Kenapa Rakyat Tidak Taat kepada Hukum?

Kenapa Rakyat Tidak Taat kepada Hukum?

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA*

RIAUMANDIRI.ID - Ketika berkujung ke Jepang akhir Juni tahun 2019 yang lalu, saya mendapat jawaban penting tentang arti pemimpin untuk sebuah bangsa. Jawaban yang sebenarnya adalah pelajaran sangat berharga itu saya dapati setelah berkeliling di dua kota: Tokyo dan Toyada, sebuah kota kecil yang terletak sebelah Utara Jepang, satu jam perjalan udara dari Tokyo.

Setelah mendarat kira-kira jam tujuh pagi waktu setempat di Bandara Narita, Tokyo, saya dan kawan dijemput oleh Prof. Arihara dari Kitasato University. Mungkin karena itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di negara matahari terbit tersebut, dan tentunya belum pernah merasakan budaya orang Jepang, termasuk dalam menghormati tamu, saya terkagum dengan Profesor Arihara yang menunggu kedatangan kami. 


Dia menyambut kamidengan senyum hangat sambil membungkukkan badan. Saya bertambah respek lagi ketika tahu bahwa dia tidak tinggal di Tokyo, tapi di Toyada. Ia sengaja terbang selama satu Jam ke Tokyo hanya untuk menyambut kedatangan kami. “Ya Allah,” bisik saya dalam hati. “Begini cara mereka menghormati tamu ? Bersedia terbang selama satu jam hanya untuk menjemput tamu. Kok beda jauh dari di negeri saya ?” Bisik dan tanya saya lagi di dalam hati.

Setelah menghantar kami ke longe di dalam terminal bandara, Prof Arihara pamit sebentar untuk satu urusan, dan berjanji untuk kembali dalam satu jam, setelah terlebih dahulu membayar makanan yang samasekali belum kami pesan. Kesan kagum saya kembali muncul.

Persis satu jam, Prof. Arihara datang dan segera mengajak kami pindah ke terminal keberangkatan ke Toyada. Semua urusan keberangkatan kami ia urus sendiri, sehingga kami hanya tinggal naik pesawat. Saya lihat pesawat terisi penuh. Dan, pada umumnya, laki-laki yang ada di dalam pesawat, terutama orang Jepang, pakai jas. Rapi sekali. Semua diam. Tidak ada yang bicara.

Persis satu jam terbang, kami sampai di Toyada. Sebuah kota kecil, asri, rapi, dan tenang. Udara pun nyaman, tidak panas dan tidak juga dingin. Saya lihat Toyada dikelilingi gunung, bukit. Rumah-rumah penduduk tersusun rapi. Di sepanjang perjalanan ke hotel, saya melihat sawah dan ladang pertanian yang diselang-selingi perumahan penduduk. Saya jadi ingat Bukitinnggi, karena sangat mirip dengan itu.

Saya tidak ingat, jam berapa kami sampai di hotel. Hotelnya tidak besar, tapi rapi dan bersih. Pelayan hotel sangat ramah dan penuh hormat kepada kami. Prof Arihara mengantar kami sampai ke kamar. Setelah itu pamit dan berkata bahwa akan menjemput kami untuk makan siang. Singkat cerita, hari itu kami hanya istirahat, setelah makan malam yang juga dijemput oleh Prof Arihara dengan stafnya.

Ketika jalan kaki sambil olahraga pagi di hari besoknya, saya merasakan sesuatu yang benar-benar lain dari apa yang dirasakan di Indonesia. Kota Toyada begitu tenang. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada mobil satu-satu, sepeda anak-anak yang pergi sekolah, dan sama sekali tidak ada sepeda motor. Saya jadi bertanya dalam hati, “kok tidak ada satupun sepeda motor ya ?. Bukankah Jepang produsen sepedar motor terbesar di dunia ?”

Saya terus berjalan dan terus mengamati pemandangan yang sangat menyejukkan mata dan hati. Anak-anak pergi sekolah dengan mengendarai sepeda. Mereka sangat tenang dan tertib. Mereka berhenti dengan patuhnya ketika lapu merah menyala di setiap persimpangan jalan. Tidak satupun yang melanggar lampu merah itu. Bukan hanya pengendara sepeda atau mobil, pejalan kakipun ikut berhenti menunggu lampu hijau menyala. 

Saya merasa joging pagi itu betul-betul sangat menyenangkan, bukan hanya karena udara yang bersih dan sejuk, tapi juga karena sejuknya mata dan hati menyaksikan ketertiban kota dan penduduknya yang taat aturan, padahal tidak ada satu polisipun yang ada di sekitar itu.

Selesai olahraga dan sarapan pagi di hotel, kami dijemput oleh staf Kitasato University untuk pertemuan persetujuan kerjasama (MOU) antara UIN SUSKA dengan Kitasato University. Kami disambut oleh Wakil Rektor bersama beberapa pimpinan lain dengan sangat ramah. Acarapun berlangsung dalam suasana kekeluargaan. Tidak ada kesan formal. Semua berjalan seperti layaknya antara kawan sendiri. Selesai acara, kami diundang makan siang bersama di sebuah restoran yang cukup besar dengan masakan khas Jepang Wakil berkata kepada kami, “semua halal untuk orang Islam.”

Selesai makan siang, kami dibabawa Prof Arihara berkeliling ke beberapa tempat wisata di Toyada. Sepanjang jalan menuju tempat wisata begitu nyaman. Tidak ada macet. Tidak ada bunyi klakson mobil. Saya lihat air yang mengalir kencang di sungai-sungai kecil pinggir jalan begitu beningnya. Tidak ubahnya seperti air aqua dalam kemasan. Kami dibawa jalan ke hutan lindung dan sebuah danau yang tidak begitu besar, tetapi sangat bersih. Tidak ada satu sampahpun di dalam danau itu. Kami kembali ke hotel menjelang sore.

Besoknya, seperti biasa, saya jalan pagi lagi. Joging lagi. Suasana pagi kemaren saya rasakan lagi pagi itu. Nyaman, tenang dan tertib. Jalan pagi kali ini saya alihkan rotenya dari pagi kemarin. Masuk gang ke luar gang. Menjelang kembali ke hotel, saya singgah di sebuah gang kecil. Di situlah saya melihat sebuah sepeda motor sedang parkir di depan ruko. Sepertinya si tuan rumah baru pulang dari belanja. Ada berapa ikat sayur di atasnya. Setelah itu, saya tidak pernah melihat satu sepeda motor pun lagi sampai kami ke bandara untuk terbang menuju Tokyo. Prof. Arihara juga yang mengantar kami, sampai naik pesawat.

Sama seperti dua hari yang lalu, penerbangan dari Toyata ke Tokyo ditempuh selama satu jam. Sampai di Tokyo, kami langsung menuju Nihon University , universitas terbesar di Jepang. Sepanjang perjalanan menunju Nihon, saya melihat betapa tertib dan nyamannya kota ini. Semua serba teratur. Semua serba bersih. Semua serba nyaman. Pegawai bus yang kami tumpangi semua ramah dan penuh hormat melayani semua penumpang, mulai dari akan naik kendaraan, sampai di atas kendaraan. 

Budaya melayani tamu dengan senyum dan membungkukkan badan sangat kentara. Semuanya persis sama dengan di Toyada. Saya sampai berkesimpulan, inilah budaya Jepang. Di Kota kecil atau di Kota nesar tetap sama saja. Budaya peduli dan empati begitu nampak. Merekja sangat ringan tangan memberi bantuan kepada orang yang di dekat mereka. Secara iseng, saya sempat bertanya di dalam hati, “orang sebaik ini kok bisa menjajah bangsa dan negeri saya ya ? ”

Bermacam pertanyaan menggelayut di fikiran saya dalam perjalanan menuju Nihon University itu. Tanpa terasa kami pun sampai di tempat dan disambut oleh seorang petugas yang memang sudah menunggu kedatangan kami. Rupanya Nihon University terletak di tengah kota. Namun suasananya tetap sangat nyaman dan rapi.

Setelah berbincang sebentar dengan petugas, kami di bawa naik menuju lantai tiga. Di situ kami disambut oleh seorang profesor (saya lupa namanya) di Fakultas Ilm Budaya. Sambutan di fakultas ini tetap sama saja ramah dan baiknya dengan apa yang kami terima di Kitasato University di Toyada dua hari yang lalu.

Karena waktu zuhur telah masuk, kami minta izin kepada tuan rumah untuk melaksanakan shalat. Dia segera memanggil staf dan minta agar disediakan tempat shalat buat kami. Sebelum shalat, mahasiswa meminta agar diizinkan menengok kami shalat. Kami pun mengizinkan. “Mumpung ada kesempatan berdakwah,” fikir saya dalam hati. Mereka senang sekali setelah kami beri izin itu.

Selesai shalat zuhur yang dijamak dengan ‘ashar, mahasiswa berkumpul di ruangan tempat kami shalat tadi. Diskusi berlangsung secara santai. Meraka bertanya kepada kami tentang berbagai hal: tentang Islam; tentang Indonesia; dan berbagai hal lainnya. Maklum saja, mereka anak-anak muda yang serba ingon gtahu. Kadang-kadang mereka juga melontarkan bermacam kritikan tentang isu-isu yang berkembang tentang Islam, dan juga tentang Indonesia sendiri.

Halaman ini tidak cukup luas untuk menceritakan semua dialog kami dengan mahasiswa Jurusan Ilmu Budaya Universitas Nihon. Yang ingin saya sampaikan adalah, setelah mereka puas bertanya dan melontarkan keritikan-keritikannya, saya mulai bertanya tentang negeri Jepang, terutama tentang kebersihan dan ketertibannya. Saya bertanya, “kenapa masyarakat Jepang begitu tertib ?” Mereka menjawab, “karena kami punya aturan.” Saya bertanya lagi, “kenapa kalian patuh kepada aturan ? “ Mereka menjawab, “karena dibuat oleh pemerintah kami.” Saya terus bartanya, “jadi, kalian percaya dengan pemerintah kalian ?” Mereka jawab,”ya.” Saya ajukan satu pertanyaan susulan. “kenapa kalian percaya dengan pemerintah kalian ? “ Secara spontan mereka menjawa, “ karena layak dipercaya.”

Jawaban terakhir yang dikemukakan oleh mahasiswa di atas itu membuat saya terdiam. Dalam hati saya berkata, “rupanya, pemimpinlah yang menjadi kunci utama ketenangan dan ketertiban suatu negeri. Pemimpinlah yang menentukan tegak atau tidak tegaknya hukum di negeri itu. Kepercayaan kepada pemimpin adalah kunci yang paling menentukan baik atau buruk suata negeri.” 

Jawaban mahasiswa itu terasa bagi saya sebagai sindirian atau memang sengaja untuk menyindir kami. Jawaban itu juga akhirnya membuat saya berkesimpulan, “baik tidaknya suatu negeri tergantung kepada seberapa percaya penduduk di negeri itu kepada pemimpinnya. ***


*Penulis: Guru Besar UIN Suska Riau dan Ketua ICMI Orwil Riau