Riaumandiri.co - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan inisiatif pemerintah yang diluncurkan sejak 2016 dengan tujuan meningkatkan asupan gizi bagi ratusan ribu keluarga berpenghasilan rendah di seluruh Indonesia. Program ini diselenggarakan melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di tingkat kabupaten/kota, dan sejak pelaksanaannya telah menyalurkan ratusan juta porsi makanan sehari-hari kepada penerima manfaat. Namun, kehadiran program ini juga menimbulkan tantangan terkait keamanan pangan, terutama dalam menjaga standar sanitasi di dapur-dapur yang melayani ribuan porsi setiap harinya.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, baru saja menyatakan bahwa hingga 11 November 2025, sebanyak 11.640 penerima manfaat MBG telah mengalami gangguan kesehatan akibat keracunan pangan. Dari total 441 kejadian keracunan pangan di Indonesia, 211 kasus atau sekitar 48?% berasal dari program MBG. Data tambahan menunjukkan bahwa 173 kasus luar biasa (KLB) melibatkan penerima manfaat MBG di tiga wilayah pembagian nasional.
"Secara umum total kejadian di Indonesia itu sampai hari ini ada 441 total kejadian, MBG menyumbang 211 kejadian atau sekitar kurang lebih 48 persen dari total keracunan pangan yang ada di Indonesia," ucap si Dadan Hindayana.
Di antara 11.640 kasus tersebut, 636 orang menjalani rawat inap sementara 11.004 menjalani rawat jalan. Perbandingan data BGN dengan laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan perbedaan dua unit rawat inap (BGN mencatat 636, Kemenkes 638) dan selisih pada rawat jalan (BGN 11.004, Kemenkes 13.371). Perbedaan ini menegaskan perlunya sinkronisasi data antara dua lembaga agar pemantauan keracunan pangan menjadi lebih akurat dan responsif.
"Jika dilihat total penerima manfaat yang mengalami gangguan kesehatan itu yang rawat inap ada 636. Kalau di Kementerian Kesehatan ini 638 beda dua tapi kami akan sinkronkan. Kemudian yang rawat jalan, berbasis laporan Kementerian Kesehatan itu 13.371 orang," paparnya.
BGN juga melaporkan bahwa sebanyak 1.619 SPPG, atau dapur, sudah memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Sertifikasi ini menjadi indikator utama kualitas sanitasi di fasilitas penyediaan makanan, sekaligus menjadi dasar penjaminan mutu bagi program MBG. Meskipun masih terdapat beberapa dapur yang belum terdaftar, angka 1.619 menunjukkan peningkatan signifikan dalam penerapan standar sanitasi sejak program dimulai.
"Sampai hari ini kita sudah memproduksi total 1,8 miliar porsi makan alhamdulillah dan alhamdulillah sebagian besar berjalan dengan sangat baik," pungkas Dadan.
Dengan data yang semakin terstruktur, pemerintah dan BGN menegaskan komitmen mereka untuk terus memperbaiki kualitas layanan serta menanggulangi kasus keracunan pangan. Langkah selanjutnya melibatkan pengawasan yang lebih ketat terhadap SPPG, pelatihan bakhshah gizi, serta pemantauan real-time data keracunan, agar program MBG dapat terus menjadi solusi gizi yang aman dan terjangkau bagi masyarakat miskin Indonesia.(MG/AND)