Dampak Sanksi FIFA

Sepakbola Riau Mati Suri

Sepakbola Riau Mati Suri

RENGAT (HR)-Kisruh sepakbola Indonesia, yang berakhir dengan jatuhnya sanksi dari FIFA, dipastikan tidak hanya berdampak terhadap dunia sepakbola nasional. Sepakbola di Riau juga dikhawatirkan bakal mati suri.

Menurut Sekretaris Asosiasi PSSI Riau, Zulfahmi Adrian, sanksi ini adalah catatan buruk bagi sepakbola Indonesia. "Memang hanya sedikit negara yang pernah mendapatkan sanksi serupa. Indonesia salah satunya," ujar mantan Ketua PSSI Indragiri Hulu ini, Minggu (31/5).

Terkait kompetisi di Riau sendiri, Zukifli mengatakan, sebenarnya dalam larangan FIFA tersebut, tidak ada larangan pada kompetisi lokal, baik secara nasional maupun pada tingkat daerah, karena memang sanksi tersebut hanya pada tingkat internasional saja.


Namun alumni IPDN ini mengakui, kejadian ini membuat lesu persepakbolaan di daerah, tidak terkecuali Riau.

"Kita sudah agendakan empat kompetisi tingkat provinsi Riau, namun terpaksa ditunda, karena memang jika tetap dilaksanakan, tentunya harus ada kelanjutannya pada tingkat wilayah dan nasional, sementara kelanjutannya sampai saat ini belum bisa dilaksanakan," jelasnya.

Terkait izin dari pihak terkait, Zulfahmi merasa yakin, untuk Riau tidak ada permasalahan. Karena itu, pihaknya yakin instansi terkait di daerah, akan sangat memahami hal tersebut.

Dirinya  juga berharap, agar pemerintah dan PSSI dapat segera mencari jalan keluar untuk ini, karena memang kompetisi itu adalah roh dari sepakbola di Tanah Air. Tanpa kompetisi, percuma saja adanya PSSI. Makanya kompetisi harus berjalan, agar gairah sepak bola di Indoensia masih bisa terus terjaga.
 

Babak Baru Perbaikan

Sementara itu, pro kontra saksi FIFA tersebut masih terus berlanjut. Bagi yang pro pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga, pembekuan ini dinilai merupakan babak baru dalam upaya perbaikan sepakbola nasional.

Seperti dituturkan Ketua Tim Kerja Monitoring Persiapan Asian Games 2018 Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Syaifuddin Munis, sanksi FIFA memang sangat mengejutkan publik dan pecinta bola di Tanah Air.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kebijakan Menpora, yang dipandang publik sangat kontroversial, justru mendapatkan dukungan penuh dari Presiden RI Joko Widodo dan sebagian kalangan masyarakat sepakbola di Tanah Air.

"Presiden Joko Widodo sangat mendukung penuh kebijakan Menpora untuk pembenahan sepakbola dan pembentukan tim transisi untuk terus melakukan pembenahan total pada sistem tata kelola sepakbola Indonesia," ujarnya, Minggu (31/5).

"Karenanya, bagaimana pembekuan dan jatuhnya sanksi FIFA terhadap PSSI itu bisa dijadikan momentum babak baru untuk membenahi sistem tata kelola sepakbola Indonesia yang lebih profesiobal dan berkualitas," tambahnya.

Momentum tersebut, jelasnya, harus diapresiasi oleh seluruh publik sepakbola tanah air supaya reformasi sepakbola bisa secepatnya bergulir.

"Bergulirnya sistem kompetisi harus dilakukan secara sistematis dan menyentuh semua level pembinaa, mulai dari pembinaan kompetisi amatir antarkampung atau desa, antarsiswa, antarkampus di Perguruan Tinggi, antarkomunitas pemuda profesi, hingga pembinaan klub-klub profesional yang menjadi tumpuan kehidupan bagi para atlet sepakbola berprestasi," papar Syaifuddin.

Untuk mencapai sepakbola yang terbaik, kata dia, harus dilakukan dengan baik dan bebas dari konflik masa lalu serta terhindar dari ancaman dunia mafia atau perjudian di dunia sepak bola.

"Masyarakat sepakbola harus mengapresiasi kebijakan Menpora dan dukungan tegas Presiden Jokowi yang sudah memberikan kepastian untuk pembenahan total sistem tata kelola sepakbola baru Indonesia," sahutnya.

Lebih jauh Syaifuddin menegaskan, kebijakan pembekuan PSSI dan pembentukan Tim Transisi oleh Kemenpora merupakan pintu positif bagi momentum ruang ekspresi rakyat dan publik pecinta sepakbola, yang sudah lama kesal, jenuh dan merindukan prestasi sepak bola Indonesia.

"Rakyat Indonesia harus optimistis bahwa sepakbola Indonesia jika dikelola secara baik, benar dan profesional, tim merah putih akan meraih prestasi di level dunia. Tapi upaya itu jelas tidak instan. Semoga tim merah putih nantinya, bisa berprestasi seperi ketika Timnas PPD tahun 1986 yang sempat menjuarai Grup A di level Asia, juara piala kemerdekaan tahun 1987, juara SEA Games tahun 1987 di Jakarta dan di SEA Games Manila tahun 1991," terangnya.

Ditambahkan, untuk level amatir, satu kesebelasan pelajar Indonesia juga pernah meraih juara Asia 2 kali pada tahun 1985 dan tahun 1987 dibawah pelatih Bockard Pape dari Jerman dan kapten Frans Sinatra Howae.

"Yang jelas, sepakbola bukan milik segelintir orang. Tapi milik bangsa Indonesia, milik rakyat Indonesia. Kalau sistem tata kelola yang dirancang oleh tim transisi dan di bawah pembinaan Kemenpora sudah berjalan aktif dan normal, kita optimistos pemerintah pasti akan melakukan komunikasi yang lebih fresh dan lebih progres dengan AFF, AFC dan FIFA. Rakyat Indonesia tak harus kecewa dan terlena tanpa semangat untuk memperbaiki sepak bola Indonesia. Saatnya menuju babak baru sepakbola Indonesia yang lebih baik," tutupnya.(eka, dtc, pep)