Yasonna Laoly dan Kebijakan Unhappy

Yasonna Laoly dan Kebijakan Unhappy

Nama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sontak menjadi populer dan menjadi perbincangan publik. Ketenaran ini tidak ada relevansi dengan prestasinya sebagai menteri di Kabinet Kerja, tapi lebih kepada kebijakannya yang menuai kontroversi. Sebut saja, keputusannya yang begitu cepat merespons kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Romahurmuziy dan Partai Golkar hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono, serta kebijakannya untuk memberikan remisi bagi para koruptor.

Kebijakan Yasonna Laoly membuat publik semakin miris terhadap pemerintah sekarang. Kebijakannya tidak menyelesaikan masalah, malah semakin menambah sengkarut dan kusutnya masalah pada bangsa ini. Masalah yang satu belum selesai, muncul lagi masalah baru yang notabenenya lahir dan diciptakan sendiri. Alhasil, bangsa ini tersita energinya hanya untuk menyelesaikan masalah yang tidak tahu kapan berakhirnya.

Untuk itu kemelut dan kisruh yang melanda PPP dan Golkar tidak boleh dijadikan “jembatan” oleh negara melakukan intervensi. Negara seharusnya berlaku defensif, adil bukannya reaktif. Sebab negara adalah wadah yang mengayom semua kepentingan anak bangsa, bukan kepentingan politik penguasa. Apa yang dilakukan oleh Yasonna Laoly telah membuat publik dan pihak-pihak partai politik merasa unhappy. Setidaknya ada beberapa potensi masalah yang akan muncul terkait kebijakan yang dilahirkan Yasonna Laoly

Pertama, langkah mundur demokrasi. Alam demokrasi yang dinikmati publik sejak era reformasi menjadi tercemar dengan langkah yang ditempuh Yasonna terkait polemik partai politik. Menjadikan alasan Pasal 32 ayat (5) UU Nomor 2/2014 tentang partai politik untuk mensyahkan salah satu kepengurusan partai politik yang sedang berpolemik adalah legitimasi yang dipaksakan. Dan Publik melihat serta menganggap sebagai terbegalnya demokrasi. Pemerintah sudah terlalu jauh melangkah, dan langkah tersebut membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Sebab, dengan kemasan “legal” dan “demokrasi”, pemerintah bisa saja meredam partai-partai yang berseberangan dengan pemerintah. Alhasil, kita akan kembali kepada zaman otoritariasme dengan kemasan baru yang bertuliskan demokrasi.

Kedua, menyulut konflik di lapisan bawah. Hal ini mengingatkan publik pada peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 27 Juli 1996 yang berujung kerusuhan. Tragedi ini terjadi akibat pemerintah terlibat jauh dalam konflik partai politik. Di mana pemerintah mengakui PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan tidak mengakui PDI pimpinan Megawati. Akhirnya muncul kekecewaan kader-kader partai. Tragedi 27 Juli bisa saja muncul kembali, bila pemerintah dengan kekuasaannya dan kepongahannya melakukan intervensi politik. Tentu hal ini tidak kita harapkan, mengingat bangsa ini sudah terlalu banyak mengorbankan anak-anak bangsa untuk menegakkan demokrasi.

Ketiga, iklim politik yang tidak kondusif. Sebagai sebuah negara yang sedang membangun, sejatinya Indonesia membutuhkan iklim yang sejuk dalam menjalankan roda pemerintahan. Realitasnya sekarang, bangsa ini seakan memasuki lorong gelap masalah yang tidak tahu kapan berakhirnya. Indikasinya terlihat bagaimana masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini seakan berlomba-lomba datang menimpa. Sebut saja kisruh KPK-Polri, melambungnya harga barang komoditi, naiknya harga BBM serta anjloknya harga rupiah. Dan ditambah lagi oleh kebijakan Menkumham tentang partai politik dan remisi bagi koruptor. Deretan panjang masalah ini, jelas akan membuat iklim politik bertambah pelik dan akan menyulitkan pemerintah dalam membawa bangsa ini setaraf dengan bangsa-bangsa yang lain.

Keempat, gagapnya langkah pemberantasan korupsi. Pemberian remisi bagi koruptor dinilai sebagai langkah mundur bangsa dalam menangani korupsi. Langkah ini menyakitkan publik di tengah dukanya bangsa ini terhadap nasib KPK. Di saat KPK diserang dari seluruh penjuru mata angin, malah koruptor diberikan remisi. Alasannya adalah tidak boleh berlaku diskriminatif terhadap pelaku kejahatan di Indonesia. Padahal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 disebutkan, bahwa napi kasus korupsi, narkotika, dan terorisme tidak berhak mendapatkan remisi atau mengalami pengetatan dalam pemberian remisi. Peraturan ini sejatinya lahir akibat bangsa ini telah terpuruk oleh kejahatan-kejahatan besar tersebut. Nah, bila tetap memberikan remisi, publik khawatir, koruptor yang selama ini tiarap akan bangun kembali.

Menilik masalah yang ditimbulkan akibat kebijakan Menkum HAM Yasonna Laoly semestinya lebih arif dan bijak dalam melihat sebuah permasalahan bangsa. Persoalan yang muncul tidak selalu mengedepankan politik kekuasaan, apalagi yang menyangkut partai politik dan masalah publik. Cukup sudahlah perjalanan bangsa ini menjadi guru yang arif bagi pemerintahan sekarang, jangan melakukan plagiasi lagi terhadap tindakan-tindakan buruk yang diambil pemerintahan zaman otoriter. Sebab, resikonya teramat besar, pertaruhannya bukan hanya kepentingan politik partai-partai, tapi kepentingan bangsa dan rakyat.

Oleh karena itu, menyadari langkah itu salah dan memperbaikinya adalah pilihan benar dan baik untuk bangsa ini. Berhentilah untuk melahirkan kebijakan-kebijakan kontroversi dalam menutup gerakan-gerakan lawan politik. Bangsa ini sudah muak dan lelah dengan polemik yang tak berkesudahan. Marilah membangun bangsa dengan politik adiluhung dan mengedepankan nurani politik. Tinggalkanlah politik ala Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Semoga Semoga  kebijakan  Menkumham Yasonna Laoly membuat publik happy bukan unhappy.****
Pemerhati sosial politik.