Narko-Terorisme: Terorisme yang Membeli Kekuasaan

Rabu, 01 Juni 2016 - 10:56 WIB
ilustrasi

Segelombang eksekusi mati  terhadap terpidana narkoba telah dilaksanakan. Dan akan tiba tahapan eksekusi berikutnya.

Delapan jiwa telah berpulang ke tempat abadi. Bagi kita yang tidak percaya kepada Tuhan dan agama, maka anggaplah dia telah selesai urusannya dengan dunia.

Bagi kita yang ber-Tuhan, mereka dikembalikan ke peraduan akhir menunggu pertanggungjawaban amal.

Terlepas dari segala polemik, setuju atau tidak setuju tentang hukuman mati, yang paling penting kita memiliki kesepakatan dan semangat yang sama memerangi narkotika dengan segala jenisnya.  

Hukuman mati adalah hukum positif yang masih dianut Indonesia. Setuju dan tidak setujunya kita terhadap hukuman mati, tidak bisa mengubah UU yang ada. Hanya proses legislasi yang bisa merevisi UU tersebut.

Yang menjadi perenungan kita, betapa buruk akibat dari kejahatan narkotika ini bagi manusia, dan khususnya generasi muda.

Jangan sebut soal akibatnya bagi pengguna narkotika, pengguna heroin, kokain, sabu, ektasi, ganja dan banyak narkotika dan zat psikotropika lainnya secara fisik dapat kita lihat, nilai dan ukur.

Bangsa ini bisa mundur bertahun-tahun kebelakang,  apabila narkotika menjadi masalah yang tidak segera diatasi dengan penanganan yang tegas.

Narkotika ancaman luar biasa yang akan mengancam stabilitas dan keamanan nasional. Bahkan secara politis pun bangsa kita gonjang-ganjing dibuatnya.

Tekanan luar negeri yang menguat, hubungan bilateral manjadi buruk, dan bisa jadi berimbas ke masalah perdagangan. Bangsa kita terbelah lagi.

Para pengamat ribut, LSM mulai dari yang ecek-ecek sehingga ke kelas kontras dan imparsial bagaikan mempunyai darah baru lagi.

Mengkritisi pemerintah, menggerakkan massa untuk menentang hukuman mati. Seakan pemerintahlah yang melakukan kejahatan, karena tetap melaksanakan hukuman mati yang diamanatkan oleh undang-undang.

Padahal, penjahatnya jelas dan pengadilan yang berjenjang yang memutus hukumannya. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika adalah sebentuk teror.

Teror yang terorganisasi dengan rapi, memiliki jenjang komando berantai yang kuat, dengan jaringan lihai dan kemampuan mendeteksi titik-titik lemah pengawasan tangan hukum. Terorisme narkotika menyerang ke sudut terdalam kehidupan kita, rumah tangga dan rumah bangsa kita.

Menyasar jiwa muda yang bahkan tidak pernah ikut mengetahui perang itu sama sekali. Bahkan ikut mendanai teror lainnya, yang narkotika membuat kita gemetaran.

Karena ia hadir di sekolah, masjid dan rumah ibadah, diskotik, kantor, rumah, tengah hutan, sungai dan puncak gunung.

Teror narkotika masuk ke semua lini kehidupan, tanpa batasan usia dan kelas masyarakat. Dan korbannya mungkin melebihi korban Perang Salib, kekejaman geng narkotika melebihi kekejaman ISIS sekalipun.

Inginkah kita Indonesia menjadi seperti Meksiko atau Kolombia atau Afghanistan? Ketika para bos narkotika ini menjadi raja-raja kecil yang bisa memerintahkan memenggal kepala seorang yang bahkan tidak ikut terlibat sama sekali.

Maka jika ketakutan kita sama, maka mulailah awas kepada narkotika. Sebuah wilayah di Meksiko, di dekat perbatasan dengan Amerika Serikat, sebuah daerah yang disebut Juarez, contoh nyata yang menakutkan dari teror narkotika. Pemerintah Meksiko sudah hampir berputus asa menghadapi kartel narkotika yang beroperasi di daerah tersebut.

Kepolisian sudah tak mampu lagi menanganinya, bukan saja karena hampir seluruh jajaran kepolisian sudah terkontaminasi uang suap narkotika, tetapi memang, kemampuan militer kartel-kartel tersebut sangat kuat dengan persenjataan modern yang sangat besar.

Dengan dana  dan sumber daya manusia tak terbatas maka kartel narkotika bisa melakukan hampir apa saja untuk melawan polisi, militer dan pemerintah. Mayat-mayat tergantung tanpa tangan dan kepala, kaki tertebas.

Tidak disembunyikan, tetapi dipampangkan di hadapan publik sebagai peringatan terhadap orang yang mencoba menentang mereka baik itu kartel saingan, pemerintah atau militer.

Meksiko semenjak 2006 telah berperang melawan kartel narkotika tanpa henti, bahkan militer yang tugas utamanya adalah menghadapi ancaman luar negeri, dikerahkan memerangi kartel narkotika di dalam negeri.

Perang narkotika ini telah menelan korban hingga 160.0000 rakyat sipil, polisi, tentara dan para anggota kartel.

Meksiko mengerahkan 260.000 tentara, 35.000 polisi ditambah kekuatan penegak hukum dari Amerika Serikat, menghadapi lebih dari seratus ribu anggota kartel narkotika dengan persenjataan lengkap dan struktur kekuasaan yang rapi.

Mereka bisa membeli persenjataan modern, bahan peledak, kapal selam terbaik dalam menjalankan operasi mereka.

Bahkan pernah tersiar rumor, mereka mencoba  membeli hulu ledak nuklir di pasar gelap. Geng narkotika memiliki senjata berat dan sanggup bertempur bertahun-tahun dengan kekuatan militer pemerintah.

Kuburan masal bertebaran karena perang antar geng yang mengklaim banyak korban. Mahasiswa yang pergi berlibur pun bisa jadi korban.

Para pendemo pun bisa masuk liang lahat dangkal. Kepala terpisah dari badan. Polisi tidak takut lagi menerima suap. Karena jika tidak menerima suaplah nyawa mereka bisa melayang.

Pemerintahan bertabur uang panas narkotika.  Indonesia memang bukan Meksiko, bukan pula Kolombia. Peredaran heroin dan kokain memang sangat sedikit, namun sebagaimana ekonomi, peredaran narkotika juga akan mengalami perluasan.

PBB dan BNN sudah menyebut, Indonesia adalah salah satu jalur peredaran dan penyeludupan utama narkotika oleh sindikat internasional di Asia. Maka ancaman itu adalah “clear dan present danger.

” Sehingga pada suatu saat mereka akan mampu membeli persenjataan canggih. Jika penanganan yang luar biasa tidak diterapkan, bukan tak mungkin, dengan pangsa pasar sebesar 250 juta orang dan pengguna aktif sebesar 5,6 juta orang, bisa jadi kita akan menjadi Meksiko berikutnya di Asia.

Narkotika tidak hanya akan menghancurkan generasi muda sebuah bangsa. Namun narkotika akan membuat sistem politik dan kemasyarakatan rapuh dan goyah.

Apalagi negara kita masih rentan dengan suap dan tingkat korupsi yang sangat tinggi. Sebab uang suap narkotika akan sama manisnya dengan uang suap penyeludupan bawang ilegal. Polisi bisa manjadi sangat korup dan buas apabila sudah memakan uang narkotika.

Harus menunggu berapa banyak lagi polisi yang tertangkap karena menjadi bandar, menjadi pelindung dan sebagai kantong pencucian uang kartel narkotika di Indonesia. lapas telah diinvasi uang narkotika.

Jika kewaspadaan masih rendah dan kita masih menganggap pemberantasan narkotika bisa dilakukan dengan setengah hati, menganggap hukuman mati kepada para pengedar, penyeludup dan pencuci uang narkotika berlebihan, maka jangan heran pada suatu saat nanti prahara yang dialami oleh Kolombia dan Meksiko akan hadir ke tengah kita.

Terorisme adalah ancaman, dan narkotika adalah terorisme yang lebih membunuh dan mematikan dengan klaim korban jauh lebih besar dibandingkan dengan aksi teror manapun di zaman modern ini.

Terorisme yang berdasarkan fundamentalisme agama dan ideologi memilih jalur yang bersebarangan dengan Narco Terorisme. ***
Alumni Fakultas Teknik, Universitas Andalas (Unand) Padang

Editor:

Terkini

Terpopuler