Stafsus: Presiden Jokowi Tak Dapat Intervensi Persidangan Kasus Novel Baswedan

Stafsus: Presiden Jokowi Tak Dapat Intervensi Persidangan Kasus Novel Baswedan

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono menegaskan Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen tetap dalam Nawacita 2014 dan 2019. Dia menjelaskan Jokowi memiliki komitmen yang kuat pada hukum di Indonesia.

"Iya. Komitmen Presiden tetap sama (dalam nawa cita) dan terhadap penegakan hukum di Indonesia tidak berubah. Presiden tetap memiliki komitmen yang kuat dalam hal ini dan beliau percaya pada independensi lembaga penegakan hukum yang dimiliki negara ini," kata Dini, Kamis (18/6/2020).

Komitmen tersebut, kata Dini, ditunjukkan saat tahapan penyidikan kasus Novel Baswedan. Saat itu, Jokowi meminta agar Polri bisa melakukan proses penyidikan dilakukan secara serius dan dituntaskan. Tetapi dalam tahap persidangan, Dini menjelaskan Jokowi tidak bisa melakukan intervensi.


"Dalam tahap persidangan yang sedang berjalan pada saat ini, harus dipahami bahwa Presiden sebagai eksekutif tidak dapat melakukan intervensi atas kewenangan yudikatif," jelas Dini.

Dia menjelaskan Jokowi menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Jokowi pun kata dia berharap Majelis Hakim bisa memutus perkara dengan seadil-adilnya.

"Presiden memiliki harapan dan keyakinan bahwa Majelis Hakim akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya," kata Dini.

Dia juga mengatakan Jokowi yakin bahwa majelis hakim akan perhatikan dengan cermat pasal-pasal pidana yang didakwakan.

"Keakuratan serta kelengkapan bukti-bukti selama proses pemeriksaan, sehingga rasa keadilan dapat terpenuhi," jelas Dini.

Sebelumnya diketahui Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan membenahi proses penanganan perkara yang menimpa Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.

Menurutnya, Presiden sebagai fungsi kepala negara seharusnya turun tangan menyelesaikan carut marut kejanggalan terhadap proses perkara hukum yang menjadi atasan dari penegak hukum.

Jadi, Kurnia menilai jika argumen pemerintah menyebut presiden tak bisa mengintervensi terhadap kejanggalan pada kasus Novel ini adalah keliru. Dia menyebutkan tiga alasan yang menilai argumen bahwa Jokowi tak bisa turun tangan keliru.

Pertama, Dia melihat kalau Jokowi resisten atau menahan masukan masyarakat terkait dengan pembentukan tim independen dalam pengusutan kasus Novel.

"Kita sedari awal sudah meneriakkan memang lebih baik penyelidikan dalam kasus ini dilakukan dengan membentuk tim pencari fakta yang diisi oleh kalangan independen. Entah itu akademisi, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya. Agar apa, agar penyelidikan ini lebih independen dan langsung di bawah koordinasi dari presiden," ujarnya saat diskusi virtual, Rabu (17/6).

Bahkan, dia membandingkan pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat menjabat Presiden. SBY dinilai cepat tanggap membentuk tim pencari fakta untuk mengusut pembunuhan aktivis HAM Munir.

"Terlepas dari temuannya signifikan atau tidak, tapi kemauan dari pemimpin republik itu ada. Tapi Presiden Jokowi rasanya selalu menolak usulan masyarakat," kata dia.

Selanjutnya kedua, dia menilai kalau Jokowi ingkar janji pada keberpihakan isu pemberantasan korupsi. Padahal dalam Nawacita 2014 dan 2019, ketika jadi presiden akan menegaskan pemberantasan korupsi.

"Bagaimana mungkin berpihak pada isu pemberantasan korupsi jika pegawai KPK yang disiram air keras sengaja penanganan perkaranya berlarut-larut," ungkapnya.