Bencana Ekologis Reklamasi

Rabu, 13 April 2016 - 09:55 WIB
ilustrasi

Reklamasi pantai Teluk Jakarta yang ramai dibicarakan kini seputar masalah izin dan aturan yang memberlakukan atau tidak dikakukan reklamasi.

Persoalannya tidak sampai kepada dampak ekologis yang timbul karena reklamasi. Tampak, kepedulian kita akan lingkungan pada umumnya tak dipikirkan dulu.

Kita berani merusak ekologi jika aturan itu ada dan tak mau tahu dampak ekologisnya, seperti bencana akibat proyek yang dibangun.

Kita juga menjadi manusia yang selalu melawan aturan Tuhan, sehingga bencana ekologis selalu ada untuk kita. Jika sudah ada izin aturan maka rusaklah keyakinan manusia akan Tuhan.

Proyek reklamasi ini hanya sebagian kecil dari proyek lain yang mengorbankan nilai lingkungan. Pemerintah harusnya berkaca dari pengalaman DKI Jakarta yang sering kebanjiran.

Bencana itu tidak lain karena rusaknya embung alami di sana.

Menimbun rawa menjadi bangunan. Kini, kita menimbun lautan untuk pulau-pulau baru yang dijadikan sebagai kawasan atau zonasi yang jelas merusak ekosistem perairan.

Rencana ini harus dipikirkan sebelum bencana ekologis lebih parah terjadi di negeri kita kini.

Sejarah kawasan sangat peru dipertimbangkan. Siapa pun perencananya, harus tahu sejarahnya. Ini menentukan keberlanjutan dari proyek.

Ini yang kita sebut dengan sesuai atau tidaknya kawasan untuk menjadi kawasan permukiman, pulau-pulau baru, dan kawasan perkantoran. Sesat berpikir dalam perencanaan kota seperti ini yang sering kita lakukan.

 Perkotaan terbangun, tapi mengorbankan semua yang ada di sana, termasuk penutupan sungai, rawa, dan danau-danau. Jika kawasannya air, seperti laut, janganlah kita jadikan untuk pulau baru.

Memang ada ekosistem buatan, yaitu ekosistem yang dibuat oleh manusia. Tentu hal ini menggunakan pertimbangan yang matang. Misalkan, di tengah kota terjadi banjir, maka dibuatkan bendungan untuk menampung banjir. Hal seperti itu yang disebut ekosistem buatan.

Namun, kini berbeda, justru kerusakan akan parah karena DKI Jakarta dekat dengan laut. Jika menimbun laut menjadi pulau, kemudian air laut akan terdesak, akibatnya gelombang air laut tinggi dan kuat, sehingga masuknya air laut lebih mungkin terjadi.

Ekosistem perairan juga akan rusak di sana. Teluk Jakarta memiliki banyak spesies ikan, kerang, plankton (semacam tumbuhan makanan ikan), dan zooplankton (sejenis hewan sebagai makanan ikan).

Teluk Jakarta juga termasuk daerah tempat bermuaranya sembilan sungai yang melintas di DKI Jakarta, termasuk tempat bagi nelayan untuk mencari ikan (BLHD DKI Jakarta, 2013).

Ekosistem ini akan hilang saat terjadi pengubahan ekosistem ke ekosistem yang lain. Zooplankton dan plankton sebagai makanan ikan hilang secara perlahan-lahan.

Ikan yang ada di sana juga akan hilang, termasuk sarang ikan, seperti terumbu karang. Sembilan sungai yang bermuara akan terhambat, bahkan berpotensi untuk membaliknya air saat sungai sedang banjir jika dilakukan penyempitan.

Padahal, sebelumnya juga bermasalah, pencemaran dari hulu sungai masuk semuanya ke Teluk Jakarta. Termasuk, endapan lumpur yang membuat semakin dangkalnya teluk. Jika dijadikan pulau baru, kita menghilangkan perlahan-lahan ekosistem perairan sebagai penghasil ikan.

Bahkan, terjadinya gangguan pada ekosistem perairan, termasuk ikan, plankton, dan zooplankton. Kerusakan plankton dan zooplankton serta terumbu karang turut merugikan nelayan.

Ikan akan berlimpah saat makanan ikan, seperti plankton dan zooplankton berlimpah. Mengubahnya juga mengakibatkan penyempitan habitat ikan dan penyempitan lokasi bagi nelayan dalam memperoleh rezeki.

Dalam rantai ekosistem perairan, semua yang ada di lautan itu saling bergantung dan berinteraksi. Jika habitat ikan rusak, secara langsung terjadi pengurangan jumlah plankton di daerah tersebut.

Plankton dan zooplankton merupakan makanan ikan, sehingga berkurangnya sumber makanan bagi ikan akibat proyek menyebabkan berkurangnya limpahan ikan dalam jangka panjang.
Semuanya menjadi korban ganasnya reklamasi itu. Habitat ikan hilang dan berganti ekosistem pulau baru dan baru dapat kembali dalam waktu yang lama.

Secara sosial, masyarakat nelayan sulit mengais rezeki karena sebagian besar nelayan akan bergantung pada perairan.

Justru, dengan reklamasi tadi nelayan kehilangan mata pencaharian, sementara nelayan di DKI Jakarta sangat banyak. Hampir lebih dari 50 persen nelayan penuh di DKI Jakarta.

Nelayan penuh, yaitu nelayan yang bergantung sepenuhnya kepada lautan. Menurut BPS (2013), ada sekitar 58.805 nelayan penuh. Nelayan setengah penuh sekitar 1.593 orang dan nelayan tidak tetap sekitar 1.415 orang.

Data ini sangat cukup memberikan informasi bahwa Teluk Jakarta itu baiknya dibiarkan saja demi nelayan yang banyak tadi.

Artinya, nelayan itu tidak ada kerjaan lain selain menangkap ikan, kerang, dan udang di lautan. Hilangnya lahan pencaharian juga menimbulkan konflik antara nelayan, padahal proyek bisa berlanjut jika nelayan tidak dirasa dirugikan.

Semua kategori nelayan itu akan merasakan kerugian akibat reklamasi pantai. Ini bukan serta-merta layak secara amdal ataupun izin dan aturan serta yang lainnya.

Kita harus berpikir jernih untuk menimbang melakukannya atau tidak. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, nelayan membutuhkan penghidupan. Teluk Jakarta sebagai tempat bagi mereka.

Tapi, jika itu dikurangi maka harus ada solusi untuk mereka. Apakah pemerintah daerah sudah mempunyai solusi untuk mereka yang bergantung hidup di sana? Pada prinsipnya, nelayan tidak mempunyai keahlian selain itu. Maka, jelas akan sulit baginya untuk mencari sumber lain.

Kedua, secara ekologis tampaknya bermasalah. Artinya, jika harus dilakukan, harus ada adaptasi yang jelas jika bencana ekologis itu timbul. Termasuk, adaptasi banjir air laut/abrasi pantai.

Kita tahu, daratan akan mendesak lautan, sewaktu-waktu nanti akan muncul bencana air karena Teluk Jakarta tempat bermuaranya sungai.

Saat daerah penampungannya dijadikan daratan, secara langsung mengurangi tempat penampungan banjir sungai.

Apakah pemerintah sudah menyiapkan adaptasinya? Ketiga, kapan kira-kira kita tidak mendewakan aturan dan perizinan, sehingga tidak dianggap salah mengubah ciptaan Tuhan. Akhirnya, bertubi-tubi bencana tak pernah bisa kita atasi.

Kita harus memaksa manusia agar memikirkan lingkungan, bukan aturan dan perizinanan saja yang harus dipertimbangkan. Terakhir, jika dampaknya banyak, baik ekologis maupun sosial, perlulah kita membatalkan proyek tadi demi memperkecil kemungkinan konflik.

Pelayan akan marah dengan cara seperti itu, sebab nelayan butuh hidup. Kita merampas pula tempatnya hidup, padahal ia tak melakukan kesalahan apa pun selain mencari ikan dan kerang di Teluk Jakarta.  ***
Penulis akademisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB.

Editor:

Terkini

Terpopuler