LeCI: Penyiksaan Terhadap Luthfi Mirip Cara-Cara Belanda

Jumat, 24 Januari 2020 - 14:15 WIB
Dede Luthfi Alfiandi, si pemuda pembawa bendera pada aksi demo pelajar di DPR beberpa waktu lalu

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Legal Culture Institute (LeCI) dan LBH Pekanbaru ikut menyoroti kasus Dede Luthfi Alfiandi (20), pemuda pembawa bendera yang didakwa melawan aparat saat demo pelajar menolak  RKUHP di depan kantor DPR RI.

Luthfi mengaku dianiaya penyidik Polres Jakarta Barat agar mengakui melempar batu ke arah polisi saat aksi massa. Luthfi mengakui hal tersebut dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020). Luthfi menyatakan bahwa ia disetrum selama 30 menit oleh penyidik. 

"Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setegah jamlah. Saya disuruh mengaku melempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar," kata Luthfi. 

Menanggapi hal itu, M Rizki Azmi, Direktur Legal Culture Institute (LeCI) mengatakan, pengakuan Luthfi hanya satu dari banyak penyiksaan oleh penyidik lain yang tidak terungkap. Padahal menurutnya, cara-cara kekerasan seperti itu sudah seharusnya ditinggalkan sebab tidak beradab dan mengekor pada masa kolonial dahulu. 

"Ini kasus kecil dari ribuan kasus yang ada di Indonesia. Ini yang terungkap saja. Kita sudah lama meninggalkan cara-cara yang tidak beradab. Dulu jaman Belanda kita pakai HIR (Herzien Inlandsch Reglement) di saat polisi Belanda melakukan penyidikan terhadap pribumi dengan penyiksaan. Namun setelah lahir kitab hukum acara pidana, cara-cara seperti itu sudah ditinggalkan. Namun pada prakteknya, polisi masih sering melakukannya untuk mengungkap suatu kasus dan bahkan memaksa seseorang untuk mengakui perbuatan yang tidak dia lakukan," jelas Azmi kepada riaumandiri.id, Jumat (24/1/2020).

Ia melanjutkan, "Kalau merujuk pada pasal HAM yang ada di deklarasi PBB dan UUD 1945, maka proses penyidikan dengan kekerasan merupakan pelanggaran HAM dengan alasan, pertama, penyelidikan dan penyidikan bukan proses penghukuman tetapi proses pencarian kebenaran sehingga berlaku praduga tak bersalah. Jadi semua orang yang disidik atau diselidiki adalah orang-orang yang harus dilindungi haknya. Kedua, proses criminal justice system sudah mulai berubah ke arah pembinaan manusia bukan penghukuman terhadap seseorang. Oleh karenanya, hukuman mati juga disebut sebuah pelanggaran HAM, apalagi penyiksaan. Ketiga, berlakunya praperadilan dalam hukum Indonesia untuk membuktikan dan memberikan rasa keadilan terhadap tersangka dan dilindungi HAMnya tatkala proses hukum."

Senada dengan Azmi, Kepala Operasional LBH Pekanbaru, Andi Wijaya juga menyayangkan penyiksaan yang dialami Luthfi bisa terjadi. Menurutnya, polisi seharusnya bisa profesional dan tunduk pada Perkap No 8 Tahun 2009 yang mengatur bahwa Polri wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Baca Juga: Bantah Keterangan Luthfi Soal Penyiksaan, Polisi: Dia Dalam...

"Miris kalau melihat kasus seperti ini. Padahal polisi sudah ada aturan internalnya, Perkap no 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian. Masalah ini bisa terjadi sebab hak bantuan hukum untuk didampingi penasehat hukum tidak diberikan," ungkapnya. 

Saat ditanya ke mana semestinya orang-orang seperti Luthfi mengadu, apakah ke pihak kepolisian atau ke lembaga-lembaga HAM di luar kepolisian, Azmi dan Wijaya menyarankan mengadu ke Komnasham. 

"Lapor ke Komnasham, Praperadilan. Tapi kalau internal mereka ya ke Propam, mereka ini polisinya polisi. Atau ke bagian etik, Ombudsman," kata Azmi.

"Kalau ada tersangka dipaksa mengaku dengan cara penyiksaan bisa lapor ke Komnasham atau Propam," tutup Wijaya.

Sebelumnya, Polres Metro Jakarta Barat membantah adanya penganiayaan terhadap Luthfi.

Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Audie S. Latuheru mengaku sudah melakukan pengecekan kepada anak buahnya. Hasilnya, dia tidak mendapati adanya fakta seperti yang dibeberkan oleh Luthfi saat persidangan.

"Saya sudah cek ke anak buah. Kejadiannya kan terjadi pada bulan September. Saya cek, tidak ada kejadian seperti itu," kata Audie di Polda Metro Jaya, Rabu (22/1/2020).

Audie beralasan bahwa yang menangnai kasus Luthfi adalah Polres Metro Jakarta Pusat. Sementara, Polres Metro Jakarta Barat hanya tempat untuk mengamankan saja.

"Dan itu ditangani Polres Metro Jakarta Pusat. Kami hanya ketempatan hanya untuk mengamankan saja. Kemudian Polres Metro Jakarta Pusat yamg tindak lanjuti," sambungnya.

 

Reporter: M. Ihsan Yurin

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler