadi ancaman yang setiap saat bisa melanda Riau.

Begitu pula anggota Dewan di Riau, yang tidak tampak upaya maksimal mereka. Bahkan di saat kabut asap mendera masyarakat Riau, beberapa di antara mereka malah bepergian ke luar negeri.

"Sikap sama juga ditunjukkan pemerintah pusat. Seharusnya sudah ada penanganan terhadap pelaku pembakaran lahan ini. Datanya ada, banyak perusahaan yang membakar lahan, tapi proses hukumnya tidak tampak," keluhnya.

Menyikapi kondisi itu, Prof Suparto Wijoyo mengatakan, pemerintah sebaiknya menetapkan para pembakar hutan dan lahan ini sebagai teroris. "Pemerintah terkesan lemah dari tanggung jawabnya. Hingga sekarang tidak mau menetapkan sebagai bencana nasional padahal semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi. Apa karena takut ganti rugi dan menanggung biaya kompensasi bagi rakyat akibat asap ini?," ujarnya.

Tidak hanya itu, Suparto juga meminta para owner perusahaan nakal pembakar hutan dan lahan diekspos dan dimiskinkan termasuk membuka sejelas-jelasnya para cukong/owner dari Singapura dan Malaysia. (her)