Dalam Kerangka Sustainable Development (Bagian II (Habis))

Kearifan Tradisional

Kearifan Tradisional

Walaupun kearifan dan etika selalu diperdebatkan dalam konteks pelaksanaan kearifan tradisional vis a vis pembangunan, namun konsistensi pelaksanaannya harus tetap diperjuangkan. Hal itu menurut Robin Attfield sama sulitnya dengan mempercayai bahwa manusialah makhluk yang paling utama dalam alam semesta ini. Walaupun masih ada ruang bagi antroposentrisme, tetapi setidaknya orang-orang yang sungguh-sungguh mengakui bahwa penderitaan makhluk lain tidak tergantung pada kepentingan manusia .

Memahami kearifan tradisional berarti memahami bahwa ia adalah milik komunitas, bukan personal ataupun individu. Pengakuan dan pelaksanaan nilai kolektivitas inilah sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara ini sesulit apapun kondisi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat jika dihadapi dengan rasa kebersamaan tentu masalah itu dapat diatasi.

Secara sadar harus diakui bahwa kerusakan alam semakin tak terhindarkan. Ambisi manusia untuk menaklukkan alam yang semakin besar dan tidak terkendali lagi mengancam posisi ekologis di masa depan. Secara singkat perkembangan zaman dengan segenap teknologi yang dimiliki oleh manusia menimbulkan kerusakan di bumi.


Etika dalam mengelola alam harus dikedepankan untuk kesinambungan lingkungan yang lebih baik. Menurut Karen Bartens, Etika berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan memakai istilah modern dapat dikatakan juga bahwa etika membahas (konvensi-konvensi sosial yang ditemukan oleh masyarakat) . Etika yang baik harus didorong secara sadar oleh masyarakat dan muara akhir dari etika adalah kearifan dan kesinambungan.

Kearifan dan akal budi manusia akhirnya yang dapat menjadi sumber daya utama pembuka rahasia dan hikmah dalam semesta. Kearifan ini bisa muncul dari corak ke hidupan tradisional yang di dasari oleh budaya yang lahir dan berkembang dari masyarakat itu sendiri, yang disebut dengan kearifan lokal atau yang didasari oleh kepercayaan-kepercayaan, adat istiadat, nilai-nilai tradisional dan petuah-petuah dari leluhur.

 

Masa Depan Keraifan Tradisional

Munculnya paradigma Sustainable Development sebagai alternatif bagi pembangunan masa kini dan masa depan pada awalnya diharapkan mampu menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dunia hari ini, akan tetapi paradigma tersebut sangat teoritis dan musthail diaplikasikan dalam kondisi manusia modern hari ini. Libido ekonomi dan bisnis manusia yang melihat alam sebagai arena eksplorasi dan eksploitasi menjadikan paradigma tersebut hanya hadir dalam ruang-ruang dialektika di kampus-kampus dan pergumulan akademik, tetapi tidak menyentuh dalam aspke realistis.

Ketika sustainable development dianggap tidak bisa menjawab tantangan dan masalah masyarakat internasional, maka kampanye back to basic semakin menguat. Institusi lokal dan komunitas semakin diperkuat dan semuanya berteriak dengan lantang bahwa kearifan tradisional harus menjadi jawaban terhadap masalah global yang dihadapi oleh manusia hari ini. Akan tetapi kearifan tradisional itupun terancam punah dan kehilangan eksistensi. Setidaknya Sony Keraf memberikan argumentasinya terkait erosi yang dialami oleh kearifan tradisional tersebut .

Pertama, proses desakralisasi alam oleh invasi dan dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Awalnya alam bagi masyarakat tradisional dipahami sebagai sesuatu yang sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit bisa dijelaskan dengan menggunakan akal budi, sehingga membangkitkan sikap kagum dan rasa hormat. Akan tetapi dengan terang ilmu pengetahuan dan modernisasi membuat fakta tentang alam hanya difahami dan hanya direduksi sekedar obyek yang bisa dipilah pilih, dianalisis secara ilmiah dan rasional.

Kedua, alam dilihat sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. Ada harta karun yang berlimpah yang dikandung oleh alam yang harus dieksploitasi demi mengubah kehidupan manusia. Modernisasi menawarkan pola hidup baru yang bertentangan secara diametral dengan pola hidup masyarakat adat. Hidup selaras dengan alam harus dilihat sebagai sebuah keterbelakangan dan dikutuk sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan.

Munculnya pandangan seperti itu adalah jalan untuk mengeksploitasi dan mengorbankan alam demi kebaikan ekonomis manusia. Alam harus dirubah, demikian pula kehidupan alamiah juga harus dirubah. Manusia tidak boleh lagi bergantung pada alam, melainkan harus bergantung pada dirinya sendiri dengan keukuatan akal budi dan tekhnologi dengan jalan menaklukkan alam dan mengubah alam. Dengan demikian, kearifan alam hilang ketika ilmu pengetahuan, modernisasi dan tekhnologi manusia bisa menentukan nasib hidupnya.

Vandana Shiva melihat bahwa dalam proses modernisasi dan ini, masyarakat tradisional tercerabut dari akar budayanya. Religiusitas dan spiritualitas masyarakat pada alam telah digantikan oleh modernisasi sebagai agama dan spiritualitas baru.  Dalam arus modernisasi ini pua, keraifan tradisional tidak saja terkikis oleh modernisasi tetapi juga diberangus oleh libido bangsa barat. Adanya model dan gaya hidup antroposentris menjadikan segala sesuatunya harus bersifat ekonomis. Kepercayaan dan pengetahuan masyarakat tentang alam tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang berguna, bahkan dianggap sebagai mistis dan cenderung irasional.

Ketiga, adanya filsafat barat dan paradigma ilmu pengetahuan yang cartesian. Paradigma cartesian beranggapan bahwa manusia hanya sebagai makhluk sosial hubungan manusia dengan alam dalam komunitas ekologis sebagaimana dikenal dalam masyarakat adat dinafikkan begitu saja. Dominasi filsafat barat ini akhirnya menegasikan peran dan etika masyarakat tradisional dari wacana publik masyarakat modern.

Keempat, hilangnya keanekaragaman hayati sebagai akibat dari modernisasi. Dan pembangunan sebagai agama masyarakat modern. Terjadi kehancuran dan kepunahan bagi alam semesta. Dampak timbal baliknya adalah, semakin punah dan terkikisnya kearifan tradisional dengan segala nilainya. Karena sejatinya kearifan tradisional itu erat kaitannya dengan keanekaragaman hayati. Kearifan tradisional hanya mungkin dipertahankan kalau alam dan segala kekayaan alam didalamnya masih tetap dipelihara. Pada saat segala kekayaannya terancam punah, maka punah pula lah seluruh kearifan tradisional tersebut.

Kelima, hilangnya hak-hak masyarakatadat, termasuk hak untuk bertahan hidup dan bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budayanya serta hak untuk menentukan diri sendiri. Ditengah invasi dan dominasi masyarakat modern yang dipengruhi oleh barat, masyarakat adat tradisional yang berbeda budayanya kehilangan hak hidupnya. Ini terjadi karena invasi dan modernisasi yang memberikan dampak terhadap tersingkirnya dan punahnya masyarakat adat yang ada di dunia. Bersamaan dengan hilangnya hak-hak masyarakat tradisional, maka hilang pula kearifan tradisional yang begitu menentukan cara beradanya masyarakat adat itu. Sebaliknya, dengan hilangnya kearifan tradisional maka terancam pula keberadaan masyarakat adat.***

Oleh: Sumiyanti - Mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan Universitas Riau, Anggota DPRD Provinsi Riau