Menggesa Revisi UU Pilkada

Selasa, 16 Februari 2016 - 11:24 WIB
Ilustrasi

Sejumlah kelemahan di UU No 8 tahun 2015 sebagaimana perubahan atas UU No 1 tahun 2015 tentang Pilkada mendesak untuk dilakukan revisi. Sedikitnya, ada 5 materi pokok di dalam UU ini yang tak berlaku lagi, karena telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Adalah mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri 2010- 2014 Djohermansyah Djohan, yang menegaskan segudang masalah di UU Pilkada harus cepat diperbaiki dan digesa.

Menurutnya, waktu sangat pendek. DPR dan pemerintah harus fokus menyiapkan jadwal revisi. Jangan sampai pengalaman pilkada gelombang pertama, 2015 terulang kembali di 2017. Imbasnya, penyelenggara yang dibikin kewalahan lagi.
Sudah Diuji mAteri Pernyataan Djohermansyah patut digarisbawahi.  

Sebagai orang yang terlibat banyak ikut merancang UU Pilkada, kerisauannya bukan tanpa alasan. Untuk itu, sebelum melakukan revisi, beberapa putusan MK atas uji materi UU Pilkada perlu dicermati lagi. Pertama, penetapan pasangan calon bagi PNS, TNI Polri, anggota DPR, DPD dan DPRD sebaiknya wajib mundur sejak ditetapkan sebagai pemenang kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Bukan wajib mundur saat penetapan pasangan calon.  

Kedua, untuk bekas narapidana yang akan maju, sebaiknya ditata kembali dengan memperberat syarat pencalonannya. Jika menginginkan Pilkada yang berkualitas, pemimpin di daerah harus orang yang punya integritas, bukan yang punya perangai tercela.

Ketiga, untuk mencegah munculnya praktik “politik dinasti” perlu disesuaikan lagi syarat pengaturan relasi antara calon dengan petahana, sehingga tidak ada ruang untuk dibatalkan lagi oleh MK. Keempat, putusan tentang calon tunggal perlu ditindaklanjuti. Bukan batas “atas” ambang batas dukungan parpol untuk pencalonan yang diatur, tapi mengatur pemberian sanksi bagi parpol yang tidak  mengajukan calon. Kelima, minimal syarat dukungan calon perseorangan, dihitung berdasarkan persentase dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir.

Bukan lagi berdasarkan persentase jumlah penduduk.  

Pengaturannya, untuk pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan dari calon perseorangan, sebaiknya bukan melalui mekanisme di DPRD. Tapi, diserahkan ke calon perseorangan yang bersangkutan. Misalnya, untuk pengisian jabatan kepala daerah yang berhalangan tetap, diisi oleh wakilnya. Sedangkan, mekanisme pengisian jabatan wakil yang kosong diserahkan kepada kepala daerah yang terpilih.

Perlu Koreksi Selain itu, beberapa materi menurut penulis berdasarkan pengalaman pilkada 2015, juga mendesak untuk dilakukan koreksi. Hal ini berdasarkan hasil evaluasi pilkada pada saat Rapat Pimpinan (Rapim) KPU seluruh Indonesia di Banjarmasin, 2-4 Februari 2016 lalu. Pertama, penganggaran Pilkada 2017 sebaiknya sudah dianggarkan melalui APBN. Pengalaman Pilkada 2015, banyak daerah yang terlambat menganggarkan, bahkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) rawan dipolitisasi.

Kedua, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara (TUN) terkait penetapan pencalonan rentangnya harus diperpendek. Jika memungkinkan, langsung ke PTTUN dan MA. Panitia pengawas fokus ke pengawasan, dan sengketa yang bukan TUN. Pengalaman lalu, akibat panjangnya rentang waktu penyelesaian sengketa pencalonan, sejumlah daerah terpaksa harus ditunda pemungutan suaranya.

Pasalnya, sampai hari pemungutan 9 Desember 2015, lima daerah; Kalimantan Tengah, Fakfak, Manado, Siantar dan Simalungun terpaksa ditunda karena menunggu putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA). Ketiga, pengadaan dan penganggaran Alat Peraga Kampanye (APK), sebaiknya di KPU. Jalan keluarnya, anggaran diberikan langsung kepada pasangan calon. Tapi tetap pembatasan jumlah dan pemasangan APK diatur lebih terperinci.

Keempat,  politik uang harus diatur tegas sanksi dan proses penangganannya. Belajar dari pengaturan yang ada, penegakan hukumnya tak bisa diterapkan. Jika pun ada terkait proses pencalonan, memang diatur tegas tapi giliran penerapan hukumnya (law inforcement) susah untuk dilaksanakan. Kelima, pelantikan pasangan calon kepala daerah terpilih harus memperhatikan desain Pilkada serentak nasional 2027.

Pasalnya, kebijakan Kemendagri menyusun jadwal pelantikan kepala daerah hasil pilkada 2015, jadi 3 gelombang agak kurang pas. Misalnya, Kemendagri mengabaikan Pasal 202 UU No 8 tahun 2015, bahwa akibat Pilkada serentak, maka jabatan kepala daerah tak harus 5 tahun. Tapi diberikan uang kompensasi, sebesar gaji pokok dikali sisa masa jabatan yang tersisa.

Sudah Di-launching Berkaca dari sejumlah kekurangan di UU Pilkada, dan pengalaman penyelenggaraan Pilkada serentak 2015, menjadi poin penting untuk menyempurnakan lagi pelaksanaan Pilkada serentak 2017. Apalagi KPU terhitung sejak tanggal 15 Februari 2016 kemarin sudah me-launching resmi tahapan pelaksanaan Pilkada 2017.

Dimana hari pemungutan suara ditetapkan jatuh pada hari Rabu, tanggal 15 Februari 2017. Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Khusus untuk Riau diikuti oleh Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar.

Setakat ini, hal yang perlu menjadi perhatian dari pemerintah dan DPR, adalah menggesa untuk mengagendakan jadwal revisi UU pilkada. Tak mungkin membiarkan penyelenggara melaksanakan pilkada serentak 2017, sementara sejumlah materi di UU pilkada tak dapat lagi bisa diterapkan. ***

Komisioner KPU Riau, Divisi Hukum dan Pengawasan

Editor:

Terkini

Terpopuler