Kapan Mengurus Rakyat?

Sabtu, 12 September 2020 - 12:46 WIB

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA

RIAUMANDIRI.ID - Judul tulisan ini muncul secara tiba-tiba ketika salah seorang peserta “diskusi ringan” di sekitar persoalan terkini di Indonesia berkomentar, “semua mengurus partai, siapa lagi yang akan mengurus rakyat.”

Rasanya, komentar tersebut tidaklah berlebihan bila dihubungkan dengan kenyataan yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari orang yang dipercaya sebagai kepala negara di level tertinggi dalam sistem pemerintahan, sampai kepada ketua rukun tertangga di level paling bawah seakan terseret habis oleh besarnya godaan partai. Kalaupun bukan sebagai ketua atau pengurus partai, tidak sedikit orang yang dituakan di tingkat sistem sosial paling bawah masuk dalam pusaran pengaruh kekuasaan partai, sehingga disadari atau tidak, mereka telah menjadi “abdi” partai dan sebagian besar waktunya disedot oleh partai yang berenergi sangat besar itu. Berebut tempat di internal partai, sampai berebut pengaruh menjadi partai yang mempesona di arena perpolitikan nasonal menjadi tontonan yang kadang-kadang membuat banyak orang geleng-geleng kepala. 

“Apa maunya para elit ini, dan mau dibawa kemana negeri ini ?” adalah pertanyaan yang sering menggelayut di fikiran rakyat yang paling awam sekalipun. Orang yang seharusnya fokus sebagai presiden, sebagai menteri, sebagai gebernur, sebagai wali kota, dan tidak sedikit juga sebagai cendekiawan dn ulama, kelihatannya banyak yang lebih sibuk dan merisaukan “nasib” partainya ketimbang nasib rakyatnya. Rakyat merasa diabaikan, lalu mengurus diri sendiri dengan cara sendiri-sendiri pula, walau harus melanggar hukum sekalipun.
    
Persoalannya sekarang adalah, apakah memang begitu harusnya pemimpin dan aparatur negara di negara yang menganut sistem demokrasi ? Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan partai ?
    
Sebagai dimaklumi, negara didirikan oleh banyak ragam orang dengan latarbelakang pendidikan, budaya dan pemikiran yang beragam pula. Masing-masing orang yang ada dalam negara punya pemikiran, ide, atau bahkan keinginan-keinginan yang dianggapnya baik untuk negara yang didiaminya. Pemikiran, ide, atau keinginan-keinginan tersebut, di sengaja atau tidak akan mengelompok dengan yang sesamanya atau yang hampir-hampir sama, sehingga lahirlah sebuah kumpulan orang yang bernama partai. Jadi, secara akademik, partai adalah kumpulan orang yang se-ide dalam memikirkan dan berjuang untuk kebaikan suatu negaranya, sehingga partai  menjadi salah satu elemen terpenting dari sebuah negara yang bernama negara demokrasi. Partai menjadi elemen yang akan mengurus negara, bukan negara yang mengurus partai, atau menjadi “sapi perah” untuk kepentingan patai. Yang berkuasa adalah negara, bukan partai, dan yang akan diikuti adalah “kemauan” negara, bukan kemauan partai. Negara adalah penguasa, dan partai adalah salah satu alat bagi negara untuk menegakkan kekuasaan itu. Itulah idealnya sebuah partai dalam kajian  kademik, dan memang begitulah seharusnya.

Tetapi, kenyataan yang terjadi belakangan ini, terutama di Indonesia, adalah sebaliknya. Partailah yang menjadi penguasa, dan  bahkan menjadi yang “maha kuasa.” Semua harus tunduk kepada partai. Semua harus ikut kemauan sang pemimpin partai. Elit politik, umumnya, lebih merisaukan partai ketimbang negara dan rakyat. Panik bila elektabiliti partainya ambruk, tetapi biasa-biasa saja bila yang jatuh itu adalah kesejahteraan rakyat. Mereka lebih sibuk memikirkan partai, tapi lalai memikirkan rakyat. Padahal, hakikat partai, seperti disinggung di atas, adalah elemen negara, bukan negara yang menjadi elemen partai.

Lalu, kenapa semua itu bisa terjadi, dan bahkan semakin menjadi-jadi justru ketika Indonesia sudah menginjak usia 75 tahun?

Nabi pernah berpesan kepada beberapa orang sahabatnya. Beliau berkata, “bila amanah disia-siakan, maka tunggunglah kehancuran.” Sahabat bertanya, “apa maksud menyia-nyiakan amanah itu ya Rasulullah ?“ Nabi menjawab, “bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”

Bila partai adalah elemen penting dari negara, maka orang yang mengurus partai  adalah orang yang betul-betul mengerti apa itu partai, dan apa itu negara. Partai bukan cafe, apalagi kedai kopi di pinggir jalan yang digunakan hanya untuk mencari rezki untuk si pemilik. Di partai adalah ilmu. Di partai ada ideologi dan idealisme. Di partai ada etika yang dijunjung tinggi untuk kepentingan bangsa dan negara. Maka partai tidak boleh diurus oleh sembarang orang: orang yang tidak berilmu; orang tidak punya ideologi; orang tidak punya idealisme; orang yang tidak beretika dalam bertutur, bertingkah dan atau dalam berpolitik dalam arti yang sesungguhnya.   

Oleh sebab itu, sebuah partai harus punya program yang jelas untuk mendidik kadernya menjadi kader yang ilmunya memadai sebagai calon pemimpin bangsa; untuk mendidik kadernya memiliki idealisme dan jiwa nasionalisme tinggi sehingga bisa membedakan mana kepentingan partai dan mana kepentingan negara, serta berprinsip bahwa kepentingan negara harus didahulukan dari kepentingan partai. Pengkaderan seperti ini akan membuat orang-orang partai tidak masuk ke dalam kategori orang disebut oleh Nabi sebagai “yang bukan ahlinya.”

Maka, bila pengurus partai saja harus orang yang ahli, apalagi yang akan menjadi pengurus negara. Tugas para pemimpin partailah untuk menyiapkan para politisi yang berilmu, beretika, punya idealisme kebangsaan, sehingga benar-benar paham apa itu partai, apa fungsi partai, apa tugas dan kewajiban partai untuk negara, supaya partai tidak lebih berkuasa dari negara dan seterusnya, sehingga peringatan Nabi akan datangnya kehancuran itu tidak terjadi. Semoga. (*) 


*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau

Editor:

Tags

Terkini

Terpopuler