LeCI: Pasal Penghinaan Pejabat Selalu Berusaha Dihidupkan Penguasa

LeCI: Pasal Penghinaan Pejabat Selalu Berusaha Dihidupkan Penguasa

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Direktur Legal Culture Institute yang juga dosen Universitas Islam Riau (UIR), M Rizqi Azmi mengungkapkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden telah dihapuskan oleh MK sebab berpotensi  menghalangi kebebasan berpikir dan berpendapat.

"Harus dipahami bahwa terkait lese majeste dan haatzai artikelen (penghinaan pimpinan negara dan pasal kebencian) telah diputuskan Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang hapusnya pasal 134, 136bis dan 137 KUHP dan putusan Nomor 6/PUU-V/2007 tentang Pasal 154 dan 155 KUHP yang akrab disebut hatzaai artikelen itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP karena menghalang-halangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan sikap serta pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28 E Ayat (2) dan (3)," ungkap Azmi kepada Riaumandiri.id, Rabu (8/4/2020).

Azmi menilai, pasal penghinaan yang selalu berusaha dihidupkan ini akan mencemari proses demokrasi di Indonesia. Sebab menurutnya, penguasa seakan-akan paranoid dengan kritikan rakyat.


"Pasal-pasal yang telah dihapuskan MK tersebut selalu coba dihidupkan oleh penguasa baik dalam regeling (peraturan perundang-undangan seperti RKUHP tentang penyerangan martabat presiden dan wakil presiden) maupun beschiking seperti surat telegram Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020) yang dikombinasikan dengan pasal 27 UU ITE tentang pendistribusian konten terkait pencemaran nama baik. Hal ini yang membuat proses demokrasi dan kepercayaan terhadap kedaulatan rakyat seakan-akan pudar dan penguasa seakan-akan paranoid," jelas Azmi.

Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tersebut dikeluarkan dalam rangka penanganan masa pencegahan pandemi Covid-19 oleh Reskrim sebagai pelaksana dan fungsinya terkait situasi serta opini di ruang siber dan pelaksanaan hukum tindak pidana siber.

Dilansir dari Kompas.com, Surat Telegram Kapolri tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Argo Yuwono.

"Bentuk pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi dalam perkembangan situasi serta opini di ruang siber: penghinaan kepada penguasa/Presiden dan pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP," tulis surat telegram tersebut.

Azmi menjelaskan, "Pasal 207 KUHP yang dipakai dalam surat telegram tersebut tidak serta merta menjadi delik umum yang bisa ditindak langsung oleh penegak hukum. Namun perlu adanya aduan dari penguasa dan pejabat pemerintah yang dituju."

"Dalam masa darurat pandemi semua orang pasti banyak berkeluh kesah dan mengkritik lewat media. Oleh karena itu kami menyarankan kepada pemerintah, momen ini harus dipakai untuk konsolidasi nasional bukan untuk mengintimidasi pendapat-pendapat yang seharusnya menjadi pertimbangan dan vitamin pemerintah dalam mengambil kebijakan tepat dalam mengahalau menyebarnya pandemi ini," ujarnya.

"Dalam teori utilitarian, pemerintah harus memberikan kemanfaatan yang lebih dalam bentuk kebijakan hukum yang dikeluarkan di saat force majeur. Apalagi dengan memakai adagium hukum salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat hukum tertinggi), maka pemerintah harus mengedepankan kebijakan yang pro penyelamatan.  Bukan kebijakan paranoid tentang pertentangan atau kritik dari rakyatnya. Semua harus urun rembug dalam menyelesaikan persoalan Covid-19," tambahnya.

Menurut Azmi, tugas pemerintah saat ini menyejukkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Bukan malah sebaliknya.

"Hal yang paling penting saat ini pemerintah harus memperhatikan kehidupan sosial yang hancur lebur dikarenakan arus informasi pandemi. Banyak hubungan silaturahmi dan tuntunan norma menjadi hilang. Semua orang saling curiga serta banyak tindakan berlebihan di grass root terhadap orang yang dicurigai sebagai suspect. Di sinilah pemerintah harus hadir tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tapi juga mengeluarkan ketenangan dan kesejukan bagi rakyat yang panik di tengah situasi yang tidak menentu," tutupnya.


Reporter: M. Ihsan Yurin



Tags Hukum