Insiden Aceh Singkil

6.000 Warga Kabur ke Sumut

6.000 Warga Kabur ke Sumut

MEDAN (HR)- Buntut pembakaran Gereja HKI di Sukameriah Aceh Singkil Provinsi Aceh, Selasa (13/10) lalu, warga Kristen di Aceh Singkil ramai-rami kabur ke Sumatera Utara karena tidak kondusifnya situasi di Aceh Singkil saat ini.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, jumlah pengungsi dari Aceh Singkil yang ada di dua kabupaten,  yakni, di Tapanuli Tengah dan Pakpak Bharat mencapai 5.498 orang termasuk di Kecamatan Bagindar Pakpak Bharat 1.250 orang.

Menurut Plt Bupati Tapteng H Syukran Jamilan Tanjung dalam laporan ke Pemprov Sumut, jumlah pengungsi di Kecamatan Manduamas 4.248 orang (868 KK) dengan rincian pria 2.041 orang dan perempuan 2.207 orang.

Berdasarkan hasil rapat Kesepakatan Bupati Tapteng dan Bupati Aceh Singkil beserta Kapolres kedua daerah maka warga Aceh Singkil yang menjadi pengungsi akan dipulangkan ke Aceh Singkil mulai besok, Jumat (16/10).

Para pengungsi akan dijemput oleh Bupati Aceh Singkil dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh Singkil dengan berita acara penyerahan antara kedua kepala daerah.

“Hal yang sama juga bagi pengungsi di Kecamatan Bagindar Pakpak Bharat 1.250 orang juga akan dijemput untuk kembali. Situasi sudah kondusif tidak ada alasan untuk tidak kembali ke wilayah dan rumahnya masing-masing,” ujar Kepala Badan Kesbanglinmas Pemprov Sumut Eddy Syofian mengutip pernyataan Kaban Kesbangpol Provinsi Aceh Moh Nasir.

Sementara itu, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Sumut (FKPD) Provinsi Sumatera Utara sepakat mencegah jangan sampai berkembang isu-isu dan provokasi yang dapat menimbulkan keresahan di Provinsi Sumut terkait kerusuhan di Aceh Singkil.

Kesepakatan tersebut, merupakan salah satu kesimpulan Rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi Sumut dipimpin Plt Gubsu HT Erry Nuradi dengan Forkopimda Kota Medan, Forkopimda Kabupaten Pakpak Bharat dan Forkopimda Kabupaten Tapanuli Tengah di Medan.

Menurut Plt Gubsu Erry Nuradi, Rapat FKPD Provinsi Sumut mengamanahkan penanganan pengungsi Aceh Singkil yang berada di Kecamatan Pagindar Pakpak Bharat dan Manduamas Tapteng agar dilakukan secara baik dan terpadu. “Jangan sampai kebutuhan logistik terhambat, penampungan ditata dengan baik serta antisipasi munculnya permasalahan lain dan penyakit yang diderita pengungsi,” ujarnya.

Kepada bupati/wali kota dan Forkopimda kab/kota se-Sumatera Utara agar menginventarisasi dan potensi-potensi konflik yang ada di daerah masing-masing, yang berkaitan dengan pembangunan Rumah Ibadah maupun isu SARA lainnya dan menyelesaikan permasalahannya.

Forkopimda Provinsi Sumatera Utara agar melakukan pertemuan pada Bulan November 2015 dengan para Bupati/ Wali Kota se-Sumut khususnya Bupati Tapanuli Utara dan Walikota Binjai beserta Forkopimda kedua daerah untuk membahas penyelesaian pembangunan Gereja di Binjai dan Masjid di Tapanuli Utara yang hingga saat ini belum menemukan titik penyelesaiannya.

Pengembalian pengungsi secepatnya setelah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Pemkab Aceh Singkil dalam batas waktu setelah adanya jaminan keamanan dari Pemprov Aceh dan Pemkab Aceh Singkil serta aparat kamanan setempat.

Dalam mengantisipasi penegakan hukum pasca konflik yang ada di Kabupaten Aceh Singkil yang kemungkinan penanganannya dilakukan di wilayah Sumatera Utara, agar ditangani dan dikoordinasikan lebih awal dengan aparat dan instansi terkait.
Direktur Program Lembaga Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Manambus Pasaribu merasa prihatin dan menyesalkan peristiwa pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia di Desa Danguren, Kabupaten Aceh Singkil.

Peristiwa tersebut menyebabkan seorang warga meninggal dunia dan ribuan orang dalam kondisi tidak aman dan tidak terbebas dari rasa takut sehingga masyarakat korban harus mengungsi dari tempat tinggalnya dan berpindah ke daerah lain yang dianggap aman.
“Fakta kekerasan ini merupakan suatu keadaan yang memilukan hati dan belum adanya jaminan utuh dari negara atas kepastian keamanan dan perlindungan dari praktek intolenransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan,” katanya, Kamis (15/10).

Padahal, lanjutnya, secara normatif negara telah meneguhkan komitmennya melalui pasal 28 F ayat (1) dan (2), pasal 29 ayat (2). Jaminan yang sama juga telah tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (wpd/ivi)