Berkhayal Bisa Meniru Produktivitas Ala Jepang

Berkhayal Bisa Meniru Produktivitas Ala Jepang
Oleh: Dr Irvandi Gustari
          Direktur Utama Bank Riau Kepri
 
Berkhayal sering dijadikan polemik, apakah bisa dihindari atau tidak. Ada kesan dari banyak pihak bahwa berkhayal tidak sehat. Namun bila yang dikhayalkan itu adalah tentang produktivitas tentu menarik ya, sebab berkhayal itu adalah termasuk perilaku yang tidak produktif. 
 
Secara hasil riset dan hasil perhitungan para peneliti dari Harvard University, disebutkan bahwa sebagian besar orang mampu menghabiskan setengah dari waktu kerja untuk membayangkan masa depan atau melamunkan peristiwa yang telah lewat. 
 
Para psikolog yang turut ambil bagian dalam riset tersebut mengungkapkan bahwa waktu berkhayal tidak hanya mengganggu jam kerja, akan tetapi juga berpotensi menjadikan seseorang cenderung menjadi tidak produktif.
 
Yang lebih mengkhawatirkan lagi ada pernyataan dari para psikolog mendapati fakta hasil riset bahwa seseorang dapat menghabiskan 46,9% waktu untuk berkhayal. 
 
Wah gawat ya. Tanpa kita sadari bersama, banyak di antara kita yang membuat diri menjadi tidak produktif dan secara langsung hal itu  menekan perasaan bahagia akibat terlampau sering berkhayal. 
 
Walaupun kita paham bahwa berkhayal itu tidak sehat secara kesehatan jiwa, namun bolehkah kita berkhayal terkait seandainya Indonesia memiliki tingkat produktivitas yang tinggi seperti Jepang? Sebelum kita menjawabnya boleh atau tidak, mari kita gali dulu tentang ala produktivitas di Jepang. 
 
Keberhasilan Jepang sebagai negara maju di Asia dan bahkan di Asia yang mendapat julukan negara maju di Asia yang pertama adalah Jepang. Kita boleh iri secara positif dengan Jepang dalam hal produktivitas. 
 
Kita tinjau saja terkait dengan “The Global Competitiveness Report (CGI) yang dalam 10 tahun terakhir yang dikeluarkan oleh World Economic Forum dan Human Capital Index yang juga dalam 10 tahun terakhir, selalu saja Jepang tidak pernah keluar dari kelompok rangking 10 besar dunia.
 
Kita tahu bahwa orang Jepang itu pekerja keras, tapi kita juga tahu, orang Indonesia banyak juga yang pekerja keras. Lalu apa yang menjadikan Jepang begitu pesat pertumbuhannya, padahal sumber daya alam saja tidak punya, dan penduduknya yang banyak dan padat, memiliki cuaca yang cenderung ekstrim.
 
Secara singkat mengapa orang Jepang bisa lebih produktif, tanpa perlu negara bersusah payah menggenjot tingkat produktivitas, jawabannya adalah masyarakat Jepang menghubungkan etika kerja mereka dengan kepercayaan agamanya. Kenapa bisa begitu, yaitu adanya sistem yang dianut negara itu adalah sistem heterodoks. Apa itu Heterodoks? 
 
Teori Heterodoks merupakan teori yang muncul dari hasil perkembangan  teori liberal maupun radikal. Teori ini bukan merupakan grand teories, tapi merupakan teori yang sederhana saja , namun  berhasil menjelaskan dan memberikan solusi bagi beberapa negara di luar negara-negara barat. Teori ini berusaha membangun teori di atas realitas yang terjadi di negara berkembang sendiri. 
 
Pada teori heterodoks, dijelaskan bahwa dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, bukanlah secara serta merta menghilangkan budaya, dan struktur sosial yang sudah ada dalam kelembagaan  di masyarakat. Justru teori heterodoks ini berusaha mensinkronkan keduanya untuk mencapai hasil pembangunan ekonomi yang lebih baik dan selalu mengutamakan harmonisasi dari semua unsur. 
 
Adanya pengakuan terhadap kebudayaan, agama, nilai modern dengan nilai-nilai lokal. Hal ini berarti, teori heterodoks tidak mengesampingkan kebudayaan, agama dan nilai-nilai lokal tersebut, melainkan menjadikannya sebagai kekuatan dalam pembangunan ekonomi.
 
Penerapan aliran heterodoks tersebut mewarnai adanya pandangan atau paham oleh  orang Jepang adalah dengan memberikan perhatian pada manusia di atas dua faktor lainnya; bahan dan mesin dalam persamaan manajemen. Dalam filosopi manajemen orang Jepang, manusia tidak hanya dianggap sebagai faktor produksi tetapi juga sebagai akhir dari keseluruhan usaha manajemen. 
 
Negara berkembang seperti Indonesia yang  kaya akan sumber daya rasanya akan lebih baik jika mampu mensinkronkan dan mengharmonisasikan modernisasi dengan kearifan budaya lokal atau tradisional yang dimilikinya agar ekonomi politik pembangunannya bisa lebih maksimal seperti yang terjadi di Jepang.
 
Jadi pertanyaannya adalah, bisakah Indonesia menggunakan sistem heterodoks agar bisa segera maju pesat seperti Jepang? 
 
Di dunia ini ada 5 sistem yang dianut oleh negara-negara yang ada di berbagai belahan bumi, yaitu sistem liberalisme seperti Amerika Serikat dan Inggris beserta anggota negara peresemakmuran, lalu sistem komunisme yang dianut oleh negara Cina, walaupun Cina mengakui bahwa yang dianutnya dalam sistem perekonomian adalah sistem liberal dan hanya untuk pemerintahan yang menggunakan sistem komunisme. 
 
Yang ketiga adalah sistem sosial demokrasi, seperti Jerman dan Prancis. Keempat adalah sistem negara kesejahteran seperti yang dianut oleh Denmark dan Swiss. 
 
Kelima adalah negara Heterodoks, seperti yang dianut oleh Jepang dan Korea Selatan. Tiap sistem punya cara sendiri dalam meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas.
 
Indonesia penganut paham demokrasi ekonomi Pancasila, yang berbasiskan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dan juga punya cara tersendiri untuk mewujudkan kesejahteraan secara keseluruhan.
 
Dengan demikian, Indonesia pasti bisa lebih produktif dan bahkan bisa lebih tinggi produktivitasnya dibanding Jepang, namun cara yang dipakai tentu tidak bisa copy paste ala Jepang tentunya. Sebab Indonesia memiliki nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang kita dalam mewujudkan tingkat produktifitas yang tinggi, yaitu semangat gotong royong dan saling tepo seliro alias tenggang rasa. 
 
Memang tidak ada alasan bagi kita semua untuk tidak mewujudkan pola kerja dengan kemasan produktivitas yang tinggi. Jadi berkhayal saja memang tidak sehat, dan yang paling penting, segera wujudkan karya nyata. ***