Konflik Agraria di Sumut tak Kunjung Selesai

Konflik Agraria di Sumut tak Kunjung Selesai

MEDAN  (HR)-Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  Sumatera Utara mencatat, sepanjang tahun 2015 terdapat 29 kasus konflik agraria yang terjadi di Sumut.

Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat di Sumut masih belum sejahtera, sesuai dengan undang undang yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan tanah, rumah dan kehidupan layak.

“Dari 29 kasus itu, korban luka-luka mencapai 55 orang dan korban kriminalisasi sebanyak 34 orang,” ungkap Koordinator KontraS Sumut, Herdensi Adnin, Kamis (17/12).

Dikatakan Herdensi, pemerintah selalu memaksakan kehendaknya seperti pengambilalihan lahan yang dilakukan oleh pihak PTPN II. Apakah melalui mekanisme HGU maupun tanpa HGU.

Parahnya lagi, kondisi itu sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 1972. Belum lagi sejak dikeluarkannya SK BPN No 42, 43, dan 44/HGU/BPN/2002, melalui pemerintah pusat mengeluarkan tanah seluas 5.873,068 Ha dari HGU PTPN II. Namun hingga kini, peruntukkan tanah tersebut tidak memiliki kejelasan.

Sebut saja kasus yang terjadi di Desa Tunggurono, Binjai. Sering terjadi bentrokan antara PTPN II dengan masyarakat. Korban luka akibat bentrokan pun tidak bisa dielakkan. Masih dalam sengketa lahan konflik Eks HGU PTPN II, perebutan lahan terjadi di desa Tandem Hulu, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang yang juga berujung pada bentrokan.

“Setidaknya ada beberapa kasus sengketa lahan yang melibatkan TNI dengan sipil antara lain, kasus sengketa lahan desa Ramunia dan kasus sengketa lahan antara TNI dan masyarakat Sari Rejo,” sambungnya seraya menyebutkan bahwa preman juga masuk dalam daftar pelanggaran HAM seperti penyerobotan lahan milik petani Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Tanjung Gunung dan Talawi.

“Kasus-kasus Ini hanya sebagian kecil dari konflik agraria di Sumut. Meski sudah melapor ke berbagai pihak yang berwenang, kasus-kasus ini tak kunjung selesai,” pungkasnya.(wol/ivi)