Muhammadiyah dan Kebencanaan

Muhammadiyah dan Kebencanaan


Sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, Muhammadiyah bukan hanya peduli terhadap paham dan cara beragama atau beribadah, melainkan juga melakukan usaha nyata dalam berbagai hal yang memberi manfaat bagi umat dan menjauhkan dari mudharat yang akan menimpa mereka. Hal ini bisa dicermati dari berbagai produk hukum, pemikiran, dan usaha nyata oleh Muhammadiyah mulai dari awal berdirinya hingga setelah satu abad berlalu.
Muhammadiyah yang pada masa awal sangat perhatian terhadap kaum dhuafa, baik dhuafa pendidikan, ekonomi, maupun kesehatan, kini terus dikembangkan pada berbagai persoalan kehdupan yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak kepada umat. Dalam beberapa Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih, Muhammadiyah telah menyelesaikan pembahasan berbagai persoalan umat, di antaranya fikih seni dan budaya, fikih antikorupsi, dan fikih air. Kini, dalam Munas Tarjih ke-29, materi yang akan diselesaikan adalah fikih kebencanaan.
Berbicara mengenai perhatian Muhammadiyah terhadap umat memang bukan hal baru karena berdirinya Muhammadiyah adalah karena faktor tersebut. Permasalahan keumatan yang muncul lalu dikaitkan dengan kepentingan ajaran Islam, sebagaimana yang selama ini dikenal, telah mengilhami KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah, seperti, pertama, umat Islam tidak memegang teguh Alquran dan as-Sunah dalam beramal dan bertauhid sehingga takhayul, khurafat, bid’ah, dan syirik merajalela, akhlak masyarakat runtuh.
Kedua, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada masa itu tidak efisien dan dikotomis. Ketiga, kemiskinan menimpa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam yang sebagian besar adalah petani dan buruh. Keempat, kebanyakan umat Islam hidup dalam fanatisme sempit, bertaklid buta, dan berpikir dogmatis. Kehidupan umat Islam masih diwarnai konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme. Kelima, aktivitas misi Katolik dan Protestan sudah aktif beroperasi sejak awal abad ke-19, dan sekolah-sekolah misi itu mendapat subsidi dari Pemerintah Belanda.
Setelah satu abad melintasi zaman, Muhammadiyah tidak pernah sepi dari tantangan, bukan hanya persoalan masa lalu yang masih menjadi pekerjaan rumah, tapi permasalahan baru juga timbul akibat pesatnya perkembangan tekonologi dan globalisasi yang kemudian melahirkan gaya hidup masyarakat yang mengarah pada penghalalan segala cara.
Akibatnya, banyak ketimpangan muncul di masyarakat yang kemudian berimbas pada berbagai kebijakan negara yang didesakkan oleh kepentingan tertentu yang bersifat individual dan sesaat. Ketimpangan tersebut juga melahirkan berbagai macam bencana dan musibah yang membutuhkan kepeduliaan dan penanganan. Inilah yang mendorong Muhammadiyah pada akhir abad pertama dan memasuki abad kedua ini banyak membahas fikih dengan makna luas, yaitu persoalan tata nilai dan kemasyarakatan.
Pembahasan fikih kebencanaan pada Munas ke-29 ini merupakan pembahasan yang sangat tepat karena letak Indonesia pada pertemuan antarbenua dan antarsamudra tidak hanya membawa posisi strategis, tapi juga menempatkannya pada ring of fire (kawasan rawan bencana). Posisi ini memberikan kekayaan alam yang luar biasa sekaligus membawa potensi besar terjadinya bencana alam terus-menerus.
Di sisi lain, tindakan manusia dalam mengeksploitasi alam dengan alasan untuk memenuhi keperluan hidupnya telah menimbulkan berbagai kerusakan dan mengubah keseimbangan lingkungan. Bencana alam bagi negara seperti Indonesia merupakan rutinitas alamiah, yang siklusnya menjadi semakin pendek karena ulah manusia.
Respons masyarakat terhadap bencana pun beragam sesuai pola pikir, pengetahuan, bahkan ideologinya. Tidak sedikit respons yang muncul di tengah masyarakat dalam menyikapi bencana ini menyimpang dari nalar sehat, hukum alam, bahkan dari ajaran agama
Karena itu, panduan dalam melihat dan menyikapi bencana dengan tepat berdasarkan nilai-nilai keagamaan menjadi penting dirumuskan. Tidak hanya untuk melihat bencana dengan perspektif yang benar, panduan ini juga diperlukan untuk menginventarisasi tindakan tepat yang harus dilakukan terkait bencana, baik persiapan antisipasi sebelum, pada saat, hingga pascabencana.
Dengan adanya pedoman seperti ini, efek bencana dalam setiap ranahnya—fisik, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya—diharapkan dapat diminimalkan. Dalam bahasa agama, pedoman semacam ini dapat disebut fikih kebencanaan, fikih yang mengubah setiap tindakan dan perilaku manusia agar lebih ramah terhadap alam berdasarkan pertimbangan nalar rasional sekaligus religius.
Hal lain yang juga mendesak diperlukan umat adalah tuntunan praktis sesuai sunah Nabi dalam menjalankan peribadatan sehari-hari, yang bisa dibaca, dipelajari, serta dipraktikkan dengan mudah, tetapi juga teruji secara keilmuan fikih. Juga tak kalah penting yang dibahas dalam Munas ke-29 ini adalah konsep pengaderan ulama.
Pada abad pertama berdirinya Muhammadiyah, masyarakat mengenal orang pintar, ulama modern, dan alumni dari perguruan tinggi yang unggul di dalam maupun luar negeri, maka kebanyakan mereka adalah Muhammadiyah. Namun, kini lulusan S-2 dan S-3, dosen-dosen muda yang baru pulang dari Eropa, Amerika, hingga dunia Arab, yang menjadi penceramah di radio dan TV kebanyakan anak-anak muda dan ulama yang bukan dari kultur Muhammadiyah.
Mereka inilah yang kini dan akan datang menghiasi teras kekuasaan dan menjadi konsultan atau pengambil kebijakan negara. Karena itulah, pembahasan konsep kader ulama merupakan hal paling penting bagi eksistensi Muhammadiyah pada masa mendatang.
Munas ke-29 yang diselenggarakan kerja sama Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini diharapkan melahirkan konsep ideal dan praktis dalam penanggulangan bencana dan penyiapan kader ulama dari kalangan Muhammadiyah. (rol)

Oleh: Ghoffar Ismail(Ketua Divisi Organisasi dan Kaderisasi Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat). Muhammadiyah.