BKSAP DPR RI Beri Warna Tersendiri Dalam Konstelasi Diplomasi Global

BKSAP DPR RI Beri Warna Tersendiri Dalam Konstelasi Diplomasi Global

RIAUMANDIRI.CO - Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Mardani Ali Sera, menegaskan pentingnya pembaruan perspektif dalam diplomasi dan tata kelola pemerintahan. Pasalnya, dunia tengah memasuki fase baru yang tidak lagi dapat dipetakan dengan kerangka lama.

“Kita hidup dalam dunia baru. Dan seperti kata pepatah, kita tak bisa menemukan pulau baru dengan peta yang lama,” ujar Mardani pada peluncuran dan diskusi buku berjudul "New World, New Perspective, New Approach" yang diterbitkan BKSAP DPR  RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Mardani menyinggung berbagai peristiwa global seperti kebijakan proteksionis Donald Trump, konflik bersenjata di Eropa Timur, serta krisis Timur Tengah pasca serangan 7 Oktober 2023. Rangkaian peristiwa itu menandai perubahan mendasar dalam arsitektur geopolitik dan ekonomi global.

"Termasuk, tantangan baru dari perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan mata uang kripto. Teknologi seperti crypto memang efisien, tapi sekaligus menjadi surga bagi transaksi ilegal lintas negara. Ini mengubah lanskap keamanan siber dan ekonomi global,” kata Mardani.

Dalam forum tersebut, ia menyampaikan bahwa Indonesia tengah bersiap untuk memperkuat keterlibatan di forum-forum parlemen internasional seperti AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) dan IPU (Inter-Parliamentary Union). Kolaborasi antarnegara melalui jalur diplomasi parlemen menjadi semakin penting di era multipolar saat ini.

Tak hanya dalam skala global, Mardani juga menekankan komitmen Indonesia terhadap tata kelola pemerintahan terbuka. Ia menyebut bahwa Indonesia, sebagai pendiri Open Government Partnership (OGP) sejak 2011, kini perlu memperkuat kembali implementasi keterbukaan informasi, termasuk di parlemen.

“Kalau kita ingin beresin negara, kita harus mulai dari parlemen. Dan itu artinya kita harus mendorong open parliament sebagai bagian dari reformasi kelembagaan,” tutur politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Mardani menyampaikan bahwa peluncuran buku diplomasi parlemen bukan sekadar dokumentasi, melainkan ajakan terbuka untuk berkolaborasi. “Semua bisa mendengar, mengkritik, dan berkontribusi dalam kerja-kerja diplomasi BKSAP,” ucapnya.

Butuh Pemikiran

Akademisi dan analis hubungan internasional Philips J. Vermonte menilai buku yang diterbitkan BKSAP itu bukan sekadar laporan kegiatan, tapi menawarkan gagasan.

"Dan itu penting. Apalagi di tengah dunia yang berubah cepat, kita jarang berhenti sejenak untuk berpikir ulang: sebenarnya apa makna semua hubungan internasional yang kita jalankan ini?” kata Philips mewakili CSIS.

Philips menggarisbawahi bahwa pendekatan diplomasi Indonesia perlu melampaui rutinitas birokratis. Menurutnya, sejarah dan pemikiran mendalam para negarawan masa lalu, termasuk para duta besar yang juga penulis dan pemikir, harus menjadi inspirasi dalam membentuk arah baru kebijakan luar negeri.

Ia mencontohkan pemimpin Jerman pasca-Nazi yang membawa negaranya bangkit melalui diplomasi damai dan integrasi Eropa, serta mengutip pemikiran Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah yang menyatakan bahwa peradaban sering runtuh dari dalam, namun bisa pula oleh kekuatan luar yang lebih dominan.

“Politik luar negeri tanpa visi itu kosong. Dan buku ini efektif menyampaikan bahwa semua harus dimulai dari ide," ujarnya.

Philips juga menyampaikan kritik konstruktif dengan mempertanyakan apakah realitas hubungan internasional saat ini benar-benar ‘baru’ atau hanya repetisi dari pola sejarah. Ia merujuk pada buku-buku pemikir global, termasuk karya Azar Gat dari Cambridge, yang menunjukkan bahwa sebelum dominasi pasca-Perang Dunia II, dunia pernah mengenal tatanan multipolar yang damai.

Menyoroti pentingnya diplomasi parlementer, ia menyambut baik peran BKSAP yang menurutnya dapat memperkuat jaringan kerja sama internasional lintas provinsi dan negara bagian, serta memberi warna tersendiri dalam konstelasi diplomasi global.

“Diplomasi tidak hanya milik eksekutif. Parlemen juga punya peran penting. Untuk itu, Indonesia harus tetap menjalin hubungan dengan semua pihak demi kepentingan nasional. Jangan biarkan rivalitas kekuatan besar mendikte sikap kita,” kata Philips. (*) 



Tags DPR RI

Berita Lainnya