Pasal Penghinaan, Perlukah?

Pasal Penghinaan, Perlukah?


Belakangan kita atas nama rakyat Indonesia sedikit disibukkan pemberitaan tentang Presiden Republik Indonesia mengajukan pasal penghinaan Presiden dan wakil Presiden dalam rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pro dan kontra pun tidak terhindarkan. Dari 786 pasal yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP, terdapat satu pasal yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasal tersebut terkait pasal penghinaan Presiden dan wakil Presiden.
Pasal ini sejatinya telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 7 Desember 2006 silam, yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan uji materi terhadap Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP terkait penghinaan terhadap Presiden/Kepala Negara. Dengan adanya keputusan MK Nomor 013-022-/PUU-IV/2006 itu, maka klausul tentang Penghinaan Presiden, sebagaimana pada Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dianggap tidak berlaku lagi.
Praktisi hukum Eggi Sudjana, selaku pihak yang mengajukan judicial review atas  Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden pada tahun 2006 lalu, mengatakan MK telah mencabut pasal tersebut lantaran tidak jelas batasannya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Praktik Kelam Pasal Penghinaan
Dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), diatur kejahatan-kejahatan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan ke pentingan negara. Secara khusus, pengaturan mengenai kejahatan-kejahatan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan negara dirumuskan dalam bentuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan, di antaranya: Mengganggu Keamanan Negara, Penghinaan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan terhadap kepala Negara sahabat dan sebagainya.
Dalam praktiknya, kejahatan-kejahatan tersebut, terutama yang berkenaan dengan penghinaan, telah banyak memakan korban. Hampir dalam setiap rejim pasal-pasal ini pernah digunakan untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan penguasa. Bahkan, karena praktek dan rumusannya yang dapat digunakan secara semena-mena, pasal tersebut telah menjadi ancaman bagi perlindungan dan penghormatan terhadap hak untuk berekspresi. Pasal-pasal Haatzaaiartikelen dan Lese Majeste (penghinaan martabat presiden) adalah pasal-pasal dari sisa-sisa peninggalan hukum pidana pemerintah kolonial Belanda (WvS), pasal-pasal ini sering dipakai oleh pemerintahan baik pada masa Soekarno (pra kemerdekaan), pada masa Soeharto (Orde Baru) maupun pada saat ini.
Sebagian besar, lawan-lawan politik, para kritikus, dan mahasiswa menjadi sasaran penggunaan pasal-pasal ini.
Di zaman pemerintahan Soeharto, penangkapan para aktivis politik dan pemimpin oposisi merupakan kebijakan rutin dan lebih terdokumentasi dengan baik. Soeharto dengan dukungan militernya menjalankan negara polisi yang jaringannya benar-benar menjangkau ke seluruh pulau dan desa di nusantara. Pada kondisi tersebut para aktivis, para politisi, akademisi dan jurnalis sering ditangkap, buku-buku dilarang, majalah-majalah sering dibredel dan mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina presiden dilarang. Selanjutnya, larangan berdasarhukum tentang kebebasan berpendapat dilaksanakan dengan tegas.
Contoh atas penggunaan pasal penghinaan terhadap martabat presiden di zaman Soeharto adalah penangkapan terhadap Nuku Soleiman pada tahun 1994. Aktivis Gerakan Pro-Demokrasi ini memasang stiker, antara lain, di halaman MPR-RI, Jakarta, yang bertuliskan “Soeharto Dalang Segala Bencana (SDSB)”. Nuku Sulaiman akhirnya dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara ditingkat Pengadilan Negeri, dan 5 (lima) tahun di tingkat banding. Begitu juga yang terjadi dengan kasus politisi Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis, anggota DPR-RI (1995). Tuduhan pertama terhadap Sri Bintang adalah melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto yang berawal dari munculnya kasus Dresden pada bulan Maret 1995. Sri Bintang Pamungkas kemudian dituduh kembali melakukan penghinaan karena mengucapkan selamat kepada koleganya melalui kartu ucapan selamat yang berbunyi tiga program politik PUDI,yaitu menolak Pemilu 1997, menolak pencalonan Soeharto, dan meyiapkan tatanan baru paska Soeharto. Ia dijatuhi hukuman 2 tahun 10 bulan penjara.
Dua presiden setelah Soeharto, yakni Presiden BJ Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid memerintah dengan pendekatan berbeda terhadap kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Keduanya juga bisa dikatakan menempuh langkah yang berbeda dalam menangani pelanggaran-pelanggaran masa lalu. Pada akhir kekuasan Presiden Abdurrahman Wahid, sebagian besar tahanan politik yang ditawan selama pemerintahan Soeharto, telah dibebaskan. Yang lebih penting bagi masa depan Indonesia adalah persidangan pidana dengan motivasi politik tampaknya akan berakhir.
Namun, di masa pemerintahan Presiden Megawati, pemerintahannya ternyata tidak memiliki komitmen yang sama. Ketika Megawati menduduki kursi kepresidenan, Indonesia berada dalam kondisi yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, terorisme dalam negeri, dan kebangkitan militer. Akibatnya, konsentrasi atas kebijakannya menjadi sorotan utama dan banyak suara-suara dari masyarakat yang tidak puas atas kebijakannya itu. Saat itu aksi demonstrasi berkembang luas di seluruh wilayah indonesia, mengkritik kebijakan Megawati. Kondisi tersebut membuat presiden Megawati kemudian melakukan serangan balik. Dengan menggunakan kembali pasal-pasal penghinaan martabat yang ada dalam KUHP Indonesia yang sering digunakan era Soeharto untuk membungkam lawan-lawan politiknya, Megawati kemudian menggunakan kriminalisasi terhadap para demonstran.
Di masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan penangkapan terhadap pelaku yang dituduh menghina Presidendan Wakil Presiden berdasarkan pasal-pasal tersebut masih kerap dijalankan. Misalnya, pada tahun 2004, Bai Harkat Firdaus, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jakarta (2004), Membakar foto Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam sebuah Penyampaian Pendapatdi Jakarta, dan dihukum 5 bulan penjara. Pada tahun 2005, I Wayan Suardana, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali dalam sebuah Penyampaian Pendapat tentang kenaikan harga BBM, dihukum 6 bulan penjara. Masih di tahun 2005 juga, Sri Bintang Pamungkas, seorang dosen Universitas Indonesia dan aktivis politik meluncurkan buku berjudul “Membongkar Kebohongan Politik SBY-JK”, dia kemudian dipanggil Polda Metro Jaya untuk diinterogasi, namun tidak sampai ke proses pengadilan.
Tahun 2006, Eggi Sudjana, advokat yang mengklarifikasi informasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang kemungkinan Soesilo Bambang Yudhoyono menerima hadiah mobil mewah oleh seorang pengusaha, diadili. Kemudian, Fathur Rohman, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jakarta ditangkap karena Membakar poster Soesilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam sebuah Penyampaian Pendapat di dalam kampus Universitas Nasional di Jakarta.
Perlukah Pasal penghinaan dihidupkan?
Sebagai kejahatan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan negara, kejahatan-kejahatan tersebut sangat rentan berbenturan dengan perlindungan kepentingan lainnya, antara lain perlindungan terhadap kepentingan individu. Akibatnya, sangat rentan pula terhadap pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak-hak sipil dan politik. Oleh karena itu, kajian lebih jauh mengenai kejahatan tersebut menjadi penting dilakukan, terutama dari perspektif hak asasi manusia. Lebih-lebih pada konteks Indonesia sekarang yang mencita-citakan kehidupan bernegara yang lebih demokratis sehingga perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi penting untuk dilakukan dengan berbagai sarana, termasuk hukum pidana.
Menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dengan dalih presiden adalah lembaga negara tak masuk akal, putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pasal penghinaan pada presiden pada 2006 lalu mendapat pujian dari Dewan HAM PBB. Indonesia dinilai telah membuat dua langkah lebih maju dari banyak negara lain, termasuk Belanda, Belgia dan Swedia. Sebab, di negara-negara tersebut pasal penghinaan presiden masih ada sekalipun pada praktiknya tidak lagi digunakan. ***
(Oleh: Zulwisman, SH, MH) Dosen Hukum Tata Negara FH UR).