Imlek dan Peradaban Cina

Imlek dan Peradaban Cina

Oleh: Nugroho Noto Susanto

Dalam rangka memeriahkan tahun baru Imlek  2572 (Chinese New Year), saya hendak menuliskan edisi ringan-ringan saja sedikit tentang Cina. Sebagai penikmat film-film aksi dari Tiongkok, tertarik rasanya menelusuri tentang historisitas Cina. Pasti pembaca juga sering lihat film berlatar cerita kerajaan Tiongkok. Bahkan mungkin judul filmnya pun teman-teman-teman juga hapal.                                                                                                                                                           

Apalagi dari sudut ekonomi politik, banyak pengamat menyaksikan bahwa Cina telah berkembang menjadi negara super power baru, khususnya di Asia. Kebangkitan ekonomi Cina, disusul modernisasi militer Cina, membuat Cina makin disegani, atau bahkan ditakuti. Atau bahkan juga dianggap mengancam?


Menurut Kalender Cina tahun 2021 masehi sudah mencapai  2572 tahun pada kalender Cina. Artinya usia kalender cina lebih tua dari tahun masehi. Hal itu menunjukkan tua nya peradaban Cina. Tahun lahir Leluhur dan juga Filsuf ternama Cina, Confucius yang memiliki warisan besar bagi peradaban Cina, ditandai sebagai tahun dimulainya kalender Cina.

Secara sosiologis,  Imlek dirayakan dalam rangka menyambut Musim semi dimana orang Tionghoa dulu di tanah mereka baru saja selesai melewati musim kering. Musim semi sangat bermakna bagi orang Tionghoa yang basis utamanya dulu adalah petani, karena mereka akan memulai kehidupan baru dengan bercocok tanam. Agar proses bertani sukses, maka ada doa sapu jagat yang lazim diucapkan yakni Gong Xi Fa Cai yang artinya semoga Makmur dan kaya. Semangat itulah yang membuat saudara kita dari Tionghoa memiliki modal kultural yang kuat untuk meraih kemakmuran dan kekayaan.

Sebutan "Cina" diilhami dari kekuasaan dinasti Qin yang memimpin negeri Zhongguo. Bangsa Cina sendiri menyebut negaranya dengan istilah Zhongguo yang memiliki makna "negara tengah" atau "kerajaan tengah".

Penyebutan tersebut sejatinya tersurat suatu cita-cita atau mimpi besar bangsa Cina ingin menjadikan negaranya sebagai pusat kerajaan atau negara bangsa di dunia. Cita-cita tersebut kongruen dengan bukti sejarah atas peradaban Cina yang sudah sangat tua serta capaian pembangunan ekonomi politik saat ini. Mimpi besar Cina sebagai pusat peradaban dunia atau negara bangsa itu tercermin misalnya dari dokumen tua berupa surat dari kaisar Qian Long kepada Raja George III berkenaan dengan permintaan Inggris untuk mendapatkan hak istimewa perdagangan pada tahun 1793. Isi surat kaisar Qian tersebut sebagai berikut:
"Anda wahai raja, tinggal di luar batas-batas banyak samudra, namun demikian, terdorong oleh keinginan anda untuk ikut mendapatkan manfaat dari peradaban kami, anda telah mengirimkan satu misi yang mewakili anda.

Setelah menguasai dunia yang luas, saya hanya punya satu tujuan, yakni mempertahankan tatakelola yang sempurna dan memenuhi kewajiban negara. Kebajikan dinasti kami yang mulia telah menembus setiap negeri di bawah langit, dan raja-raja semua bangsa telah menawarkan upeti mereka yang besar melalui darat dan laut. Sebagaimana duta anda telah melihat sendiri, kami mempunyai segala hal. Saya tidak menghargai benda-benda aneh atau inovatif, dan tidak berguna bagi pabrik-pabrik di negara anda.

…Engkau, wahai Raja, perlu menghormati perasaan saya dan menunjukkan kesetiaan yang lebih besar di masa datang.
…Engkau, wahai Raja, dari kejauhan telah merindukan berkah dari peradaban kami…saya tidak melupakan keterpencilan pulau anda, yang terputus dari dunia oleh hamparan samudera, tidak pula saya mengabaikan ketidaktahuan anda tentang kegunaan kekaisaran langit kami…"  

Dari surat tersebut jelas sekali kaisar Qian memiliki sebuah mental sebagai raja tidak hanya untuk Cina, tetapi juga dunia. Keberanian dan kebesaran Cina ditunjukkan dalam surat ini. Bahkan raja inggris, raja Goerge III diminta untuk menunjukkan kesetiaannya pada kekaisaran Cina yang memandang kekaisaran sebagai perpanjangan tangan dari "kerajaan langit".

Dengan demikian, sejatinya kita tidak perlu terperangah dengan hadirnya Cina kontemporer sebagai kekuatan besar dan digdaya. Karena dilihat dari aspek sejarah, Cina telah memiliki postur itu jauh berabad-abad lampau lamanya. Bahkan jika kita menelusuri peradaban Cina, kita akan menemukan kebesaran bangsa Cina telah dimulai sejak lebih dari 2000 abad sebelum masehi.

Republik Rakyat Cina (RRC) terletak di benua Asia, khususnya di Asia timur. Cina memiliki tidak sedikit negara tetangga, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kazakhstan, Mongolia, dan Rusia; di sebelah timur di bagian daratan berbatasan langsung dengan Korea Utara, sementara yang berbatasan dengan laut adalah Korea selatan, Jepang, Taiwan, dan Philipina. Sementara di sebelah selatan Cina berbatasan dengan Vietnam, Laos, Burma, Bhutan, dan Nepal, sedangkan di sebelah barat berbatasan langsung dengan India, Pakistan, Afghanistan, dan Kyrgyztan. Cina memiliki satu zona waktu (CST- Cina Standard Time). RRC memiliki total wilayah seluas 9.596.961 KM dengan luas darat 9.569.901 dan luas laut 27.060 sehingga Cina menjadi negara terluas ketiga di dunia setelah Rusia dan Kanada.

Dalam perkembangan masyarakat Cina, tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban tua Cina menjadi modal sosial dan budaya yang sangat penting bagi kemajuan Cina saat ini. Modal sosial tersebut akan berpengaruh pada mental dan kepribadian orang-orang Cina. Sejarah peradaban yang besar akan melahirkan suatu generasi yang besar pula.

Di antara artefak sejarah yang menarik adalah pada 1600 tahun sebelum Masehi saja, Cina telah memiliki kebudayaan sistem tata tulisan.  Memang masih ada dua peradaban yang lebih tua terkait dengan lahirnya sistem tulisan itu yaitu peradaban Mesir Kuno (3000 SM) dan Peradaban Sumeria di Mesopotamia (4000 SM).  Namun peradaban Cina tetap memiliki kebesarannya.

Bukti keadaban yang dihasilkan dari peradaban Cina dapat berupa hasil kebudayaan fisik atau non fisik. Kebudayaan fisik di antaranya adalah peninggalan Tembok Besar Cina yang berdiri kokoh mengitari wilayah Cina. Belum lagi bukti istana-istana kerajaan dengan aset yang tak ternilai harganya serta sumbangan teknologi pembuatan kertas yang sangat bermanfaat bagi peradaban manusia.

Sementara dari kebudayaan non fisik, Cina memberikan warisan pemikiran dan filsafat ketimuran yang sangat kaya. Selain warisan ramuan obat-obatan yang hingga kini sangat tersohor, Cina juga dikenal melahirkan pemikir hebat seperti Lao Tse, Confusian, Kung Fu Tse, Sun Tzu, dan lain-lain.  

Perlu disampaikan juga di sini kisah mengagumkan perjalanan Laksamana Cheng Ho  yang beragama Islam ke berbagai penjuru dunia seperti Afrika, Samudra Hindia, laut merah, Afrika Timur dan Indonesia. Mungkin masih banyak lagi wilayah dunia lain yang telah dikunjungi Cheng Ho.

Cheng Ho hidup di zaman dinasti Ming (1368-1644). Dari data yang bisa diverifikasi dilihat dari segi waktu pelayaran Cheng Ho sesungguhnya telah terlebih dahulu melakukan dan menemukan banyak benua-benua lain ketimbang bahariawan dari barat seperti Christoforus Columbus, Vasco Da Gama, dan Ferdinan Magellan. Cheng Ho sendiri melakukan pelayaran pada tahun 1405, 87 tahun sebelum Columbus memulai pelayarannya, atau lebih awal 92 tahun dari Vasco da Gama, atau 114 tahun sebelum Ferdinand Magellan.

Mari kita lihat perbandingan pelayaran masa lampau antar Cheng Ho dan beberapa bahariawan dari dunia belahan barat. Laksmana Cheng Ho berlayar pada tahun 1405 M, jumlah kapal yang menyertai lebih dari 200, termasuk 62 kapal besar, kapasitas muatan kapal lebih dari 2500 ton, jumlah awak kapalnya 27.800 orang. Christophorus Columbus berlayar pada tahun 1492M, jumlah kapal 3 buah, kapasitas muatan kapal 100 ton, jumlah awak kapal 88 orang.

Sementara Vasco da Gama berlayar pada tahun 1497M, jumlah kapal 4 buah, kapasitas muatan kapal 120 ton, dan jumlah awak kapalnya 171 orang. Sedangkan Ferdinand Magellan berlayar pada tahun 1519 M, jumlah kapalnya 5, kapasitas muatan 130 ton, dan jumlah awak kapalnya 270 orang.

Besarnya jumlah awak kapal, juga jumlah kapal yang ikut dalam safari bahari Cheng Ho tersebut, tentu akan memakan biaya yang tidak sedikit. Kita dapat bayangkan betapa kekayaan kerajaan Cina kala itu begitu besar. Tidak sebanding dengan jumlah kapal dan awak kapal yang diangkut oleh pelayar barat kala itu. Belum lagi jika ditambah dengan biaya pembuatan kapal. Tentu kerajaan Cina telah memiliki pemikiran strategis tentang kepemimpinan global.

Cerita tentang pelayaran Cheng Ho tentu menjadi sebuah kebanggaan bagi bangsa Cina. Kisah jalur pelayaran Cina klasik inilah barangkali yang menghendaki pemimpin Cina modern kontomporer untuk kembali membuat jalur sutra (One Belt, One Road) dengan tujuan niaga itu. Jakarta masuk dalam lintasan "jalur sutera" baru itu.

Yang menarik adalah safari bahari Cheng Ho tersebut tidak menyisakan jejak kolonial atau imperial sebagaimana terjadi pada sejarah imperium barat seperti Inggris, Portugis, dan Spanyol. Berbeda dengan pasca pelayaran barat tersebut. Mereka meninggalkan jejak imperialisme. Cina justru dijajah asing.

Portugal menguasai pulau Macau, Inggris menguasai Hongkong. Bahkan yang mengejutkan adalah justru tetangga dekatnya Jepang melakukan exspansi militer ke negeri tirai bambu itu. Jepang memasuki wilayah Manchuria, dan mendirikan negara boneka bernama Manchukuo. Akibat penjajahan Jepang Ke Cina, ratusan ribu rakyat dan tentara Cina tewas, juga kerugian materi serta pengerukan sumber daya alam Cina yang tidak sedikit.

Cina berbasis kerajaan telah lama tutup buku. Dinasti Qing yang memimpin sejak 1644 harus berakhir pada tahun 1911. Di tanah air kita, tahun-tahun itu merupakan bangkitnya Indonesia modern dengan semangat nasionalisme dengan lahirnya Jamiat Al Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain.

Cina hari ini sama sekali berbeda dengan Cina di zaman kerajaan. Cina baru (Republik Cina/Tiongkok) berdiri pada (1911) dipimpin Sun Yat Sen dan didukung beberapa tokoh kuat lain seperti Chiang Kai Shek, Mao Tse Tung, dan lain-lain. Chiang Kai Shek melanjutkan kepempimpinan Sun Yat Sen. Kelak atas kepimpinan Chiang Kai Shek terjadi gejolak di elit dan akar rumput. Perbedaan pandangan itu mengakibatkan perang saudara, yang pada akhirnya pada 1949 M lahirlah Republik Rakyat Cina (RRC) dipimpin ketua Mao Tse Tung.

Cina saat ini adalah kelanjutan dari negara yang dideklarasikan oleh Comerad Mao Tse Tung dengan tentara merahnya (Red Army). Chiang Kai Shek dan pengikutnya tersisih dan bergerak ke Taiwan saat ini. RRC secara politik berideologi komunis, dan Taiwan dengan haluan demokrasi.

Namun secara ekonomi, keduanya sama-sama kapitalis. Mungkin terinspirasi kata-kata Deng Xiao Ping, "tak peduli kucing berwarna apa, yang penting bisa menangkap tikus". Tak peduli ideologi ekonominya apa, yang penting dapat menggapai kemakmuran. Dalam konteks itu, ucapan tahun baru Imlek selalu relevan. Gong Xi Fa Cai (semoga memperoleh kemakmuran dan kekayaan).

Sumber Referensi:
1. Richard W.Mansbach & Kristen L.Rafferty, Pengantar Politik Global Introduction to Global Politics, Bandung, Nusamedia: 2012
2. H.G. Creel, Alam Pikiran Cina Sejak Confucius sampai Mao Zedong, Yogyakarta, Tiara Wacana:1990
3. Prof. Kong Yuanzhi, Cheng Ho Muslim Tionghoa, misteri perjalanan Muhibah di Nusantara, Yayasan penerbit Buku Obor:2011
4. Rana Mittler, Cina Modern Menguasai Dunia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011