Bendahara Musnahkan Catatan Pemotongan Anggaran Atas Perintah Yan Prana

Bendahara Musnahkan Catatan Pemotongan Anggaran Atas Perintah Yan Prana

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU – Catatan pemotongan dana perjalanan dinas 10 persen di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Siak telah dimusnahkan atas perintah Yan Prana Jaya Indra Rasyid. Pemusnahan itu dilakukan sejumlah Bendahara Pengeluaran Bappeda Siak.

Hal tersebut seperti disampaikan Kepala Sub Bidang (Kasubbid) Penyusunan Anggaran pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Riau, Donna Fitria, kala menjadi saksi pada sidang dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Siak tahun 2014-2017. Sidang itu digelar di Pengadilan Negeri (PN) pada Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Senin (31/5/2021).

Duduk di kursi pesakitan adalah mantan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, Yan Prana. Saat perkara terjadi, orang dekat Gubernur Riau Syamsuar itu masih menjabat sebagai Kepala Bappeda Siak sekaligus Pengguna Anggaran (PA).


Jaksa Penuntut Umum (JPU) membutuhkan keterangan Donna untuk membuktikan dakwaannya. Donna sendiri saat ini telah menyandang status tersangka dalam perkara yang sama.

Dalam kesaksiannya, Donna mengakui memang ada pemotongan biaya perjalanan dinas sebesar 10 persen kepada setiap pegawai Bappeda Siak saat dirinya menjabat Bendahara Pengeluaran. Menurutnya, skema ini sudah ada sebelum Yan Prana menjabat Kepala Bappeda Siak.

Sebelum menjadi Bendahara, kata Donna, dirinya turut merasakan uang perjalanan dinasnya ikut dipotong.

"Sebelum (saya) jadi bendahara, dipotong juga (uang perjalanan dinasnya)," ujar Donna di hadapan majelis hakim yang diketuai Lilin Herlina.

Hakim kemudian mendalami keterangan itu dengan menanyakan terkait pemotongan uang perjalanan dinas di masa Yan Prana Jaya sebagai Kepala Bappeda, yakni dimulai 2012 sampai 2017.

Dijelaskan Donna, dirinya mulai menjabat sebagai Bendahara Pengeluaran pada Januari 2013. Saat itu dia hanya melanjutkan pemotongan biaya perjalanan dinas yang sudah dilakukan Bendahara sebelumnya, Rio Arta.

Diungkapnya, saat menyerahkan uang perjalanan dinas kepada pegawai, dia menyerahkan secarik kwitansi yang tertulis nominal sebelum dipotong. Sementara nilai uang yang diserahkan, sudah dipotong 10 persen. Artinya, uang yang diterima pegawai tidak sesuai dengan kwitansi tanda terima yang diteken.

Saat pencairan, pegawai yang melakukan perjalanan dinas diminta menunjukkan surat pertanggungjawaban (SPJ) dan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD). Itu termasuk tiket pesawat dan hotel jika memang melakukan perjalanan dinas ke luar kota.

"Ada tidak yang menyampaikan keberatan, atau bertanya?," tanya hakim ketua Lilin Herlina. Atas pertanyaan itu, Donna menjawab tidak ada. Pemotongan 10 persen itu, kata Donna, terus berlangsung hingga dirinya dia tidak lagi menjadi Bendahara.

Hakim kemudian menanyakan, apakah setelah 2012, masih ada rapat membahas soal pemotongan perjalanan dinas. Menurut Donna, setiap tahun ada rapat awal tahun yang diikuti seluruh pegawai.

"Apakah membahas soal pemotongan perjalanan dinas?," tanya hakim Lilin.

"2014 ada, 2013 melanjutkan 2012," jawab Donna yang dinilai sebagai saksi kunci dalam perkara itu.

Donna menyatakan, rapat itu memang ada membahas kembali soal pemotongan uang perjalanan dinas. Pasalnya, para pegawai dikabarkan ada yang keberatan. Namun itu hanya cerita antar pegawai. Sampai akhirnya, keluhan itu pun diketahui Donna yang langsung menyampaikan ke Yan Prana selaku pimpinannya.

"(Rapat) 2014 itu disampaikan Pak Yan, apakah ada yang keberatan dipotong 10 persen? Diam saja semua," jelas Donna.

Uang hasil pemotongan setiap perjalanan dinas pegawai sebesar 10 persen itu, disimpan oleh Donna.

"Saya simpan. Setiap bulan Pak Yan ada minta, baru saya kasih," tutur dia. Kendati begitu, dia mengaku tidak mengetahui pasti untuk keperluan apa uang yang diminta oleh Yan Prana itu.

Donna melanjutkan, tidak tentu besaran uang yang disimpannya setiap bulannya. Begitu juga dengan uang diminta Yan Prana.

Berdasarkan pengakuan Donna, pada tahun 2014, dia pernah menyerahkan uang total Rp486 juta kepada Yan Prana, yang merupakan hasil pemotongan biaya perjalanan dinas.

"Itu ditotalkan, segitu yang mulia," kata dia.

Ia menyampaikan, saat tak lagi menjabat Bendahara Pengeluaran, sisa uang potongan 10 persen setiap perjalanan dinas pegawai itu, ia serahkan semuanya ke terdakwa.

"Ada catatannya?" tanya hakim.

Donna menyatakan semua perjalanan dinas dicatat dan disimpan dalam komputer. Rekapan dana itu, setiap tahun diserahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) namun tidak disertai keterangan pemotongan 10 persen.

Terkait yang pemotongan 10 persen, Donna memaparkan, ia punya catatan sendiri dalam sebuah buku. "Bukunya ada?" kata hakim.

Donna menyatakan, buku itu tidak lagi ada pada dirinya karena sudah dimusnahkan. Menurutnya, Yan Prana memerintah agar dirinya membuang catatan tersebut setelah tidak lagi menjabat Bendahara. "Sudah dibuang," imbuh Donna.

Mendengar itu, hakim mempertanyakan alasan mengapa catatan itu sampai dibuang. Donna lalu menjawabnya. "Kata Pak Yan, kalau sudah selesai dibuang saja," ucap Donna, seraya mengatakan catatan itu dimusnahkan dengan cara disobek-sobek.

"Disobek-sobek gitu yang mulia," tegas Donna.

Kembali terkait rekapitulasi biaya perjalanan dinas yang tersimpan di dalam komputer, Donna memberikan penjelasannya. "Itu rekapan saya sendiri selama setahun. Yang di komputer tidak ada pemotongan 10 persen," ungkap dia.

Dalam persidangan itu, seseorang bernama Suhartini dihadirkan untuk membuka file rekapan perjalanan dinas di komputer yang dibawa Jaksa sebagai barang bukti. Suhartini merupakan staf Donna tapi data di komputer itu tidak bisa dibuka.

Donna mengatakan rekapan itu ada setiap tahun. Donna mengaku membuat kembali catatan pemotongan dinas setelah adanya penyelidikan dari pihak Kejaksaan. Pemotongan itu berdasarkan catatan yang di komputer.

Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), total uang pemotongan perjalanan dinas yang diberikan ke Yan Prana totalnya Rp400 juta lebih.

"Uang pemotongan itu, dikatakan Pak Yan, untuk MTQ, untuk THR (Tunjangan Hari Raya,red) honorer dan CS (cleaning service,red). Ini saya tahunya dari kabid-kabid, yang mulia," terang Donna.

Saat sidang itu, sempat terjadi adu argumentasi antara Alhendri dengan JPU. Itu terkait tentang rekapan tahun 2013-2015 yang kembali dibuat Donna saat proses penyidikan. Donna menyatakan rekapan itu dibuat atas permintaan penyidik pada Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.

Alhendri yang merupakan penasehat hukum (PH) terdakwa, menyatakan keberatan kalau rekapan itu disertakan sebagai alat bukti di pengadilan karena dinilai tidak orisinil. Akhirnya hakim meminta tim penasehat hukum menyampaikan keberatan itu dalam nota pembelaan atau pledoi.

Penasehat hukum juga menyatakan Donna bisa terjerat dalam kasus tersebut. "Saya memang sudah jadi tersangka dalam kasus ini," tanggap Donna.

Selain Donna, JPU juga menghadirkan saksi Ade Kusendang. Dia juga pernah menjadi Bendahara di Bappeda Siak, dan mengaku adanya pemotongan 10 persen.

Setiap pemotongan itu, kata dia, juga dicatat dalam sebuah buku. Ketika ditanya apakah buku tesebut ada, Ade menyatakan sudah memusnahkannya.

"Sudah tidak ada. Sudah dibakar atas perintah terdakwa," kata Ade.

Ade juga menyebutkan, dirinya membuat rekap perjalanan dinas setiap tahunnya. Rekap itu yang diserahkan ke BPK tanpa ada pemotongan 10 persen. "Di penyidik, ditambah kolom pemotongan 10 persen," ujar Ade.

Atas keterangan saksi itu, Yan Prana. menyampaikan beberapa keberatannya. Keberatan pertama, Yan Prana mengaku tidak ada melakukan rapat terkait pemotongan perjalanan dinas pada 2012 dan 2014. Pada 2014, dia menyatakan hanya menyampaikan usulan dari Donna terkait pemotongan.

"Saya hanya menyampaikan usulan dari Donna terkait pemotongan. Saya yang diminta sampaikan karena dia kan hanya menjabat Bendahara," kata Yan Prana.

Yan Prana juga membantah menerima uang dari pemotongan perjalanan dinas dari Donna. Begitu juga uang sisa makan minum atau alat tulis kantor.

"Saya tidak pernah terima uang. penggunaannya juga tidak pernah tahu," tanggap Yan Prana lagi.

Sementara itu, Donna menyatakan tetap pada keterangan. "Saya tetap pada keterangan saya yang mulia," jawab Donna saat diminta hakim untuk menanggapi keberadaan terdakwa Yan Prana itu.

Pada persidangan itu, Jaksa juga menghadirkan 6 saksi lainnya. Mereka merupakan staf dan pegawai honorer di Bappeda Siak.

Berdasarkan dakwaan JPU disebutkan, Yan Prana Jaya bersama-sama Donna Fitria (perkaranya diajukan dalam berkas perkara terpisah) dan Ade Kusendang, serta Erita, sekitar Januari 2013 hingga Desember 2017 melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain sebesar Rp2.896.349.844,37.

Berawal pada Januari 2013, saat terjadi pergantian Bendahara Pengeluaran dari Rio Arta kepada Donna, terdakwa Yan Prana mengarahkan untuk melakukan pemotongan biaya sebesar 10 persen dari setiap pelaksanaan kegiatan perjalanan dinas.

Donna Fitria sebagai Bendahara Pengeluaran, lantas melakukan pemotongan anggaran perjalanan dinas Bappeda Kabupaten Siak tahun anggaran 2013 sampai dengan Maret 2015 pada saat pencairan anggaran SPPD setiap pelaksanaan kegiatan.

Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat dalam SPJ perjalanan dinas sebesar 10 persen. Uang yang diterima masing-masing pelaksana kegiatan, tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas.

Pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 10 persen tersebut dilakukan setiap pencairan. Uang dikumpulkan dan disimpan Donna selaku Bendahara Pengeluaran di brankas bendahara, Kantor Bappeda Siak.

Donna mencatat dan menyerahkan kepada terdakwa Yan Prana secara bertahap sesuai dengan permintaannya. Akibat perbuatan terdakwa Yan Prana, negara dirugikan Rp2.895.349.844,37.

Tidak hanya perjalanan dinas, dalam kasus ini  juga terjadi penyimpangan dalam mengelola anggaran atas kegiatan pengadaan ATK pada Bappeda Siak Tahun Anggaran (TA) 2015 sampai dengan 2017 dan melakukan pengelolaan anggaran makan minum pada Bappeda Kabupaten Siak TA 2013-2017.

Atas kasus itu, JPU menjerat Yan Prana dengan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (f)  Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah  dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal  55 ayat (1) ke-1 KUHP.



Tags Korupsi