Dunia dan Tragedi Rohingya

Dunia dan Tragedi Rohingya


Nasib tragis terus melanda warga etnis Rohingya yang bermukim di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Mulai dari penyiksaan fisik, pembunuhan, hingga pengusiran dari tempat tinggal mereka. Bahkan mereka tidak diakui sebagai warganegara Myanmar alias hidup tanpa status kewarganegaraan (stateless).
Padahal, etnis Rohingya seperti yang diungkapkan Abu Tahay yang juga politikus Partai Pembangunan Uni Nasional Myanmar adalah keturunan Indo-Arya yang menetap di Arakan dan memeluk Islam pada abad kedelapan. Generasi baru kelompok etnis ini kemudian juga mewarisi darah campuran Arab ( 788-801 ), Persia (700-1500 ), Bengali (1400-1736 ), dan ditambah Mughal  (abad ke-16). Fakta ini sekaligus menunjukkan bahwa etnis Rohingya bukanlah kaum imigran yang baru hijrah ke Myanmar semasa pemerintahan kolonial Inggris (1824-1948).
Kini, etnis Rohingya mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dari negara Myanmar dan penduduknya. Mereka dibunuh dan disiksa serta dipaksa untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sebuah upaya negara bersama etnis mayoritas melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing) terhadap kelompok minoritas. Tindakan tidak manusiawi ini jelas merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Di tengah penderitaan yang dialami etnis Rohingya, publik menanyakan peran dunia terhadap tragedi ini. Di mana suara-suara lantang dunia terutama Barat yang selalu menantang setiap pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan bukan lagi dalam hitungan jari, tapi sudah mencecah ribuan orang.  Ironisnya, dunia dengan PBB dan organisasi kemanusiaan seakan diam tak bereaksi terhadap tragedi yang menimpa etnis Rohingya. Perlakuan “dingin” ini, semakin membuktikan bahwa Barat memiliki standar ganda dalam laku politik internasionalnya, khususnya terhadap Islam.
Publik melihat dengan kasat mata bagaimana dunia mengutuk perlakuan penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo beberapa waktu yang lalu. Tidak ada satupun negara yang tidak mengutuk aksi ini, bahkan penyerangan tersebut dijuluki sebagai aksi barbarisme. Sebuah aksi yang merusak citra demokrasi dan kebebasan berekspresi yang diagungkan Barat. Meskipun demokrasi dan kebebasan itu merusak tatanan nilai komunitas masyarakat tertentu. Tapi atas nama kebebasan, perilaku menghina nilai-nilai suatu  agama dianggap biasa dan tidak boleh disalahkan.
Reaksi yang sama juga diperlihatkan dunia Barat, bagaimana ketika Indonesia melakukan eksekusi mati terhadap pelaku narkoba. Dunia melihatnya sebagai keputusan yang tidak bijak. Bahkan beberapa negara tempat terpidana berasal melakukan perlawanan terhadap Indonesia. Seperti yang dilakukan Brazil dengan menunda penyerahan surat kepercayaan (kredensial) Duta Besar Indonesia. Dan teranyar, tindakan Australia yang memanggil pulang duta besarnya. Padahal yang dilakukan Indonesia hanya “membunuh” orang-orang yang notabenenya melakukan kesalahan dan telah diputus oleh pengadilan.
Kini, aksi barbarisme itu ditampilkan  secara sadis dan tidak berkemanusiaan oleh Myanmar. Semuanya dilakukan karena mereka beragama Islam dan menjadi  etnis minoritas di tengah mayoritas agama Budha dan etnis Burma. Di mana salah mereka?, bukankah terlahir dari etnis Rohingya adalah hak “prerogatif” Tuhan?, apalagi memeluk agama tertentu seperti Islam merupakan hak demokrasi mereka. Aksi ini bukan hanya penghinaan terhadap demokrasi dan kebebasan, tapi sudah jauh merambah menjadi penghinaan serta pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan juga Tuhan.
Dunia jangan menutup mata dengan ketidakadilan ini, khususnya negara-negara Barat yang selalu mengusung dan mengaungkan nilai-nilai demokrasi. PBB harus melakukan aksi nyata untuk menghentikan pembasmian etnis Rohingya dan menekan negara Myanmar serta menyelamatkan mereka. Jangan hanya berdolak-dalik dan bersembunyi atas nama menghormati kebijakan internal sesebuah negara. Sehingga membiarkan tindakan terorisme yang dilakukan Myanmar.
Peran  Strategis
Indonesia
Bagi negara-negara Islam sudah saatnya menunjukkan perhatian terhadap etnis Rohingya. Jangan sampai terkotak-kotaknya umat Islam dalam bingkai negara bangsa menghilangkan rasa persaudaraan sesama muslim. Khusus untuk Indonesia, di sinilah peran strategis untuk melihatkan kepada dunia melalui Asean untuk melakukan terobosan penyelesaian yang solutif. Bagi negara-negara Asean, Indonesia masih dipandang sebagai “big brother” yang memiliki inisiasi penting dalam menggerakkan organisasi.  Momentum ini harus diambil  segera dengan cara melakukan kerjasama dengan organisasi internasional untuk menekan Myanmar dan melakukan penyelamatan terhadap pengungsi Rohingya. Apalagi di Asean sendiri sudah memiliki sebuah lembaga yang bernama Komisi Hak Asasi Manusia Antar Pemerintah yang tugas utamanya adalah menangani masalah hak asasi manusia yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Sesungguhnya Indonesia pada era Soeharto telah menggerakkan Asean dan  memberi contoh  kepada dunia dalam menangani masalah pengungsi. Dunia bisa melihat bagaimana perlakuan Indonesia terhadap warganegara Vietnam yang mengungsi akibat perang. Pemerintah saat itu menjadikan pulau Galang di Batam-Kepri sebagai tempat penampungan mereka yang berjumlah hampir 250.000  jiwa dari tahun 1979-1996. Mereka diberikan pelayanan yang manusiawi dan dibolehkan mendirikan rumah ibadah. Sejarah itu kini hidup, bahkan setiap tahun mantan pengungsi mengunjungi pulau Galang dan mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada pemerintah Indonesia.
Berbeda dengan manusia perahu (boat people) Vietnam, etnis Rohingya hanya bisa meringis, menangis, menghiba pada dunia yang tidak berpihak kepada mereka. Sekjen Ban Ki- Moon hanya menghimbau negara-negara Asean seperti Thailand, Malaysia dan Indonesia untuk menyelamatkan pengungsi tanpa memberi pressure kepada Myanmar. Beberapa negara Asean menolak kehadiran etnis Rohingya dengan berselindung bahwa  mereka belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Pengungsi.
Sudah saatnya dunia menunjukkan keberpihakannya kepada keadilan, atau  setidaknya kepada kemanusiaan. Bukankah etnis Rohingya itu adalah manusia yang berhak hidup di hamparan bumi Tuhan. Binatang saja yang kelaparan dan terancam hidupnya di kebun binatang, dunia meresponsnya begitu cepat, apatah lagi ini manusia. Untuk itu, jadilah manusia yang memanusiakan manusia, sebab dengan jalan itulah kita baru pantas disebut manusia. Alhasil, perdamaian dan demokrasi yang diimpikan dunia akan menjadi nyata seiring  ditegakkannya keadilan tanpa melihat etnis, agama maupun negara.
Semoga mata dunia terbuka terhadap ketidakadilan, penyiksaan dan genosida yang terjadi pada etnis Rohingya. Wallahu’alam.**


Oleh: Suhardi(Pengamat sosial, politik dan keagamaan).