Demokrasi Rasa Rendang

Demokrasi Rasa Rendang


Kathryn Stoner, penulis buku “Transition to Democracy: A Comparative  Perspective”, dalam sebuah kuliah internasional untuk Freeman Spogli Institute for Internasional Studies di Stanford University dua tahun lalu, mendapat pertanyaan sekaligus sanggahan yang cukup menggigit dari seorang mahasiswa doktoral asal India. Pakar transisi demokrasi yang khusus mendalami negara-negara post communist ini tampak sedikit gugup dan canggung ketika mahasiswa asal India memberikan komentar yang berbeda dengan pernyataannya, meskipun pernyataan itu sebenarnya sederhana saja.
Ada rasa “tidak bisa menerima”  yang muncul dari dalam diri si mahasiswa India saat Katrhryn Stoner mengategorikan India sebagai sebuah negara demokrasi yang sudah masuk ke dalam  tahap “consolidated” (mapan atau established consolidated democracy)  walaupun prasyarat-prasyarat ekonomi belum terlalu terpenuhi oleh negara ini.
Prasyarat ekonomi yang dimaksud adalah prakondisi makro ekonomi untuk terealisasinya tatanan demokrasi yang mapan sebagaimana  dikupas oleh Adam Prze­worski, seperti income per kapita, tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat industrialisasi, eksistensi kelas menengah (middle class), tingkat pendidikan, keterlibatan dalam perdagangan internasional, dll.
Kathryn sebenarnya mendasarkan kategorisasi demokrasi dari data freedom house democracy ranking yang selalu dirilis setiap tahun oleh Freedom Institute untuk hampir semua negara di dunia. Dengan  freedom house index inilah Kathryn akhirnya berani mengatakan bahwa India termasuk ke dalam kategori negara demokrasi yang sudah dalam tahap konsolidasi, walaupun prasyarat ekonomi yang dipermaklumkan oleh Adam Pzeworski sepenuhnya belum terpenuhi.
Rishy Assant, mahasiswa pasca-sarjana politik internasional ini menolak pernyataan bahwa India adalah salah satu tipe negara demokrasi yang sudah  terkonsolidasi dengan tingkat stabilitas dan sustainabilitas yang konsisten karena menurutnya (apa yang dilihat, dirasakan, dan dialaminya), kekuasaan di India hanya berputar-putar di lingkaran keluarga dan kelas yang itu-itu saja alias tidak ada kontestasi yang kompetitif, penegakan hukum juga sangat buruk, tingkat pemerataan sangat jauh dari harapan, dan industrialisasi baru saja menunjukan tanda-tanda permulaan.
Di samping itu, masih banyak hak-hak politik masyarakat yang belum mendapat tempat selayaknya sebagaimana yang diajarkan dalam teori demokrasi  dan belum adanya formula manajemen konflik yang mumpuni untuk menjembatani tingginya tingkat keanekaragaman di India. Sehingga katanya, sampai hari ini demokrasi India masih sangat elatis dan bahkan sangat terbatas hanya untuk pihak-pihak di level tertentu.
Dengan sangat defensif,  Kathryn nampaknya hanya berpasrah pada data freedom house index yang beliau dapatkan bahwa India memang sudah masuk ke dalam kategori demokrasi yang terkonsolidasi dan cendrung stabil dari dulu sampai hari ini (stable democracy) karena skor freedom house index-nya mengatakan demikian. Meski terlihat cukup kecewa, Rishy akhirnya mengalah pada data-data yang menurutnya agak kurang representatif  terhadap realitas India yang beliau candra sehari-hari.
Dialog dan dialektika dua sudut pandang ini sesungguhnya sangat menarik dan sangat biasa terjadi. Penilaian yang dilakukan oleh para peneliti internasional memang cenderung reduktif pada sisi-sisi tertentu karena alat diagnosa yang digunakan acap kali bias dan tercerabut dari common sense pelaku pelaku domestik, terutama rakyat kebanyakan. Tapi terlepas dari itu, bagi saya pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan Indonesia?
Jika kita lacak data freedom house index untuk Indonesia paska Jokowi berkuasa (dirilis sekitar bulan Desember tahun lalu), ternyata hasilnya juga kurang memuaskan. Bahkan Indonesia jatuh ke dalam kategori “partly free” dari  posisi sebelumnya yang  sempat mengantongi label “free”.
Freedom Institute menerapkan skor satu sampai tujuh untuk dua parameter penilaiaan utama yang mereka pakai. Jika mendekati angka satu berarti semakin buruk dan jika mendekati angka tujuh berarti semakin baik. Dua parameter utama penilaian tersebut adalah civil liberties dan political right. Indonesia mendapat skore 3 alias mendekati angka satu (partly free). Angka ini didapat dari nilai rata-rata dua parameter tadi, yakni civil liberties (skore 4) dan poltical right (skore 2).
Skor ini jatuh dari tahun-tahun sebelumnya. Penyebab utamanya, seperti yang diungkap oleh Freedom House Institute, ternyata lebih banyak berasal dari dunia media dan dari perlakuan pemerintah terhadap media, mulai dari kriminalisasi media online (mereka menyebutnya dengan istilah online speech), kekerasan terhadap jurnalis atau pewarta, dan terpusatnya kepemilikan media-media di tangan segelintir konglomerasi, yang akhirnya membuat dunia media sangat terpolitisisasi (mudah dipolitisasi atau dimanfaatkan sebagai alat politik).
Saya, sebagaimana banyak kawan-kawan saya lainnya, juga merasa sedang berdiri di posisi Rishy As­sant yang sedikit agak risih dengan penilaian internasional ini karena banyak fakta-fakta non demokratis yang berseliweran di Indonesia di luar parameter-parameter yang mereka tetapkan. Bahkan beberapa peneliti, terutama dari Australia dan Amerika,  terus menerus memuji kemajuan demokrasi yang telah dicapai Indonesia dengan landasan data-data sekunder yang juga dibuat oleh pelaku luar. Kajian-kajian mereka kemudian direproduksi oleh intelektual-intelektual dalam negeri dengan interpretasi masing-masing untuk selanjutnya digunakan sebagai senjata justifikasi terhadap eksistensi dan tindak-tanduk sebuah rezim.
Sehingga akhirnya demokrasi hanya dijadikan alat untuk menjustifikasi keberadaan sebuah rezim, bukan sebagai alat untuk merealisasikan cita-cita konstitusi. Jika sudah layak dikatakan demokratis, maka urusan dianggap sudah selesai, tanpa membuktikan secara faktual dan detail apakah hasil untuk sebuah parameter yang ditetapkan layak diterima atau tidak dan tanpa dikaitkan dengan cita-cita kontitusi yang ingin dicapai oleh sebuah negara.
Kondisi ini ibarat seorang turis yang baru pertama kali mencicipi rendang. Mereka cenderung memakai standar rasa yang biasa mereka gunakan di negerinya untuk menilai apakah sesuatu layak dikatakan enak atau tidak sehingga tingkat subjektivitasnya pun sangat tinggi alias sangat non kontekstual. Padahal bagi orang Minang, bahkan mayoritas masyarakat Indonesia tentunya,  rendang adalah salah satu kuliner ciri khas daerah  yang tak bisa disandingkan (dikomparasikan) begitu saja dengan jenis kuliner manapun karena rendang dilahirkan dengan cita rasa budaya yang sangat tinggi dan sangat “khas” untuk memenuhi hasrat kuliner masyarakat Minangkabau, terlepas apakah kemudian cocok dengan masyarakat lain atau tidak.
Seperti itulah interpretasi atas kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Catatan-catatan komprehensif dari pihak-pihak luar dalam kadar tertentu malah menjadi nyanyian sedih (elegy) bagi masyarakat Indonesia karena standar kualifikasi yang mereka klaim bebas nilai tersebut  masih terasa kurang mewakili banyak hal yang kita pikirkan dan kita rasakan sebagai anak bangsa. Sehingga setiap penilaian yang mereka tetapkan terkesan sangat reduktif dan distortif, tercerabut dari konteks yang ada. Dengan lain perkataan, ada cita rasa dan kontekstualitas demokrasi yang tertinggal, seprofesional apapun cara penilaiannya. Karena sejatinya, cita rasa demokrasi melekat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan bergenerasi secara moral, emosional, dan intelektual, bahkan secara kultural, di dalam kontekstualitasnya sendiri.***
(Oleh: Ronny P Sasmita)Pemerhati ekonomi politik