Sidang Korupsi Jual Lahan di HPT Desa Senderak In Absentia: Terdakwa Buron
Riaumandiri.co - Sidang perdana perkara dugaan korupsi penerbitan surat penjualan lahan di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Desa Senderak, Kabupaten Bengkalis, dengan terdakwa Surya Putra, digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin (13/10).
Meski telah dipanggil secara sah sebanyak tiga kali, terdakwa tak kunjung hadir karena masih berstatus daftar pencarian orang (DPO).
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Azis Muslim itu akhirnya digelar secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa. "Jadi sidangnya in absentia, ya," ujar hakim setelah mendengar keterangan jaksa.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Anggi Putra Bumi dalam persidangan menjelaskan bahwa pemanggilan telah dilakukan secara patut. "Sudah dilayangkan pemanggilan sebanyak tiga kali, tetapi terdakwa tidak hadir, Yang Mulia. Saat ini terdakwa masuk dalam daftar pencarian orang (DPO)," ujar Anggi di hadapan majelis hakim.
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut Surya Putra diduga bersama-sama dengan Harianto, Kepala Desa Senderak (sudah divonis), serta Afrizal Nurdin, Kasi Pemerintahan Desa Senderak (sudah divonis), melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Surat Pernyataan Ganti Rugi (SPGR) di atas lahan milik negara seluas 732 hektare.
Perbuatan itu berlangsung pada Maret hingga Agustus 2021, dengan total kerugian negara mencapai Rp4,29 miliar, berdasarkan hasil audit ahli akuntansi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau.
Kasus bermula ketika Harianto menerbitkan 35 SPGR di Dusun Pembangunan seluas 399.940 meter persegi, dan 23 SPGR di Dusun Mekar seluas 332.962 meter persegi. Seluruhnya berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) milik negara.
Terdakwa Surya Putra disebut menginisiasi proses ganti rugi lahan atas nama kelompok tani di Desa Senderak. Ia juga membuat Surat Pernyataan Tidak Bersengketa, yang menyebut lahan tersebut bukan bagian dari hutan negara atau hutan lindung.
Padahal, tindakan itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan serta Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021.
Jaksa memaparkan, sejak tahun 1998 hingga 2006, masyarakat Desa Sebauk (sebelum dimekarkan menjadi Desa Senderak) membuka lahan bakau untuk dijadikan lahan pertanian. Kepala Desa Sebauk saat itu, Zainal Abidin, bahkan menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) pada 2001 sebagai dasar penguasaan.
Namun, pada tahun yang sama, Surya Putra meminta anggota kelompok tani menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat penerbitan SPGR. Setelah KTP terkumpul, Surya menyerahkannya kepada Afrizal untuk diproses di Kantor Desa Senderak.
Begitu SPGR selesai, Surya kembali mendatangi warga untuk meminta tanda tangan dalam dokumen tersebut. Selanjutnya, Harianto dan Afrizal menerbitkan 58 surat di dua dusun.
Proses ini juga melibatkan pembuatan Surat Keterangan Riwayat Pemilikan Tanah (SKRPT), Surat Pernyataan Ganti Rugi, hingga Peta Situasi Tanah, semuanya ditandatangani tanpa kehadiran pihak terkait.
Dari penerbitan surat-surat tersebut, terdakwa Surya Putra memperoleh lahan seluas 3 hektare dan uang Rp60 juta. Sedangkan Afrizal Nurdin menerima 1 hektare lahan serta uang Rp20 juta sebagai imbalan.
Atas perbuatannya, Surya Putra dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.