Muhammadiyah dan Kedermawanan

Muhammadiyah dan Kedermawanan


Apa yang membuat Muhammadiyah bertahan lebih dari satu abad? Mengapa pada abad kedua ini Muhammadiyah terus menyinari negeri? Dua pertanyaan sederhana, tapi fundamental terkait survivalitas dan sustainabilitas Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan dakwah Islam.
Jawaban dari pertanyaan sederhana itu tidaklah rumit. Muhammadiyah sejak awal disemangati oleh teologi al-Ma’un dan moralitas ihsan berkemajuan. Teologi al-Ma’un mendorong dan menggerakkan Muhammadiyah untuk “berbuat yang berguna dan bermanfaat” bagi orang lain dan lingkungan. Moralitas ihsan berkemajuan menopang motivasi kedermawanan sebagai bagian dari ajaran dan falsafah kasih sayang.
Moralitas ihsan melukiskan pentingnya seorang hamba berakhlak dengan sifat-sifat Allah yang layak ditiru manusia. Dua sifat Allah yang termaktub dalam al-asma’ al-husna yang berhubungan langsung dengan kedermawanan ialah al-Rahman dan al-Rahim. KH Ahmad Dahlan mengistilahkannya dengan teologi “welas asih”.
Allah Yang Mahakasih dan Mahasayang atas semua makhluk-Nya. Seorang hamba yang penuh kasih sayang dan menunjukkan kelembutan hati terhadap sesama. Kasih sayang adalah tindakan terhormat yang dibawa melalui perbuatan aktif terhadap orang lain.
Perbuatan amal dapat berdampak positif bagi seseorang setelah kematiannya. Kedermawanan dihargai dengan balasan surga. Menurut perspektif deontologis ini, amal mengandung nilai keutamaan yang sejalan dengan norma agama.
Ketika seseorang melanggar norma etika, ini tidak hanya memengaruhi kehidupan kita sendiri, tetapi juga seluruh masyarakat. Sebaliknya, ketika kita bertindak atas dasar norma-norma etika, berarti kita telah berkontribusi pada penciptaan dunia yang lebih baik.
Muhammadiyah melalui Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) merepresentasikan semua ini. Dalam kerangka etika dan budaya kerja amanah, kedermawanan merupakan wujud kasih sayang sesama dan perlu dikelola secara bertanggung jawab dan berdimensi ganda.
Kedermawanan adalah membumikan welas asih Allah SWT bagi kehidupan dunia. Perwujudan welas asih itu akan berdampak eskatologis bagi pelakunya di hari akhir. Karena itu, lembaga amil semacam Lazismu bertanggung jawab memperluas dimensi duniawi dan ukhrawi dari welas asih itu.
Dengan analogi pantulan bola pingpong, Lazismu menerima bola “welas asih kedermawanan” para muzaki, kemudian memantulkannya kepada kaum dhuafa agar bola terarah pada sasaran yang tepat, terencana, terukur, dan efektif bagi pemberdayaan. Bola yang diorganisasi secara terarah itu pada saatnya dapat dipantulkan kembali oleh kaum dhuafa yang telah berubah nasibnya menjadi lebih baik ke arah Lazismu. Dan, Lazismu yang menyambut bola itu akan memantulkannya kembali ke arah lain sehingga memperluas manfaat bagi masyarakat banyak.
Dengan cara ini, pantulan welas asih kedermawanan dapat berbuah secara duniawi berupa peningkatan dan perluasan kesejahteraan, mengubah mustahik menjadi muzaki; dan menghasilkan secara ukhrawi berupa pahala yang terus mengalir.
Jadi, perspektif kedermawanan perlu berasumsi untuk melindungi kepentingan terbaik masyarakat dan juga melindungi manusia dari sinisme profit, konsumerisme egosentris, narsisisme kekayaan untuk diri sendiri, dan diskriminasi atas dasar pendapatan, status sosial, etnis atau faktor diskriminatif lainnya. Dalam tradisi teologi welas asih dan teologi al-Ma’un yang dikembangkan Muhammadiyah, ide kasih sayang tak hanya digambarkan sebagai kebajikan manusiawi, tetapi juga mengandung kualitas nilai-nilai ilahi. Hal ini setidaknya diperjelas oleh kalimat basmalah yang menjadi awal setiap pembacaan surah Alquran.
Welas asih ditegakkan di atas kodrat spiritual manusia. Kebajikan ini memungkinkan manusia melampaui sisi duniawi di dalam dirinya. Seseorang yang memperoleh kebajikan ini dianggap mencapai kebebasan batin yang memungkinkan mereka tak lagi diperintah oleh keinginan sendiri, naluri, dan kebutuhan material.
Kasih sayang juga digambarkan sebagai kebajikan yang membantu kita sebagai makhluk sosial untuk menghindarkan dari posisi disfungsional atau destruktif dalam interaksi kita dengan sesama. Idenya adalah bahwa orang tidak boleh fokus pada kepentingan diri sendiri, keuntungan pribadi, atau kelompok dalam hubungan sosial mereka.
Dalam hal ini, Muhammadiyah dan Lazismu melembagakannya dalam teologi dan praksis al-Ma'un. Kasih sayang direpresentasikan sebagai landasan penting bagi keterlibatan masyarakat dalam kegiatan filantropi, yakni setiap jenis pekerjaan sukarela tanpa memikirkan balasan dari kekuatan yang lebih tinggi.
Dalam tradisi teologi Islam, amal dan kesukarelawanan dalam kerja kemanusiaan, pengalaman pribadi hidup dalam kesulitan dan penderitaan memiliki tempat sentral. Pengalaman ini dapat meningkatkan derajat motivasi individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan amal maupun kemanusiaan.
Teologi al-Ma’un telah mengembangkan kesadaran dan solidaritas orang beriman untuk beramal saleh guna menyantuni mereka yang papa dan nestapa. Titik berangkatnya bahwa kita merasa memiliki kedekatan yang lebih besar dengan kenyataan di mana kita berada daripada dengan dunia yang kita amati dari kejauhan.
Al-Ma’un mengajak berempati secara dekat dengan penderitaan dan kelangkaan. Hal ini inheren dalam ajaran Islam tentang berpuasa Ramadan. Penderitaan haus, lapar, dan kelelahan dalam berpuasa melukiskan kondisi kekurangan yang kita harus jalani untuk mendapatkan pengalaman pribadi tentang kesulitan dan penderitaan. Pada gilirannya kita bisa memahami situasi orang yang menderita sehingga menjadi lebih bersedia membantu mereka.
Kedermawanan dan kemauan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan sukarela menjadi titik awal kebajikan dan kasih sayang. Lazismu memiliki sumber daya amil yang cukup memadai untuk menggerakkan kerja sukarela ini.
Pekerjaan membantu orang lain tak dimaksudkan untuk tetap menjadi kebajikan individu. Selain hubungan individu, kasih sayang harus membentuk dasar untuk membangun jaringan sosial yang berfungsi dalam masyarakat. Kasih sayang dibentuk atas dasar pola pikir kesetaraan. Kaum yang lemah akan meningkat posisinya setara dengan anggota masyarakat lainnya.
Dilihat dari perspektif ini, kasih sayang dan bantuan adalah kebajikan yang menjadi landasan bagi langkah aktif membantu orang-orang yang berada dalam “ketidaksetaraan situasional”.(rol)
(Oleh: Zakiyuddin Baidhawy) Direktur Program Pascasarjana IAIN Salatiga, Anggota Majelis Pendidikan Kader PWM Jawa Tengah .