Melayu Melawan Kerahkan 1.000 Massa

Kamis, 27 Oktober 2016 - 08:00 WIB
SPANDUK penolakan terpasang di beberapa titik di Kota Batam.

Batam (RIAUMANDIRI.co) - "Bangkit melawan atau diam tertindas". Perumpamaan itu disampaikan masyarakat Batam yang mengatasnamakan diri "Melayu Melawan" yang menolak keberadaan UWTO di era Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Melayu Melawan menentang keras Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No: 148/PMK 05/2016 tertanggal 30 September 2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, dan terbitnya Peraturan Kepala (Perka) BP Batam No 19 Tahun 2016 tanggal 18 Oktober 2016 tentang tarif baru UWTO.

"Kebijakan ini sudah meresahkan semua kalangan termasuk kami masyarakat bawah. Secara tidak langsung aturan ini telah mengusik, mengasingkan kami dari tanah kelahiran," ujar Okta Robin, Pendiri Melayu Melawan, Rabu (26/10).

Dilansir dari batamtoday.com, Okta mengatakan, pemberlakukan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang sudah ada sejak masa Otorita Batam (OB), sudah selayaknya dihapus pada era BP Batam. Bukannya diperkeruh dengan menaikkan tarif sewa lahan di Batam.

"Jika begini aturannya, sama saja ini merupakan gerakan komunis modern dari BP Batam dengan secara perlahan menggusur masyarakat asli dan masyatakat Batam secara keseluruhan. Kami sebagai masyarakat tidak dapat menerima aturan tersebut," ujarnya.

Okta menyampaikan, pada Rabu, 2 November 2016, Melayu Melawan akan melakukan unjuk rasa di Kantor BP Batam dengan mengerahkan 1.000 masa dari perwakilan pemuda di Batam, Mahasiswa dan masyarakat umum.

"Akan kami bawakan keranda mayat untuk mereka yang duduk di atas sana. Karena dengan adanya UWTO, masyarakat Batam harus membayar dua kali pajak. Bayar UWTO,

bayar juga PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Batam satu-satunya daerah di Indonesia yang diwajibkan membayar dua kali pajak. Aturan dibuat semena-mena. Jelas kami sebagai masyarakat menentang," tutur Okta.

Menurutnya, kegelisaan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang merupakan penduduk tempatan, masyarakat lain pun merasakan hal yang sama karena tidak ada kepastian akan tempat tinggal mereka.

"Kami ingin tempat kami aman. Kami bisa hidup tenang di tempat kami sendiri tanpa harus khawatir suatu saat terusir karena tidak mampu bayar UWTO,

" ujar Okta yang didampingi sejumlah tokoh pemuda Melayu, seperti Amirullah, Fahrul Anshori, Rahmad Wahid, Rahmatunnisa. Amrirullah, Koordinator Umum Gerakan Melayu Melawan menilai akhir-akhir ini banyak kebijakan dari BP Batam yang memberatkan dan tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Batam.

"Kami berterima kasih pada Otorita Batam yang saat ini menjadi BP Batam atas jasanya membangun dan mengembangkan Batam. Tapi kebijakannya akhir-akhir justru merugikan masyarakat," kata dia.

Ia mencontohkan, permasalahan pengukuran kampung tua di Batam yang berlarut-larut dan tidak kunjung ada kepastian. "Jangan sampai masyarakat menganggap keberadaan BP Batam sudah tidak diperlukan lagi," ujar Amir.

"Kalau seperti ini kami akan mendesak Presiden Joko Widodo untuk membubarkan BP Batam dan menyerahkan segala urusan ke pemerintah daerah. Saat ini Batam tidak ada istimewanya lagi. Semua sama saja dengan daerah lain," tambahnya.

Menurutnya, saat ini BP Batam hanya memanfaatkan letak Pulau Batam yang strategis tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat asli yang berdomisili sejak lama. "Jangan sampai dualisme ini memperuncing sehingga masyarakat menjadi korban," tuturnya. (btc/ril)

Editor:

Terkini

Terpopuler