Gerakan Reformasi, Pemilu dan Pilkada

Gerakan Reformasi, Pemilu dan Pilkada

Oleh: Supriyanto

(Komisioner KPU Rokan Hilir)

 


Memori gerakan mahasiswa 1998 mengingatkan kita akan perjuangan mahasiswa Indonesia menjatuhkan rezin Orde Baru dengan berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang berkuasa selama 32 tahun, sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966 hingga 1998. Tepatnya 20 tahun yang lalu, pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998, ribuan masa menduduki gedung DPR/MPR meneriakkan yel-yel dan orasi yang meminta Soeharto turun. Pada hari yang sama, pagi sekitar pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka, Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatannya sebagai presiden dan Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) wakil presiden mengantikannya sebagai presiden.

 

Gerakan mahasiswa yang meruntuhkan rezim Orde Baru ini merupakan gerakan mahasiwa dengan agenda reformasi yang terdiri dari enam tuntutan reformasi, yaitu pertama, adili Soeharto dan kroni-kroninya; kedua, laksanakan amandemen UUD 1945; ketiga, hapuskan Dwi Fungsi ABRI; keempat, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya; kelima, tegakkan supremasi hukum; dan keenam, ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Perjuangan gerakan mahasiswa dengan agenda tuntutan reformasi ini dinamakan gerakan reformasi. Sehingga, sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 itu sampai sekarang, setiap tanggal 21 Mei selalu diperingati sebagai hari reformasi.

 

Gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiwa Indonesia merupakan sejarah gerakan mahasiswa Indonesia yang menorehkan tinta emas, mengantarkan negeri ini memasuki era reformasi. Reformasi sesungguhnya adalah gerakan sistematis untuk menata sistem politik yang demokratis, sistem ekonomi yang adil dan merata, sistem hukum yang tegak, lurus dan mengayomi dan sistem kebudayaan yang bebas, dewasa dan matang (Anas Urbanigrum, 2004).

 

Dalam Konteks sistem politik yang demokratis, salah satu perubahan pada era reformasi terjadi pada penataan sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang lebih demokratis. Pemilu dan Pilkada setelah masuknya era reformasi didorong kearah pelaksanaan sistem politik yang lebih demokrasi, yang meletakkan rakyat sebagai penentu siapa yang dipilihnya sebagai wakil atau pemimpinnya yang duduk di parlemen maupun di pemerintahan baik di pemerintah pusat ataupun daerah. Inilah hakikat demokrasi yang sesungguhnya, karena rakyat pemegang kedauatan, dan tanpa mandat dari rakyat tidak ada siapa pun yang berhak memeritah rakyat.

 

Pemilu Sebelum Reformasi

 

Sebenarnya apa perubahan dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada pasca-reformasi? Untuk mengetahui perubahan apa dalam penataan penyelenggaraan Pemilu pasca-reformasi, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana penyelenggaraan pemilu sebelum masuknya era reformasi. Dalam catatan sejarah penyelenggaraan Pemilu, sejak kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali Pemilu, yaitu Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Dari sejarah Pemilu itu, dapat kita bagi dalam tiga masa berdasarkan rezim pemerintahan yang berkuasa: Pertama, Pemilu di masa Presiden Soekarno; Kedua, Pemilu di masa Presiden Soeharto, dan Ketiga, Pemilu era reformasi.

 

Masa Presiden Soekarno, hanya melaksanakan satu Pemilu yaitu Pemilu 1955 yang menggunakan sistem proporsional dan penyelenggaraannya dilakukan dua kali: pertama, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 29 September 1955, diikuti oleh 36 Partai Politik, 34 Ormas dan 48 Perorangan. Kedua, untuk memilih anggota Dewan Konstituante pada 25 Desember 1955, diikuti oleh 39 Partai Politik, 23 Ormas dan 29 Perorangan. Pemenag dalam Pemilu 1955 adalah PNI, Masyumi, dan NU. Pemilu pertama ini diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang berkedudukan di pusat, terdiri dari 5-9 orang yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

 

Pasca peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan sebutan pemberontakan Gerakan Tiga Puluh September (G30S) PKI, Presiden Soekarno diganti oleh Presiden Soeharto yang dikenal dengan pemerintahan Orde Baru, dengan penerapan Demokrasi Pancasila. Pada pemerintahan Orde Baru, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR dilaksanakan berturut-turut lima tahun sekali, dari Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan sampai 1997. Pemilu 1971 dilaksanakan pada 5 Juli 1971, diikuti oleh 10 Partai Politik dan Pemilu ini dimenangkan oleh Golkar, NU, dan PNI. Pada Pemilu 1977 sampai Pemilu 1997, diikuti oleh tiga kontestan yaitu PPP, PDI dan Golkar. Pemilu di era Orde Baru ini diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang langsung diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Ex-Officio). Setiap Pemilu selama pemerintahan Soeharto itu Golkar selalu menjadi pemenangnya.

 

Pemilu dimasa Orde Baru menggunakan sistem Proporsional dengan stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas sudah kebagian suara cukup untuk kuota 1 kursi. Daerah pemilihan (Dapil) DPR adalah Wilayah Provinsi, Dapil DPRD I adalah satu provinsi dan Dapil DPRD II adalah Wilayah Dati II (Budiardjo,2014).

 

Selama pemerintahan Orde Baru, memang dipakai slogan Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) di dalam Pemilu, tetapi pelaksanaannya tidak demikian, selama enam kali pelaksanaannya, pemilu dilaksanakan tidak secara demokrasi (Kacung Marijan, 2015). Pemilu gaya Orde Baru itu tidak demokrasi, sedidaknya ada beberapa alasan: Pertama, pemilihan wakil rakyat yang duduk diparlemen dihegemoni oleh penguasa dengan gaya otoriternya dan pemilihan presiden sebagai penguasa orde baru, dilakukan dengan sistem pemilihan di parlemen dengan suara bulan memilih Soeharto sebagai presiden; Kedua, konstentas poltik yaitu partai politik dibatasi dan pembatasan jumlah partai politik bukan sesuatau yang terjadi secara alami melainkan dibatasi oleh pemerintah dengan 3 partai yaitu Golkar, PPP dan PDI; Ketiga, mekanisme dan proses Pemilu yang tidak kompetitif telah berhasil membuat partai politik yang hegemonik, dimana pemilihan wakil rakyat hegemoni partai penguasa; Keempat, adanya wakil rakyat yang langsung duduk di parlemen tanpa mengikuti proses pemilihan pada pemilu yaitu dari utusan daerah dan golongan; Kelima, penyelenggara Pemilu dianggap tidak idependen karena diisi dari unsur pemerintah yang otoriter.

 

Pemilu di Era Reformasi

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan oleh Gerakan Mahasiswa pada 21 Mei 1998, jabatan presiden diganti oleh wakil Presiden BJ Habibie. Masuklah babak baru demokarasi Indonesia yang disebut oleh Budiardjo (2014) sebagai era reformasi. Diawal masa pemerintahan Presiden BJ Habibie sudah mempersiapakan pelaksanaan Pemilu, sehingga hasil Pemilu 1997 segera diganti dan berdasarkan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan Pemilu di percepat dan dilaksanakan pada 7 Juni 1999 atau dalam masa 13 bulan kekuasaan BJ Habibie. Meskipun disiapkan dalam waktu singkat menurut Ni’matul Huda dan Imam Nasef (2017) Pemilu 1999 ini terlaksana dengan relative bebas, jujur dan adil khususnya jika dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu pada rezim Orde Baru.

 

Pemilu 1999 ini untuk memilih anggota DPR menggunakan sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup, yang diikuti 48 Partai Politik dan dimenangkan oleh PDI Perjuangan, Golkar dan PPP. Pemilu 1999 diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya terdiri dari 5 orang wakil pemerintahan dan 48 orang wakil dari masing-masaing Partai Politik. Namun pada pemilu ini pemilihan presiden masih dilakukan di parlemen dan yang terpilih sebagai presiden pada saat itu adalah Presiden Abdurrahman Wahid atau lebih di kenal dengan sapaan Gus Dur, wakil presidenya Megawati Soekarno Putri.

 

Pemilu 1999 ini dianggap masih belum demokratis karena masih adanya wakil rakyat yang langsung duduk di parlemen tanpa mengikuti proses pemilihan pada Pemilu yaitu dari utusan ABRI. Hal ini ditegaskan dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD Pasal 11 ditegaskan: (1) Pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan; (2) DPR terdiri atas: a) anggota partai politik hasil Pemilihan Umum, dan b) anggota ABRI yang diangkat; (3) Jumlah anggota DPR adalah 500 orang dengan rincian: a) anggota partai politik hasil Pemilihan Umum sebanyak 462 orang, dan b) anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang. Dengan adanya anggota ABRI yang langsung duduk di parlemen tanpa mengikuti proses pemilihan pada pemilu, Ini jelas bertentangan dengan amanat reformasi yang salah satunnya adalah menuntut dihapusnya Dwi Fungsi ABRI.

 

Setelah Pemilu 1999, mulailah diselenggarakan Pemilu langsung lima tahunan sejak Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2014 sampai sekarang. Pelaksanaan Pemilu di era reformasi ini mengalami perubahan ketika terjadi perubahan UUD 1945 yang merupakan amanat dari salah satu tuntutan reformasi yaitu menuntut dilakukannya amandemen UUD 1945. Setelah diadakan perubahan UUD 1945 oleh MPR pada Sidang Tahunan 2001, masalah Pemilu mulai diataur secara tegas dalam UUD 1945 Bab VIIB tentang Pemilihan Umum. Pasal 22E berbunyi, sebagai berikut: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

 

Di era Reformasi, sejak Pemilu 2004, selain untuk memilih para anggota DPR dan DPRD, Pemilu juga dipakai untuk memilih pejabat-pejabat politik lain, yaitu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Periden dan Wakil Presiden. Untuk memilih para anggota DPD, pemilihannya dilakukan secara bersama dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD. Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara terpisah yaitu setelah pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pemilu 2019 yang akan datang, barulah Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilakukan secara serentak pada hari yang sama yaitu pada hari Rabu tanggal 17 April 2019.

 

Apabila dilihat dari rumpunnya, sistem Pemilu di Indonesia belum pernah mengalami perubahan. Sejak Pemilu pertama tahun 1955 sampai sekarang Indonesia tetap menggunakan sistem proporsional. Hanya saja, di dalam konteks pelaksanaan pemilu dan variannya, terdapat perubahan-perubahan. Sistem Pemilu proporsional mengalami modifikasi di era reformasi dari sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup ke sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Terbuka. Pada pemilihan anggota DPR dan DPRD sistem pemberian suara mengalami perubahan, dari hanya memilih partai ke memilih partai dan calon yang ada di dalam daftar partai (dari sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup ke sistem Proporsional dengan Stelsel Daftar Terbuka). Alokasi kursi ke partai yang memperoleh kursi juga mengalami perubahan, dari nomor urut ke caleg (calon legislatif) yang suara terbanyak. Perubahan ini memberikan wewenang penuh kepada rakyat untuk menentukan siapa caleg yang dinginkannya.

 

Pada pemilihan DPD, pencalonannya tidak didasari pada partai politik, melainkan perorangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasikan anggota MPR dari utusan daerah dan golongan yang sudah dihapuskan karena pemilihannya dianggab tidak demokratis. Sistem pemilihan anggota DPD ini menggunakan sistem distrik tetapi dengan wakil banyak (4 kusi untuk setiap daerah pemilihan). Basis daerah pemiilihannya adalah Provinsi, karena DPD mewakili daerah provinsi. Dan yang duduk sebagai anggota DPD adalah empat orang calon DPD yang memperorel suara terbanyak di setiap Provinsi.

 

Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden terdapat perubahan di dalam mekanisme pemilihannya. Kalau sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, sejak Pemilu 2004 sampai sekarang, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat merupakan pelaksanaan demokrasi sesungguhnya, yang meletakkan rakyat sebagai penentu siapa yang dipilihnya sebagai pemimpinnya.

 

Dalam koteks pelnyelenggara pemilu terjadi perubahan dimanan sebelum reformasi penyelenggara pemilu terdiri dari kalangan pemerintah dan partai politik. Sedangkan pada saat reformasi penyelenggara Pemilu bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pada Pemilu 2004 penyelengara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sekarang, penyelenggara Pemilu dan Pilkada terdiri dari KPU, Bawaslu dan DKPP.

 

Dari Pilkada Tidak Langsung Menuju Pilkada Langsung

 

Gelombang arus demokratisasi pasca gerakan reformasi tidak hanya terjadi pada level nasional, akan tetapi juga dilevel daerah dengan adanya perubahan dari pilkada tidak langsung menjadi pilkada langsung. Pilkada tidak langsung disini maksudnya adalah pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota) tidak langsung dipilih oleh rakyat, pemilihannya dilakukan di DPRD bahkan ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan Pilkada langsung adalah pemilihan kepala daerah yang langsung dipilih oleh rakyat.

 

Kalau kita melihat sejarah pergantian kepala daerah, pada awal kemerdekaan, Pemerintah Daerah langsung dibentuk oleh Pemerintah Pusat, dimana yang menjalankan pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah sebanyak 5 orang sebagai Badan Executief, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah, hal ini diatur dalam UU No.1 Tahun 1945. Kemudian pergantian Kepala Daerah dilakukan penunjukan langsung dari Pemerintah Pusat yang diambil dari calon kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD.

 

Untuk penunjukan Gubernur dilakukan oleh Presiden atas pengusulan beberapa calon oleh DPRD Provinsi, sedangkan Bupati ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri melalui pengusulan beberapa calon oleh DPRD Kabupaten/Kota ini diatur dalam UU No.22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Sistem pergantian Kepala Daerah dengan penunjukan langsung dari Pemerintah Pusat yang diambil dari calon kepala daerah yang diusulkan oleh DPRD ini berjalan sampai Pemerintahan Orde Baru, yang pengaturannya di dalam UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

 

Pada masa Orde Baru, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang menganut sistem otoriter dan sistem pemerintahan yang sentralistik dimana pusat memiliki kekuasaan penuh terhadap pembagunan daerah termasuk menentukan siapa yang memegang kekuasaan di daerah. Nurhamin (2015) dalam bukunya Percepatan dan Perlambatan Demokrasi di Tingkat Lokat, menyebutkan salah satu contoh kasus yang membuktikan otoritas pemerintah pusat saat itu yakni peristiwa Ismail Suko pada tahun 1985. Pemilihan di DPRD saat itu melawan instruksi dari pusat. Perlawanan ini dimotori oleh Thamrin Nasution dan kawan-kawan yang sepakat mengangkat dan memilih putra daerah yaitu Ismail Suko. Peristiwa itu memicu kemarahan pusat dengan membatalkan Pilkada di Riau dan tetap menunjuk Imam Munandar yang dilantik sebagai Gubernur Riau periode 1980-1988.

 

Masuknya era reformasi dengan adanya otonomi daerah yang lebih besar sebagi salah satu amanat reformasi, daerah memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk mengatur atau membangun daerahnya sendiri dan bahkan sampai pelaksanaan Pilkada tidak lagi ada campur tangan Pusat. Di awal-awal reformasi memang Pilkada masih dilakukan di DPRD yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Mekanisme pemilihannya dipilih oleh anggota DPRD dengan suara terbanya. Calon kepala daerah yang mendapat suara terbanya ditetapkan sebagai kepala daerah dan disahkan oleh pemerintah pusat.

 

Dorongan tuntutan reformasi untuk dilakukannya amandemen UUD 1945. Untuk pertama kalinya dalam sejarah konstitusional Indonesia, pengaturan tentang rekrutmen politik pimpinan di daerah diatur dalam UUD 1945. Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945, tidak ada satu pasal pun yang mengatur perihal pemilihan kepala daerah. Setelah dilakukan perubahan UUD 1945, di dalam Pasal 18 ayat (4) disebutkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

 

Berbeda dengan pengaturan pemilihan presiden dan wakil presiden yang langsung ditegaskan di dalan UUD 1945 pada Pasal 6A ayat (1) yang menyebutkan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Sedangkan pada pengaturan tentang Pilkada hanya disebut “dipilih secara demokratis”. Makna “dipilih secara demokrasi” ini di pertegas dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 56 ayat (1) yang menyebutkan bahwa” “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Sejak ditetapkanya UU No.32 Tahun 2004 ini, Pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.

 

Praktik Pilkada secara langsung oleh rakyat, dimulai pada 1 Juli 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah 9 tahun kemudian Pemerintah dan DPR menetapkan UU No.22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang mengatur Pilkada secara tidak langsung (dipilih melalui DPRD). Di pilihnya opsi Pilkada melalui DPRD, mendapat kritikan yang cukup besar sehingga pemerintah Susilo Bambang Yudoyono (SBY) diakhir masa jabatannya memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang ditetapkan oleh DPR menjadi UU No.1 Tahun 2015 yang mengatur Pilkada sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat, yang pelaksanaannnya secara serentak (Pilkada serentak).

 

UU No. 1 Tahun 2015 dilakukan perubahan melalui UU No. 8 Tahun 2015 yang dijadikan landasan hukum untuk melaksanakan Pilkada Serentak Gelombang Pertama pada 9 Desember 2015. Hasil evaluasi Pilkada serentak 2015 dan untuk penyempurnaan pelaksanaan Pilkada serentak gelombang berikutnya, dilakukan perubahan UU No. 8 Tahun 2015 yang menghasilkan UU No. 10 tahun 2016. Ketiga UU Pilkada ini lah yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pilkada serentak gelombang kedua pada 15 Februari 2017 dan Pilkada serentak gelombang ketiga akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018 mendatang.

 

Harapan dari Sistem Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada

 

Pasca reformasi perbaikan penataan sistem Pemilu, termasuk adanya sistem Pilkada secara langsung dan sekarang pelaksanaannya dilakukan secara serentak, memang telah membuka ruang bagi adanya relasi yang baik antara wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan dengan rakyatnya. Semua calon, baik di dalam Pileg, Pilpres maupun Pilkada, dalam sistem pemilu dan pilkada yang langsung dipilih oleh rakyat, berusaha mendekatkan diri dengan rakyat. Selain itu, hasil pemilu dan pilkada memiliki pengakuan (legitimasi) yang kuat dari rakyat yang lebih luas, karena pemilih bisa langsung memilih siapa wakil atau pemimpinnya.

 

Tetapi, sistem itu juga telah melahirkan masalah baru. Pertama, biaya pemilihan menjadi sangat mahal. Contohnya pada Pilkada langsung dengan Pilkada tidak langsung, akan lebih murah penyelenggaraan pilkada tidak langsung yang diselenggarakan di DPRD. Masalah, besarnya biaya Pemilu dan Pilkada sudah diantisipasi dengan merubah Sistem Pemilu dengan menggunakan metoda Pemilu serentak (antara Pilpres dan Pileg dilakukan dengan serentak) pada penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dasar hukumya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Pilkada Langsung dengan sistem satu putaran dan dilakukan dengan serentak (Pilkada serentak).

 

Kedua, adanya pragmatisme di antara calon dan pemilih. Perilaku pemilih saat ini memang cendrung mengarah ke perilaku memilih rasional. Tetapi, di antara perilaku semacam itu juga terdapat perilaku memilih “rasional-material”. Implikasinya, “maney politik” menjadi lebih meluas, meskipun undang-undang Pemilu dan Pilkada secara tegas mengatur tentang larangan dan sangsi “maney politik”. Padahal, perbaikan sistem pemilu pada dasarnya diarahkan pada munculnya “transaksi kebijakan” antara wakil atau pemimpin dengan rakyat, bukan “transaksi material” yang bercorak jangka pendek dan sesaat. Politik uang atau “maney politik” ini selalu terjadi terutama pada Pileg dan Pilkada (Kacung Marijan, 2015).

 

Selain masalah tersebut, pada Pilaka langsung, Ariani (2018) menyebutkan ada 9 catatan masalah yang terjadi pada pilkada langsung sejak pertama kali dilaksanakannya pilkada langsung sampai sekarang: Pertama, terjadinya kekerasan dan kerusuhan; Kedua, Biaya yang sangat mahal; Ketiga, partisipasi tidak merata dan terjadi tren penurunan karena kekecewaan masyarakat terhadap calon; keempat, kualitas kepala daerah dan terjadi tidak kompak antara kepala daerah dan wakilnya; kelima, keamanan terhadap stabilitas politik nasional; keenam, politik transasksional antara kandidat dan partai politik; katujuh, adanya politik uang atau“maney politik”; kedelapan, netralitas Aparat Sipil Negara, aparat keaman dan stakeholder terkait terlibat berpolitik dan tidak netral; dan kesembilan, adanya politik identitas yang terjadi dimasyarakat pasca kejadian penistaan agama yang terjadi menjelang Pilkada DKI.

 

Dari berbagai masalah yang tibul, ternyata penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang demokratis pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan desain sistem Pemilu dan Pilkada saja, perlu ada peran dari para actor (kontestan Pemilu dan Pilkada, rakyat, penyelenggara, pemerintah dan stakeholder) sebagai pelaku dalam perhelatan pesta demokrasi (Pemilu dan Pilkada) untuk memperbaiki budaya politik atau sikap dan perilaku demi terujudnya pemilu dan pilkada yang berkualitas. Dengan perbaikan budaya politik atau sikap dan perilaku aktor pelaku mudah-mudahan dapat memaksimalkan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang biayanya cukup mahal.

 

Selama 20 tahun reformasi, kebijakan tambal sulam untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari bangunan penataan sistem Pemilu dan Pilkada terus dilakukan. Harapan kita, Pemilu dan Pilkada tidak hanya mengalami perubahan sistem pemilihan dari pemilihan tidak langsung menjadi pemilihan langsung oleh rakyart, dari tidak serentak menjadi serentak, dari hanya memilih partai menjadi memilih partai dan caleg, dan perubahan yang memperoleh kursi dari nomor urut ke caleg yang suara terbanyak. Tetapi, lebih dari itu penataan sistem demokrasi harus mampu melahirkan sistem Pemilu dan Pilkada yang mampu menghasilkan para wakil rakyar dan pemimpin ideal, serta memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa (sehinga menguatkan negara).***