Mencoba Interupsi pada Era Disrupsi

Mencoba Interupsi pada Era Disrupsi

Oleh: DR Irvandi Gustari
(Akademisi & Praktisi Perbankan)

RIAUMANDIRI.CO - Kisah Kodak sebagai sebutan kamera pada era 70-an masih membekas di pikiran kita. Ya untuk kaum generasi kolonial yang sudah remaja di era-70 an paham sekali bahwa bila ingin beli kamera foto ataupun kamera video, pasti orang menyebutnya ingin beli Kodak. Bahkan di era 70-an tersebut, bila ada orang ingin difoto, maka orang itu bilang: tolong kodak satu kali ya. Begitulah hebatnya Kodak saat itu, dan rasanya tidak ada yang bisa mengalahkannya.

Namun apa yang terjadi? Kodak mengingkari era digital. Sebenarnya di tahun 1975, sudah ada hasil temuan dari tim riset dan pengembang Kodak secara internal untuk meluncurkan kamera digital pertama di dunia, namun penemuan itu dikesampingkan oleh pimpinan puncak Kodak. Bahkan ketika Sony pada tahun 1981 meluncurkan kamera digital pertama di dunia, itu pun masih dipandang sebelah mata oleh Kodak, dan alhasil saat ini Kodak sulit sekali untuk bangkit lagi.


Itulah sekedar ilustrasi ketika era disrupsi dicobain untuk diinterupsi. Ketika zaman pun berubah dan era disrupsi makin ganas. Semua perubahan terjadi begitu secepat kilat dan nalar pun kadang kala tidak bisa mengikuti pergerakannya, dan banyak pula yang beranggapan bahwa era disrupsi adalah era pembataian bagi yang tidak siap.

Bahkan di saat semua bisnis mulai dikuasai oleh pola online seolah-olah akan mematikan pola  offline. Tapi yang berfikir bahwa pola pemasaran offline akan dihajar oleh pola online, tentu hal itu adalah cara berfikir dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok frustrasi di era disrupsi ini.

Di tahun 2018 lalu, banyak pihak di antara kita yang menuding pola online lah yang menjadikan menurunnya jumlah omset para pebisnis retail. Bahkan ketika toko retail terbesar di Indonesia yaitu Matahari Galeria mulai menutup sejumlah gerainya di berbagai pelosok di Indonesia, kita pun mulai latah berpendapat bahwa telah terjadi peralihan pola perilaku dari pelanggan atau masyarakat yang cenderung lebih suka belanjan online. Benarkah demikian? Jawabannya tentu tidak sesederhana itu tentunya ya.

Tidak ada maksud dari penulis untuk turut serta mempromosikan bisnis Alibaba. Namun ilustrasi ini memperlihatkan bahwa sudah ada bukti konkret bahwa tidak sepatutnya lagi kita membenturkan pola offline dan online. Sebab, ternyata kedua sistem ini saling memiliki kekuatan yang mengikat satu sama lainnya. Namun tidak serta merta pula bisa disatukan. Lalu, apa syaratnya agar offline dan online bisa sukses bersinergi?

Kisah sukses di Alibaba menyatukan offline dan online memang patut diberi acungan jempol dan sangat cerdas sekali. Di mana pihak Alibaba melihat adanya peluang yang sangat  besar dengan mengkombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur dan kesemuanya itu diwujudkan Alibaba melalui konsep swalayan Hema.

Di Indonesia memang belum ada Toko Hema milik jaringan Alibaba. Namun di Singapura bisa kita lihat konsep nyata dari Hema itu. Alibaba sudah memperkenalkan konsep tersebut pada 2015 Hema merupakan  konsep supermarket digital dengan menawarkan layanan 3 in 1 berbasis teknologi: pengantaran pesanan online, pembelian langsung di tempat, dan konsumsi produk secara langsung
Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil. Tampak luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Suasana akan terasa berbeda ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana konsep offline dan online digabungkan. Yang menarik juga di swalayan Hema ada konsep magic mirror, yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mencoba untuk oles lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung.

Kesemuanya itu mencerminkan bahwa Disrupsi memang tanpa bisa diinterupsi. Memang Disrupsi menjadikan “no discuss” dan “no debatable”, dan perlu kecepatan eksekusi. ***