Kejagung Ikut Mengincar MKD Lanjutkan sidang

Setya Novanto Makin Terjepit

Setya Novanto Makin Terjepit

JAKARTA (HR)-Posisi Ketua DPR RI Setya Novanto, saat ini makin terjepit akibat kasus dugaan 'papa minta saham' yang kini tengah menderanya. Dalam sidang yang digelar Selasa (1/12) malam, Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk melanjutkan sidang terhadap Novanto. Tidak hanya itu, Kejaksaan Agung juga kini tengah mendalami kasus tersebut.

Dalam sidang tadi malam yang dipimpin Ketua Surahman Hidayat,
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akhirnya memutuskan untuk melanjutkan proses persidangan terhadap Setya Novanto. Keputusan diambil secara voting, karena ada enam anggota MKD yang menolak Setya Novanto disidangkan.

Mereka adalah Kahar Muzakir, Adies Kadir, Ridwan Bae (Fraksi Golkar), Zainut Tauhid (PPP), serta Sufmi Dasco dan Supratman (Gerindra).
Sedangkan sisanya sebanyak 11 orang, setuju proses ini dilanjutkan ke tahap persidangan. Mereka adalah M Prakosa, Junimart Girsang dan Marsiaman Saragih (PDIP), Akbar Faisal (NasDem),  Sarifuddin Sudding (Hanura), Sukiman dan Ahmad Bakrie (PAN), Guntur dan Dasrizal Basir (Demokrat), Acep (PKB) termasuk Surahman Hidayat (PKS).

Selanjutnya voting dilanjutkan memilih opsi melanjutkan persidangan dan menuntaskan jadwal atau menuntaskan verifikasi. Hasilnya, 9 orang mendukung opsi a, dan 8 orang mendukung opsi b.
"Alhamdulillah, berarti mayoritas memilih melanjutkan persidangan dengan menuntaskan jadwal persidangan," ucap surahman sambil mengetok palu.

Belum Dipanggil
Meski MKD memutuskan untuk melanjutkan ke tahap persidangan, namun dalam jadwal persidangan yang disusun, belum ada agenda pemanggilan terhadap Novanto.
Menurut Wakil Ketua MKD Junimart Girsang, pihaknya memang baru akan memanggil Menteri ESDM Sudirman Said (hari ini, red) serta Maroef Sjamsoeddin (Direktur PT Freeport) dan Reza Chalid pada Kamis besok. "Hasil dari persidangan dua hari itu kami kaji kembali apakah dengan dasar itu kami bisa langsung minta keterangan Pak Setya Novanto, atau mungkin akan didalami lagi keterangan lain," terangnya.

Dijelaskannya, keterangan dari tiga orang tersebut menjadi bahan untuk mengonfirmasi Novanto. Semula Novanto akan dipanggil Senin (7/11), namun batal disepakati karena jadwal bisa berubah jika MKD masih perlu mendalami keterangan 3 orang sebelumnya.
"Kami mau dalami semua. Bagaimana mau panggil (Novanto) kalau belum didalami (keterangan saksi-red)," ujar politisi PDIP yang getol kawal kasus Novanto itu.

"Biar kita tidak salah langkah. Apapun kan katanya Pak Novanto ini didudukkan sebagai orang yang tidak bersalah sepanjang belum diputuskan. Jadi beliau pihak-pihak yang perlu dihargai," imbuhnya.
Lalu bagaimana jika Novanto menolak hadir seperti kasus Trumpgate yang dua kali dipanggil mangkir? "Di tata beracara diatur. Apabila sudah dipanggil tidak datang tanpa alasan, kami bisa panggil paksa pakai aparat hukum," jawab mantan pengacara itu.

Diincar Kejagung
Tak hanya di Dewan, kasus yang kini tengah mendera Setya Novanto juga menjadi incaran Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Novanto pun kian terjepit. Pasalnya, pasal pidana juga sudah disiapkan. Dalam hal ini, Kejagung tengah berupaya mengungkap adanya kemungkinan pemufatakan jahat.

"Hukumnya kan mengatur mengenai hal tersebut. Baru melalui ucapan bisa dikenai pidana, sekaligus kan agar orang jadi tidak main-main dengan tindak pidana korupsi karena baru dari permufakatan jahat bisa dipidana," ucap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah.

Pemufakatan jahat mengenai tindak pidana korupsi sendiri diatur dalam Pasal 15 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun tindak pidana korupsi belum dilakukan tetapi melalui ucapan dan tindakan yang dilakukan memunculkan niat melakukan korupsi dapat dipidana.

Sementara menurut Jaksa Agung Ri, Muhammad Prasetyo, penyelidikan yang dilakukan memang mengenai adanya kemungkinan permufakatan jahat yang diduga dilakukan Novanto.
"Nanti kita tunggu dulu hasil pendalamannya. Saat ini yang jelas masih penyelidikan. Tentang permufakatan jahat sendiri kan ada di hukum positif dan itu diatur dalam undang-undang," kata Prasetyo.

Menurut Arminsyah, jaksa masih berupaya mencari bukti-bukti awal sebelum kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan. "Rekaman dan transkrip kan diperiksa. Tapi baru itu kan belum ditanyakan ke pihak-pihak yang bersangkutan. Kita sangat hati-hati apalagi ini kan menyangkut orang-orang besar," ujarnya.

Diungkapkan Freeport
Pada Selasa kemarin, Menteri ESDM Sudirman Said, akhirnya membongkar kronologi terjadinya kasus dugaan 'papa minta saham' itu. Ha itu dilontarkan saat rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa kemarin.
Hal itu bermula dari pertanyaan anggota Komisi VII, Bowo Sidik Pangarso. Menurutnya, upaya itu bermula saat MPR, DPR dan DPD mengundang jajaran direksi PT Freeport. Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin menceritakan soal undangan tersebut kepada dirinya.

Ketika itu, Maroef mengaku kebingungan mendapatkan undangan tersebut. Akhirnya agar pertemuan lebih elegan, Freeport mengirim surat agar pertemuan dengan MPR,DPR, dan DPD bisa digelar sekaligus dalam satu waktu. "Ini forum perkenalan pimpinan Freeport ke institusi politik," kata Sudirman.

Dalam perjalanannya akhirnya, jajaran direksi PT Freeport bertemu dengan ketiga lembaga tersebut secara terpisah. "Yang menarik, ketika bertemu pimpinan MPR lengkap bersama timnya. Begitu pun tim Freeport saat bertemu DPD juga sama. Tapi ketika jelang ketemu DPR, dikondisikan hanya bertemu Pak Maroef dan beliau (Ketua DPR Novanto) sendirian. Ketua DPR mengatakan ke Pak Maroef, nanti saya kumpul-kumpul ngopi-ngopi," kata Sudirman menirukan cerita Maroef.

Kepada Maroef, Novanto juga berjanji akan mengenalkan salah satu koleganya yang belakangan diketahui adalah seorang pengusaha minyak Muhammad Reza Chalid. "Di sini saya kebingungan, urusannya apa dengan Ketua DPR," kata Sudirman.
Maroef pun menuruti permintaan Novanto. Pada pertemuan kedualah Novanto mengenalkan Reza Chalid kepada Maroef. Pada pertemuan ketiga, Sudirman sudah melihat adanya kejanggalan.

"Pertemuan ketiga, pengusaha yang dimaksud pun sudah mulai ikut mengatur. Keduanya (Novanto dan Reza) aktif. Dan jelang pertemuan ketiga, saya ditanya ini musti gimana. Saya sebut, seperti biasa silakan ditemui karena kehormatan bertemu pimpinan negara," saran Sudirman kepada Maroef.

Kepada Maroef, Sudirman juga meminta agar semua isi pertemuan itu dicatat. "Setelah bertemu saya diberi gambar, ada angka, minta angka dan proyek listrik. Saya mengetahui itu pertengahan Juli. Setelah saya mengetahui, karena disebut nama Presiden dan Wapres, saya berkewajiban melaporkan (ke MKD)," kata Sudirman.

Rekaman Lengkap Beredar
Sementara itu, rekaman dan transkrip lengkap pertemuan Novanto, pengusaha Reza Chalid, dan Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin beredar sejak pagi, Selasa (1/12/2015). Dalam rekaman lengkap itu, nama Menko Polhukam Luhut Pandjaitan disebut 66 kali dan pembicaraan pun melebar.

Sejak pagi, Novanto belum bisa dimintai konfirmasi soal rekaman versi lengkap itu. Sepanjang Selasa kemarin, politikus Golkar tersebut tidak tampak melintas di Gedung Nusantara III, lokasi ruang kerjanya berada yang terpantau awak media.
Hanya saja, mobil RI 6 yang biasa digunakan Novanto sudah terlihat melintas di Kompleks Parlemen. Memang, Novanto sering menggunakan pintu lain di Senayan untuk menuju ruang kerjanya.

Barulah pada sore hari, Novanto tampak keluar dari ruang kerjanya. Dikawal petugas Pamdal, dia berjalan cepat menuju tangga dan bukan lift. Petugas Pamdal pun memberi gestur yang meminta awak media tidak mendekat, mengikuti, atau mewawancara.
JK Dukung
Sementar aitu, Wapres JK mendukung langkah Kejagung RI yang akan mengusut kasus pencatutan nama presiden dan Wapres tersebut.

"Ya tentu mereka lah yang paling mengetahuinya secara tepat," ujar JK di kantor wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (1/12/2015).
Menurutnya, berdasarkan keterangan polisi sudah masuk ranah kriminal. "Pernah menyatakan itu, bahwa ini sudah memenuhi kriteria, tindakan kriminal. Terserah mereka. Karena namanya petugas hukum," ujarnya.

Karena itu, menurut JK, wajar bila Polri kemudian mengusut kasus dugaan pencatutan nama itu yang juga dilaporkan Menteri ESDM ke MKD DPR.
"Bukan mendukung, kalau lembaga hukum mengetahui ada masalah kemudian tidak mengusutnya dia yang salah," ucapnya. (bbs, dtc, kom, ral, sis)