Paradoks Dunia Pendidikan

Paradoks Dunia Pendidikan

Oleh Netty Laura S, SE, MM

 

Mengutip pendapat Paulo Freire, seorang pakar filsafat “Pendidikan sesungguhnya adalah alat untuk mencerdaskan manusia”. Maju tidaknya suatu Negara sudah pasti di pengaruhi oleh faktor pendidikan maka tentunya diharapkan output dari pendidikan adalah manusia-manusia yang memiliki kesadaran kritis atas konstalasi sosial di mana dia hidup dan mampu melakukan perubahan atas situasi sosial yang merugikan. Dengan kata lain output dari pendidikan adalah sosok pembaharu, pengubah, pemimpin, teladan dan kreatif. Indonesia adalah salah satu negara berkembang di dunia yang masih mempunyai masalah besar dalam pendidikan padahal jelas-jelas tujuan negara adalah ‘’Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’’.
Makna mencerdaskan kehidupan bangsa pada hakikatnya adalah hasrat untuk membangun peradaban negara dan bangsa yang benar-benar maju, modern, dan tangguh di kancah pertarungan global. Namun kenyataannya makna dari tujuan negara tersebut seperti api jauh dari panggang di mana terlihat fenomena ouput yang dihasilkan sekolah masih belum dapat bertarung di kancah global. Dalam laporan terbaru Program Pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati posisi 121 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,629 kita tertinggal dengan Negara tetangga ASEAN Malaysia (peringkat 64) dan Singapura (peringkat 18), Sedangkan IPM di Kawasan Asia Pasifik adalah 0,683 ada apa dengan pendidikan di negeri ini?
Kapitalisme dan materialisme adalah anak kandung dari modernisasi, sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan masyarakat tentu merubah cara pandang masyarakat terhadap dunia pendidikan di mana pada saat ini motivasi masyarakat masuk sekolah telah bergeser yang mana awalnya sekolah adalah tempat menuntut ilmu sekarang sekolah adalah tempat mendapat Ijazah. Dalam pemikiran masyarakat saat ini jika ijazah sudah di tangan tentunya akan mudah memperoleh pekerjaan. Hal ini lah yang terjadi pada dunia pendidikan kita baik dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi sehingga berimplikasi pada sikap dan perilaku menyontek, plagiat, menyuap, membayar skripsi, dll yang lahir dari paradigma materialistis.
Tentu saja jika perilaku materialisme ini terus mendarah daging maka akan sulit menciptakan output yang memiliki kesadaran atas pentingnya pengetahuan dan memiliki rasa social humanity, yang ada malah output yang tidak matang dalam pengetahuan dan hanya mengejar Profit Oriented dalam hidup. Dan sekarang output yang seperti inilah yang menjamur di negara ini, tentu saja bagaimana mungkin dapat bersaing dalam kancah global jika budaya ini masih dipertahankan.
Selain materialisme, kapitalisme juga saat ini telah menggerogoti dunia pendidikan kita. Di mana terlihat fenomena kesenjangan antara masyarakat mampu yang dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi  sedangkan masyarakat bawah tidak, dengan kata lain masih banyaknya ditemukan anak yang putus sekolah padahal pemerintah telah melakukan gerakan wajib belajar 12 tahun dan program sekolah gratis, namun mengapa bisa terjadi anak-anak kita putus sekolah dengan alasan biaya sekolah mahal. Di manakah gerakan sekolah gratis dan wajib belajar itu?
Selain itu berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa ‘’Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional’’. Tentu niat pemerintah sudah sangat mulia, namun lagi-lagi ada pertanyaan di benak kita mengapa masih ada pengeluaran-pengeluaran lain yang memberatkan anak kita di lingkungan sekolah? Dan mengapa masih banyak bangunan sekolah tidak layak pakai khususnya di daerah-daerah terpencil, sedangkan di kota besar gedung sekolahnya sangat bagus dan fasilitasnya lengkap? Ke manakah dana pendidikan 20% itu?
Adapun solusi yang dapat di berikan dari permasalahan di atas adalah kerja sama seluruh pihak baik orang tua, sekolah dan pemerintah sangat diperlukan. Orang tua dan sekolah harus lebih gencar memberikan character building kepada setiap anak sehingga dapat merubah mainset anak yang telah terkontaminasi dengan budaya materialisme dan dari sisi pemerintah pusat maupun daerah tentunya harus peka terhadap kondisi pendidikan khususnya di wilayah terpencil dengan melakukan pemetaan kondisi pendidikan di setiap provinsi di Indonesia.
Hal ini diperlukan untuk mengetahui kondisi pendidikan di setiap wilayah sehingga pemerintah tahu apa yang dibutuhkan setiap daerah guna meningkatkan kualitas pendidikan, dan akhirnya pendidikan di pusat dan daerah menjadi me-rata. Selain itu pemerintah harus gencar mensosialisasikan Gerakan Sekolah Gratis yang merupakan hak seluruh anak di Indonesia dan yang tidak kalah penting pemerintah pusat dan daerah tentunya harus melakukan controlling terhadap anggaran pendidikan yang telah dikucurkan tepat tidaknya realisasi anggaran tersebut.
Semoga kita semua dapat bersama-sama menyelesaikan batu sandungan dalam dunia pendidikan kita dan yakinlah bangsa yang besar adalah bangsa yang berkomitmen membangun sektor pendidikannya, negara yang maju adalah negara yang maju pendidikannya. Hidup pendidikan Indonesia..!!!!



Penulis adalah dosen STIE Indragiri Rengat.