Kemana Manajemen Bencana?

Ahad, 04 Oktober 2015 - 09:28 WIB
membagikan masker tidak menyelesaikan masalah.

Berminggu sudah kualitas udara di Provinsi Riau berada pada level berbahaya, berminggu pula lamanya masyarakat harus menanggung penderitaan sesak nafas akibat asap yang merantai sendi kehidupan, di Bumi Lancang Kuning. Kenapa harus terjadi?

Persoalan kabut asap akibat aksi pembakaran hutan dan lahan, ibarat telah menjadi agenda rutin bagi masyarakat di Bumi Melayu ini. Tiada tahun yang dilalui tanpa asap.
Semakin meningkatnya eskalasi yang ditimbulkan oleh aksi sepihak para pemilik modal ini, telah membuat Pemerintah Provinsi Riau hingga Kabupaten-Kota membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sesuai dengan perintah UU.

Berbagai peraturan telah dibuat dan diterapkan dan terintegrasi dalam sistem keuangan daerah. Lalu kenapa, ketika kualitas udara sudah mencapai level berbahaya, masih banyak masyarakat yang berlalu lalang, seakan tak merespon keadaan ini.

"Partikel yang dibawa kabut asap ini, sangat berbahaya bagi anak-anak, wanita hamil dan penderita asama. Dan dalam jangka panjang juga mengancam kesehatan warga, karena beresiko mengidap penyakit kanker paru-paru," kata Azisman Saad, ahli penyakit paru RSUD Airifin Ahmad.
Dijelaskan, ketika kualitas udara sudah berada pada level sedang, sudah berarti peringatan bagi masyarakat untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan.

Jika kepekatan terus memburuk, maka situasinya akan membuat kualitas udara memasuki tahap tidak sehat. Artinya, tidak ada lagi aktifitas di luar rumah, seluruh kegiatan harus dihentikan.
Pada tahap ini, justru sangat dituntut respon dan tindakan pemerintah untuk menghentikan semua aktifitas diluar ruangan bagi masyarakat, dan mulai mempersiapkan operasi evakuasi bagi warga ke tempat yang lebih aman, atau kualitas udaranya baik.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan pemerintah negara tetangga Singapura, yang langsung menghentikan semua kegiatan diluar rumah bagi warag negaranya, ketika kaulitas PM10 di negara tersebut baru mencapai poin 170, atau setara dengan tidak sehat.

Bahkan, ketika kualitas udara sudah menembus level sangat tidak sehat hingga berbahaya, pemerintah terkesan diam saja. Hanya mengeluarkan hibauan untuk mengurangi aktifitas di luar ruangan dan mebagi-bagikan masker.
BPBD sebagai leading sektor penanganan, ketika situasi sudah demikian mengancam kesehatan warga. Justru harus menunggu perintah dan kebijakan pimpinan untuk memulai melakukan pergerakan, melalui terbitnya Surat Keputusan penetapan status.
Ironi di sebuah negeri, yang sesungguhnya telah memiliki segalanya untuk menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Justru melakukan pembiaran dengan beragam alasan, mulai dari mekanisme dan tata laksana birokrasi hingga keterbatasan anggaran.

Jelas sudah hal ini telah mengangkangi hak dasar warga negara atas pemerintah, yang wajib dipenuhi tentunya. Sayangnya hingga saat ini, pemerintah sendiri tak memiliki prosedur standar untuk menghadapi bencana, seperti kabut asap ini.
Meski Provinsi Riau bisa disebut telah berpengalaman dalam menghadapi kabut asap ini, sayangnya sampai hari ini tak satupun prosedur standar  penanganan yang dimiliki, kecuali mobilisasi pemadaman api, pelayanan kesehatan gratis dan pembagian masker.

Delapan belas tahun sudah, rakyat di negeri ini menderita akibat kabut asap setiap tahunnya, sayangnya aparatur yang dibiayai oleh uang negara tersebut, tak mampu untuk menata sebuah tata kelola penanganan bencana yang komprehensif.
Masyarakat dibiarkan berhadapan langsung dengan asap yang pekat, jika sakit maka pelayanan kesehatan sudah tersedia. Padahal, beberapa lembaga dan institusi memiliki data mengenai kualitas udara, yang bisa diupdate setiap saatnya.

Bahkan yang lebih ironisnya, hampir tidak ada sinerji sama sekali di lingkaran SKPD pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten-kota. Terkesan, semua persoalan adalah beban bagi provinsi, dan pemerintah kabupaten penyumbang asap malah tenang-tenang saja.
Walau sudah terlambat, sudah saatnya pemerintah memikirkan manajemen bencana yang diperuntukkan bagi keselamatan dan kesehatan masyarakat. Kalau memang sudah waktunya evakuasi, karena udara sudah tidak sehat, maka lakukanlah evakuasi.

Serta merta payung hukumnya juga mendesak untuk di-Perdakan, agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Karena tentunya anggaran yang dicadangkan untuk hal ini sangat besar nilainya.
Apakah pemerintah akan menunggu korban-korban berikutnya berjatuhan? Lalu baru menetapkan Darurat Bencana?***
 

Editor:

Terkini

Terpopuler